Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Segores Luka Shiha

19 Januari 2018   00:36 Diperbarui: 19 Januari 2018   01:05 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Blurb :

Shiha (20), atlet lari andalan kampus nan tomboy, diam-diam punya hobi mengiris pergelangan tangannya dengan cutter. Hobi mengerikannya ini mati-matian dia sembunyikan dari Patra --sahabatnya yang gila komik--, juga dari Arya, --kakaknya--- seorang cowok cantik pengidap hemofilia.

Dikelilingi orang-orang yang menyayanginya, mengapa Shiha begitu senang menyakiti diri sendiri? Apa ... memang hanya itu satu-satunya cara untuk lari dari diri sendiri?

Chapter 1 : Pulangnya Arya

***

"MBAK SHIHAAAAA ...! MBAK SHIHAAAAA ...!!! BAPAK UDAH PULANG, MBAAAKK!!!"

Shiha terlonjak begitu mendengar gedoran dari luar pintu kamar. Refleks, gadis dua puluh tahun itu terduduk di ranjang. Lagu "Orange" dari sebuah band asal Jepang Seven Oops, yang tadinya mengalun lembut dari kabel headset yang terjuntai dari telinganya, mendadak terputus. Digantikan begitu saja oleh teriakan Yemmy -asisten rumah tangganya-, yang cempreng mengerikan.

"MBAK SHIHAAAA .....!!!! CEPETAN MBAAAAKKK!!!" teriak Yemmy lagi. Kali ini tiga oktaf lebih tinggi dan sepuluh desibel lebih keras dari sebelumnya.

"Iya..., iyaaa...," sahut Shiha, setengah merutuk. "Nggak usah teriak-teriak begitu kenapa sih?"

Yemmy terkekeh dari balik pintu yang masih terkunci itu. "Maaf, Mbak. Tapi kalau nggak teriak, Mbak Shiha nggak akan bangun sampai besok. Cepat  turun ya, Mbak. Mobil Bapak sudah masuk garasi tuh ...."

"Iyaaa ..., sebentar lagi turun."

Shiha bisa mendengar suara sandal Yemmy bergerak menjauhi kamarnya. Sejurus kemudian, cewek itu menghela napas panjang-panjang, lalu menghembuskannya sekuat mungkin. Gila, dia bisa cepat mati karena jantungan kalau setiap hari dikagetkan begitu. Shiha memejam sejenak, menenangkan diri.

Begitu napas dan denyut jantungnya mulai normal, Shiha beranjak turun dari tempat tidurnya. Dia harus buru-buru menemui ayahnya. Terbayang di benaknya omelan yang akan keluar dari mulut pria paruh baya itu kalau sampai dibiarkan menunggu. Ceramah panjang tentang pentingnya menghargai waktu dan sederet khotbah terkait keharusan menghormati orang tua. Blah, baru membayangkan saja telinga Shiha sudah berdenging protes. Tidak! Shiha punya hal lebih penting untuk dilakukan ketimbang mendengar omelan ayah berjam-jam. Dia harus segera turun, namun ....

KRAK!!

Kaki telanjang Shiha terasa menginjak sesuatu. Gadis itu melihat ke bawah. Wajahnya berubah horor. Gawai ber-casing silver dengan logo khas apel tergigit miliknya itu, kini punya retakan mirip peta Benua Amerika yang terlihat jelas di layar sentuhnya.

Rupanya ponsel pintar yang baru dimiliki Shiha empat bulan lalu itu  terjatuh saat mendadak bangun tadi. Mengumpat pelan atas nasib barang kesayangannya, Shiha melangkah ke kamar mandi. Tak sampai dua menit, gadis itu sudah keluar lagi. Shiha mematut bayang dirinya di depan cermin dekat lemari. Wajahnya basah,  begitu juga rambut pendeknya yang dicat kemerahan. Buru-buru disisirnya dengan jari agar tak terlalu tampak berantakan.

Shiha lalu mengambil wrist band hitam yang tergeletak di meja belajar. Dia memasang hati-hati di pergelangan tangan kirinya. Shiha mengamatinya cermat, memastikan tiga buah garis kemerahan masing-masing sepanjang 2,5 cm di kulit kuning langsatnya itu tertutupi dengan sempurna.

Shiha sudah sampai di pintu dan siap keluar ketika matanya sekali lagi menyapu seluruh sudut kamar.

Ups! Dia melupakan sesuatu.

Shiha kembali ke tempat tidurnya yang bersprei Liverpool FC. Tergesa, dia  meraup belasan lembar tisu yang berserakan di atasnya. Lembaran tisu yang semula mulus putih bersih itu, kini semuanya penuh bercak merah pekat ketika dilempar Shiha ke kotak sampah.

***

Setengah berlari, Shiha menuruni anak tangga dua-dua sekaligus. Dia ingin cepat sampai ke ruang keluarga di bawah. Sebetulnya bukan ayah yang membuatnya jadi tak sabaran begitu, melainkan kedatangan kakak lelakinya.

Shiha punya kakak lelaki semata wayang. Mas Arya, begitu dia menyebutnya --atau setidaknya dia ingat pernah memanggil kakaknya demikian--. Keduanya tinggal di Sleman, Yogyakarta semasa kecil dalam pengasuhan Eyang dari pihak ibu. Ibu mereka sendiri sudah lama meninggal sejak Shiha masih kecil.

Shiha berumur empat atau lima tahun ketika ayahnya pulang, dan mendadak membawanya pindah ke Palembang. Anehnya, Arya tidak ikut dan tetap tinggal di Jogja. Shiha tidak tahu mengapa, namun dia menduga  penyebabnya pasti Eyang Uti. Tak banyak memang yang bisa Shiga ingat dari kehidupan singkatnya di Jogja, tapi Shiha ingat persis kalau Arya adalah cucu kesayangan eyang yang selalu diperlakukan bak pangeran mahkota.

Dalam rentang waktu belasan tahun itu, tak pernah satu kali pun Shiha bertemu muka dengan kakaknya. Ayah tak pernah mengajak liburan ke Jogja, begitu pun sebaliknya. Arya sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di Palembang sebelum ini.

Entah mengapa, hal itu sama sekali tak mengganggu Shiha. Sejujurnya dia tak peduli malah. Bahkan di era medsos seperti sekarang, tak sedikit pun dia berkeinginan mencari Arya di facebook atau mem-follow twitter dan instagramnya. Tampaknya Arya pun berpikiran sama. Jika tidak, tentu kakaknya itu akan sering menghubunginya, bukan?

Tapi sudahlah. Shiha tidak mau pusing memikirkan masa lalu, atau hubungan kekerabatan keluarganya yang jauh dari kata lazim itu. Toh, sekarang yang penting kakaknya itu sudah datang. Maka tugasnya sebagai adik adalah menyambut dia dengan sebaik-baiknya.

Namun alangkah kagetnya Shiha ketika melihat sosok pemuda yang duduk di sofa tepat di samping Ayah. Meski sudah mempersiapkan mental dan membayangkan bagaimana rupa sang kakak jauh-jauh hari, tak urung Shiha terkejut juga. Sosok Arya benar-benar jauh dari apa yang ada di kepalanya.

Shiha membayangkan Arya berperawakan mirip ayah. Tinggi, tegap, gagah, dengan garis wajah tegas serta  kulit kecokelatan dan tubuh berisi. Paling-paling yang membedakan hanyalah kumis dan cambang. Jika ayah memelihara semua rambut di wajahnya itu hingga tumbuh lebat, maka kakaknya pasti mencukur mulus semuanya.

Dan Shiha separuh benar. Tak sehelai rambut pun tumbuh di wajah Arya yang semulus porselen antik dari Dinasti Ming itu. Tetapi, alih-alih berbadan tinggi tegap nan gagah seperti dugaannya, Arya adalah pemuda kurus dengan postur tubuh standar yang tak terlalu tinggi. Lalu bukannya berkulit sawo matang, kulit Arya malah benar-benar putih. Putih cerah asli ala orang-orang Asia Timur, dan bukan hasil dempulan make up seperti yang kerap dilakukan teman-teman Shiha yang dancer atau cosplayer . Kecerahan kulit Arya itu tampak kontras dengan rambut hitam legamnya yang dipotong pendek rapi, namun bagian depan agak memanjang yang dibiarkannya jatuh menjuntai menyerupai poni perempuan.

Lalu alis mata tebal itu, bulu mata lentik itu, mata bulat besarnya yang berbinar jernih, juga bibir penuhnya yang kemerahan dan tampak seperti tersenyum ... Ah, Shiha benar-benar kehabisan kata-kata. Dia tidak pernah membayangkan akan bertemu seorang lelaki yang wajahnya berada di ambang kecantikan alami seperti itu. Lebih sulit lagi membayangkan bila lelaki itu sungguh-sungguh adalah kakaknya.

"Shiha ..., duduk kamu," tegur Anwar, ayah Shiha dengan suara baritonnya yang agak serak hingga terkesan seram.

Shiha tergagap, lalu buru-buru duduk. Dia agak malu begitu menyadari kalau dirinya tadi rupanya terlalu lama memandang Arya sampai mulutnya setengah terbuka.

"Nah, Shiha. Seperti yang ayah bilang kemarin, mulai hari ini ..., kakakmu, Arya, akan tinggal di sini. Ayah tidak mau mendengar kalian ribut atau bertengkar dengan alasan apapun. Kalian sama-sama sudah dewasa. Mengerti?"

"Mengerti, Ayah," sahut Shiha. Sementara Arya hanya mengangguk misterius.

Ketika ayahnya lanjut berbicara, Shiha kembali memperhatikan Arya. Meski hanya mengenakan celana jeans dan kaos biru tua lengan panjang, bagaimana bisa dia terlihat begitu rapi? Juga jemari yang terkatup di atas pahanya itu, benar-benar panjang dan lentik seperti milik para penari Bali. Mata Shiha bergerak, beralih menatap jemarinya sendiri yang gemuk dan pendek-pendek, yang tampak sejuta kali lebih mengenaskan lantaran semua kukunya punya ujung bergerigi bekas digigiti.

"... Nah, Arya. Ayah harus ke Jakarta sekarang." Anwar melirik jam tangannya. "Ada pertemuan dengan pasangan calon yang partai ayah usung untuk pilkada nanti. Besok juga ada rapat internal fraksi di Senayan. Kamu baik-baik di sini, dan..., ingat janjimu?"

"Baik, Ayah," jawab Arya singkat. Matanya lalu mengikuti punggung Anwar yang kemudian menghilang di balik pintu.

Shiha juga memandang ke punggung ayahnya. Namun ada sesuatu yang sedikit mengusiknya. Anwar Sunindyo, pengusaha sukses yang belakangan merambah dunia politik itu belum pernah satu kali pun berbicara selembut itu pada putrinya. Tapi mengapa gaya bicaranya pada  Arya begitu ...  lain?

Sensasi cemburu yang tidak menyenangkan mendadak melanda hati Shiha. Benar-benar tidak enak. Masa hari pertama pertemuannya dengan kakak harus dibumbui dengan rasa iri, sih?

"Kamu..., sudah besar ya, Na?" kata Arya, memecah keheningan canggung di antara mereka. Suara Arya terdengar begitu  lembut dan jernih. Ditambah aksen medhok dan lambat khas Jogja, membuatnya terdengar agak sedikit feminin untuk ukuran lelaki. "Dulu terakhir ketemu, kamu masih belum bisa bilang 'r'...."

"Na?" Shiha mengernyit bingung.

"Na..., Naka. Mayonaka..., itu namamu, kan?"

Shiha mengangguk. Mayonaka Shiha Sunindyo lengkapnya. Tapi Shiha tak suka nama Mayonaka. Tidak setelah teman-teman SD-nya kerap memelesetkannya jadi "Mayonesse".

"Mayonaka...," ulang Arya. "Itu nama pemberian Eyang Kakung. Dari bahasa Jepang yang artinya ...."

"Tengah malam ..." Shiha dan Arya berujar serempak. Keduanya bertatap mata beberapa saat, lalu tergelak kompak.

Namun begitu melihat tatapan Arya yang sayu, meski bibirnya melengkung membentuk senyum paling manis dan sempurna yang pernah dilihatnya ..., Shiha mendadak bergidik. Gelenyar dingin tidak wajar merambati tengkuknya.

Sebuah firasatkah?

Benar.

Firasat buruk, bahwa hari-hari penuh kedamaian dan ketenangan di rumah ini sebentar lagi akan berakhir.

***

***

***

Hohoo, selesai juga chapter 1. Lanjut chapter 2 nggak yaaaa kekira??? :D :D

kalau komennya dikit males ah :p :p

Fiksiana Community
Fiksiana Community
Rumpies The Club
Rumpies The Club
kompal-5a4bb928f13344476c04e9c4-5a60dad9ab12ae4fd5579615.jpg
kompal-5a4bb928f13344476c04e9c4-5a60dad9ab12ae4fd5579615.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun