3 Desember 2017, papa berpulang setelah tiga minggu dirawat di rumah sakit. Tepat setahun setelah vonis sirosis hepatis diterimanya. Tak terkata remuk yang kurasa saat itu. Frasa "dunia seakan hancur" dan "tak ada gunanya hidup lagi" sepertinya bukan omong kosong. Semua kata-kata penghiburan yang kuterima dari kawan dan kerabat hanya kuanggap angin lalu. Tak berefek apa pun pada kedukaaanku.
Saat itulah kuperhatikan mama. Perempuan keras kepala itu akhirnya menangis juga. Namun air matanya hanya menetes sesekali, jauh berbeda dengan milikku yang menganak-sungai berhari-hari. Kuperhatikan mama, bagaimana dia bersikap meladeni para pelayat. Bagaimana senyumnya tetap terukir. Bagaimana bahunya tetap berdiri tegak tanpa lunglai sedikit pun.
Dan bagaimana akhirnya mama memelukku yang mulai histeris saking tak kuatnya menanggung lubang besar kehilangan dalam hati.
Aku tersentak.
Pemahaman seketika menyeruak masuk dalam benakku.
Di hadapan jasad papa yang terbujur kaku, di sanalah baru aku menyadari satu hal yang luput oleh kesempitan hatiku selama ini. Kedua mata akhirnya terbuka dan bisa dengan jelas melihat... bahwa hadiah terbesar dari mama sebetulnya sudah kuterima --bahkan sejak waktu jauh sebelum ini.
Adalah dirinya.
Keberadaannya.
Juga hangat nafas dan wangi khas tubuh yang demikian nyata masih bisa kurasa adalah hadiah darinya yang paling berharga. Ketegaran dan ketangguhannya, pada akhirnya memberiku kekuatan untuk ikhlas melepas lelaki hebat yang sama-sama begitu kami cintai.
Separuh sayap penopang hidupku di dunia memang telah pergi, namun tangan kasar, kapalan, dan sering berbau kunyit itu... rupanya masih sanggup menopangku untuk tak sampai jatuh terpuruk.
***