"Terapi?" Kening Nawang berkerut.
Afza tersenyum. "Kau sahabat terbaikku. Kau tahu segala hal tentangku. Tak pernah ada rahasia di antara kita. Maka yang bisa kukatakan adalah..., lima tahun akan cukup bagiku untuk melupakan gadis yang sangat kucintai itu," jelas Afza. "Kau mengerti kan, Na?"
**
Ya. Tentu saja Nawang mengerti. Dia mengerti perasaan dua insan yang saling mencintai namun tak ditakdirkan hidup bersama. Sebab dia sendiri juga merasa persis seperti itu. Ada satu lelaki yang dicintai dan mencintainya. Namun jika itu harus membuatnya meninggalkan Juru Selamatnya, maka hanya satu jawabnya : lupakan!
Setiap manusia punya cara sendiri untuk melupakan. Jika Afza telah memilih penjara sebagai terapi patah hatinya, maka Nawang lebih memilih menulis untuk belajar merelakan. Sebuah cerpen untuk mengabadikan sebuah kenangan, mungkin? Â Ah, tidak. Terlalu singkat! Novel yang berkisah lelaki pencuri hatinya itu akan lebih tepat. Dengan seribu --atau sejuta-- halaman, lima tahun pasti sudah cukup untuk menyelesaikannya.
Dengan butiran bening yang menetes pada keyboard namun senyum terukir di bibirnya, jemari Nawang mulai menari, memahat kalimat pada layar putih di depannya: "Dia Menggambar Masjid yang Ada Salibnya.
---------
Palembang, November 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H