Afza hanya tengah patah hati kala itu. Gadis yang dicintainya sepenuh jiwa rupanya mencintai Tuhan dengan cara berbeda. Dalam kalut, dia berharap ada dunia yang tak terkotak-kotak oleh agama. Ada dunia dimana seluruh umat bisa menyembah di rumah ibadah yang sama. Tanpa amarah, tanpa prasangka.
Namun ketika dia menyadari asa itu hanya bisa terwujud dalam dunia dua dimensi saja, maka Afza hanya bisa menekukkan lututnya. Sujud lama di shalat malamnya hari itu, diakhirinya dengan sebuah doa.
"Ya Allah..., aku  memang mencintainya. Namun itu tak akan sebesar cintaku padaMu.Jika memang tak Engkau izinkan aku bersamanya, maka bantulah hambaMu yang lemah ini untuk melupakannya..."
***
Malam harinya, Nawang berbaring telungkup sambil membuka laptopnya. Kedua matanya yang merah dan bengkak. Seperti biasa, jika ada sesuatu yang mengganggu hatinya seperti saat ini, dia menulis. Namun aplikasi pengolah kata yang terpampang tepat di depannya ini masih kosong.
Pikiran Nawang tertuju pada ucapan Afza tadi siang...
***
Afza tersenyum. Dia sudah mantap memilih kata-katanya. Dia hanya perlu mengatakannya pada Nawang...
"Na, dengarkan aku...," kata Afza.
Nawang masih terisak. Namun pandangannya sudah kembali pada Afza.
"Aku tidak akan mengajukan banding. Aku akan menjalani semuanya ini dengan ikhlas. Tolong jangan lihat ini sebagai hukuman, tapi terapi..."