M. Afza Sunindyo, dua puluh delapan tahun. Lelaki yang biasa berkutat dengan pen tab dan buku sketsa itu, kini berkawan akrab dengan nyamuk-nyamuk dalam pengap sel salah satu rutan ibu kota. Dia masih mengenakan kaos hitam bertuliskan kata "TAHANAN" di punggung meski hakim sudah menjatuhkan vonisnya pada sidang putusan pekan lalu. Lima tahun. Hukuman penjara maksimal atas kasus yang menjeratnya. Pelanggaran  terhadap isi pasal 156 KUHP tentang penodaan agama.
"Batas waktu bandingmu hampir berakhir, Za...," ujar Nawang dengan suaranya yang lembut seperti peri.
Afza tersenyum menatap gadis manis berlesung pipi yang membesuknya hari ini. Hanya sahabat kecilnya ini yang tak berubah. Sejak gambar masjid kuning besar yang dipenuhi banyak simbol salib merah itu diunggahnya ke akun media sosial dan menjadi viral, Afza sudah lupa kapan terakhir kali orang lain melihatnya dengan tatapan hangat seperti yang Nawang lakukan saat ini.
"Aku tidak akan mengajukan banding, Na...," kata Afza tenang.
Nawang menggeleng, tak terima. Sorot mata gadis itu menajam, menuntut Afza meralat ucapannya barusan.
"Aku serius. Aku sudah ikhlas menerima put--"
"Tidak!" potong Nawang. Suaranya tak selembut tadi. Ada getar kepanikan yang mendadak muncul dan tak mampu dia sembunyikan. "Afza... kau tidak -penistaan itu-, kau sama sekali tidak melakukannya..."
"Gambar itu, memang aku yang membuatnya. Aku pula yang mengunggahnya. Kau sudah lihat bagaimana reaksi mereka yang melihatnya kan, Na? Memangnya, tidak cukup berita demo dan segala umpatan yang mereka tujukan padaku itu memenuhi time line-mu?"
"Ta.., tapi---"
"Juga semua pemeriksaan dan rangkaian sidang atas kasus ini..., hanya satu kesimpulannya. Aku bersalah. Terlalu banyak yang terluka atas gambarku itu..."
"Tapi gambar itu tak seperti yang mereka pikirkan...," debat Nawang. "Aku mengenalmu, Za. Aku melihat bagaimana kau begitu mencintai Tuhan dan agamamu selama ini, sungguh mustahil kau menodainya hanya dengan sebuah gambar."