Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FITO] Kapal Pengangkut Jiwa Terhilang

25 Agustus 2016   18:36 Diperbarui: 25 Agustus 2016   18:44 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Sumber: www.kompasiana.com"

"Pada senja bulan mati ke-19 setiap tahun ganjil, sebuah kapal putih berlabuh di dermaga. Tak seorang pun dapat melihat awaknya, hanya lampu-lampunya saja yang berkerlip indah," suara Salimah mendongeng, lembut memecah petang hari itu. Tangannya sibuk menyulam.

Duduk melamun di jendela, Anfield, lima tahun, buah hatinya.

"Kapal itu bukan sembarang kapal. Melainkan kapal hantu. Kapal pengangkut jiwa-jiwa terhilang. Yang tubuhnya meletih, yang rohnya kesepian serta tersesat, tak bisa menemukan jalan pulang..."

"Seperti Ayah?" celetuk Anfield. Mata hijaunya memandang lurus ke ibunya.

Salimah tercekat. Namun akhirnya memaksa diri tersenyum, "Ya. Seperti ayah..."

Anfield diam, melarut kembali dalam lamunan.
Salimah menghela nafas. Dia harus ekstra sabar menghadapi Anfield yang terbiasa melihat apa yang tak tertangkap retina biasa.

"Tapi...," Anfield menerawang, sebelum akhirnya membelalak pada entah apa yang dilihatnya di balik jendela. "Mama! Coba lihat, ayah pulang!"

"Tidak lucu, Anfield!" hardik Salimah. Suaminya sudah lama meninggal. Anfield masih janin 5 bulan di perutnya kala itu. Mustahil dia mengenal ayahnya.

"Mama! Lihatlah..., itu sungguh ayah. Dia melambai pada kita," Anfield melompat-lompat. Belum pernah Salimah melihatnya segirang itu.

Anfield tak berdusta. Memang ada sosok lelaki asing berdiri di dermaga. Rambut pirangnya, kulit pucatnya..., juga seragam kapten itu... Semuanya begitu familiar.

"Bill...," desis Salimah tak percaya. Dia terperangkap pusaran lorong waktu.

Lalu tanpa berpikir lagi, wanita itu menghambur keluar. Berlari menuju dermaga di bawah sana.

***

Dermaga itu sudah puluhan tahun terbengkalai. Pendangkalan pada dasarnya memaksa pemerintah memindahkannya. Di dekat sana ada rumah kecil yang jendelanya selalu terbuka. Penghuninya, seorang janda tua yang sering berbicara sendiri pada lelembut yang dia kira anaknya.

Salimah, janda itu kemudian mendadak raib.
Mencipta lagu pada mulut-mulut nyinyir : Salimah mati bunuh diri.

Yang lain percaya pada legenda, Salimah dibawa kapal hantu.

*
William Fergusson, kapten yang pernah memerkosanya, kini mengajak Salimah berlayar.
Meninggalkan kehampaan.
Hanyut dalam keabadian.

*

Tepian Musi. Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun