Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sayonara, Puspita San

12 Mei 2016   15:44 Diperbarui: 12 Mei 2016   16:03 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lawang Sewu, akhir Agustus 1945

"Puspita San," kata Heiji. "Kelak hanya akan ada seorang anak yang lahir dari rahimmu, seorang putri yang jelita. Namun ketahuilah, dia juga hanya akan memberimu seorang cucu perempuan saja. Cucu itulah yang baru bisa mempersembahkan lelaki pertama dalam garis keturunanmu. Cucumu akan melahirkan banyak anak, dan kau akan berumur cukup panjang untuk menunggui cicit-cicitmu lahir seluruhnya...."

"Heiji San," ujar Puspita dengan nada memperingatkan. Perempuan berkain motif bebungaan yang sudah sangat pudar warnanya itu menatap lelaki di sampingnya dengan pandangan tak suka. "Bukankah sudah kubilang, memperkatakan -apalagi memercayai- ramalan seperti adalah kekejian di mata Tuhan? Berjanjilah, kautak akan mengatakan sesuatu seperti itu lagi di depanku."

"Baiklah, baiklah," Heiji mengalah. "Tapi aku benar-benar berharap cicit lelakimu itu diberi nama Kenichi -Anak laki-laki pertama yang sehat dan kuat-. Bagaimana menurutmu? Nama yang baik, bukan?"

"Ya, Kau benar, Heiji San,” kata Puspita sepakat. Gadis bergelung rapi itu tak bisa menahan terbitnya sebuah senyum di bibirnya. Dia bukannya tertarik dengan apa yang dibicarakan pemuda itu, namun cara Heiji menyampaikannya selalu menimbulkan decak kagum. Meski masih tak bisa menghilangkan aksen patah-per-suku-kata khas Jepang sepenuhnya, penguasaan Bahasa Indonesia Heiji jelas meningkat drastis hanya dalam waktu satu tahun.

Satu tahun, Puspita membatin. Kemana perginya jutaan detik yang terlewat itu? Rasanya baru kemarin dia bertemu lelaki ini. Pertemuan perdana mereka tak terlalu jauh dari tempat ini, Lawang Sewu, sebuah bangunan peninggalan Belanda yang saat itu sudah diduduki Pasukan Jepang.

Puspita, yang kala itu baru masuk Fujinkai, terlihat berseteru dengan seorang prajurit lantaran menolak melakukan Seikerei*). Nyaris saja sebuah tebasan Katana memisahkan kepalanya dari leher jika Heiji tak datang tepat waktu. Heiji, -tentu saja Puspita belum tahu namanya waktu itu-, hanya tampak seperti pemuda Jepang biasa. Namun entah mengapa, Prajurit yang nyaris memenggalnya malah tersungkur ke tanah, bersujud di depan Heiji hingga pakaiannya kotor penuh debu.  Prajurit itu tampak gemetar melihat selendang putih berhias kanji semerah darah yang terikat di lengan kiri Heiji.

Barulah, ketika Heiji secara misterius mulai sering menemui Puspita secara berkala dengan alasan belajar Bahasa Indonesia di kemudian hari, identitasnya terungkap. Heiji Immamura, seorang Tai’i-Kempei , alias Kapten Pasukan Kempetai**) yang konon masih punya hubungan darah dengan Hitoshi Immamura***).

Puspita merasa, pribadi Heiji yang lembut dengan garangnya dunia perang adalah sesuatu di luar kuasanya. Sama halnya dengan benih cinta yang tumbuh kian subur setiap kali berdekatan dengan pemuda itu. Padahal Puspita tahu benar, Heiji juga bagian dari tirani yang membuat Tanah Airnya sengsara. Ahh, benar-benar sesuatu di luar kuasanya.

“Heiji San,” kata Puspita lemah. Matanya berkaca memandang barisan truk besar  di seberang jalan yang mulai penuh dengan prajurit-prajurit berperawakan mirip Heiji. “Secepat itukah kau pergi?”

“Benar, Puspita San. Kita sudah mendengarnya di radio bukan? Negeriku kini tengah porak poranda akibat bom dari sekutu.”

“Tapi...,” Puspita tercekat. “Tak semua dari kalian pergi...”

“Benar. Mereka masih ada yang tinggal. Tapi kelak pada saatnya mereka semua akan pulang kembali ke negeri kami, jika tidak kembali pada keabadaian. Dua bulan dari sekarang, akan ada pertempuran hebat di sekitar sini. Berjanjilah padaku, kau sudah pulang kembali ke desa asalmu...”

“Hei-“

“Tidak, Puspita San,” kata Heiji tegas. Menenggelamkan protes Puspita. “Jika tak ingin menganggapnya sebagai ramalan, maka  anggaplah ini sebagai permintaan terakhirku. Berjanjilah kau akan pulang ke desamu, dan engkau akan selamat di sana.”

Puspita terdiam. Dia menatap ke dalam mata Haiji yang penuh kesungguhan. Tak ada dusta sedikitpun yang mampu ia temukan. Sesaat kemudian, Puspita membungkukkan badannya tanda mengerti.

Heiji membalasnya dengan membungkukkan badannya pula sebelum akhirnya melangkah menjauh. “Sayonara, Puspita San...”

“Sayonara, Heiji San,” bisik Puspita. Ia membatu, memandang sosok Heiji yang masuk ke truk terakhir yang akan membawanya ke pelabuhan. Membawa Heiji berlayar kembali ke Negeri di mana Matahari Terbit.

Truk itu menderu, melaju perlahan meninggalkan asap kehitaman, sebelum akhirnya menghilang di tikungan.Puspita mendesah. Air matanya mengalir. Tapi ia membiarkannya. Ia malah mengusap lembut perutnya yang kini tampak tak serata biasanya.

“Kau dengar kata ayahmu, Nak? Kelak kau harus menamai cucumu dengan Kenichi.”

____________

Catatan :

*) Membungkuk ke arah matahari terbit sebagai wujud penghormatan terhadap Kaisar yang diyakini sebagai Titisan Dewa.

**) Polisi Rahasia Jepang

***)  Latnan Jenderal Jepang pada masa Perang Dunia II, pemimpin pasukan Jepang kala menaklukkan kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia tahun 1942

Nb. Tulisan ini dibuat sebagai tugas #BelajarBareng Grup FB Fiksiana Community materi Setting (Latar).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun