NO peserta : 55
***
“ARYA, I LOVE YOU!!!” teriak Ega. Suara gadis berkemeja biru itu terdengar sayup, berbaur dengan deru mesin dan klakson kendaraan di jalanan di sisinya.
Arya, lelaki yang berada sekira sepuluh langkah di depan Ega itu tak menjawab. Namun dia menghentikan langkahnya, menunggu Ega yang berupaya mensejajarkan langkah dengannya.
“Ok, thank’s,” ujar Arya begitu Ega berada di sebelahnya.
Ega melotot. “Ishhh, kok cuma ‘thank’s’ ?” ucapnya tak terima.
“Terus? Aku harus bilang WOW begitu?”
“Ya nggak gitu juga,” jawab Ega. Saat ini dia di depan Arya, berjalan mundur agar bisa leluasa memandang wajah lelaki yang sudah tiga tahun mengisi hatinya itu. “Tapi bilang I love you, too kenapa sih?”
“Nggak ah”.
“Kok nggak? Berarti kau nggak cinta sama ak...”
“AWAS!!!!” Arya berteriak. Refleks menarik tangan Ega. Nyaris saja sebuah sepeda motor yang melaju kencang menyerempet cewek sembrono itu. Arya melotot, setengah cemas. “Sudah, jalan yang benar! Lihat ke depan!”
“Berarti kau nggak cinta sama aku, Ar,” Ega mengulang perkataannya. Seolah tidak terjadi apa-apa. “Belum pernah sekalipun kau bilang cinta,”
“Masalahkah?”
“Nggak. Cuma aku nggak suka,”
“Semoga kau bahagia dengan ketidaksukaanmu,”
Ega memonyongkan bibirnya. Kalau sudah bicara begitu, Arya tidak akan berucap apa-apa lagi.
Heran, apa susahnya sih bilang cinta? Bukankah mereka sudah pacaran lebih dari tiga tahun. Kadang cinta itu perlu diungkapkan lewat kata-kata agar tidak muncul kesalahpahaman. Kalau begini, hanya akan menyuburkan keraguan dalam hati Ega.
Arya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Ega tidak berhenti membuatnya jengah. Memangnya, tidak cukup pengorbanan yang sudah dia lakukan selama ini? Tidak cukupkah rencana melamar gadis itu tahun depan meyakinkannya? Ega meragukan cintanya hanya karena menuntut kata-kata belaka. Belum tentu juga maknanya setulus apa yang ada di dalam sanubarinya.
Arya berpikir, apakah semua makhluk Hawa akan bersikap seperti itu? Atau hanya Ega?
Lihatlah, gadis itu sekarang memanjat pagar pembatas taman kota. Entah apa maunya. Dulu, Arya berpikir gadis itu hanya suka mencari perhatian. Tingkahnya kadang sama sekali tak pantas untuk gadis berusia 25 tahun. Namun begitulah Ega, dia hanya melakukan apa yang ingin dilakukannya. Spontan, dan tidak peduli apa kata sekitarnya.
Mungkin itu juga yang membuat Arya tertarik. Ega selalu transparan. Apa yang di pikirannya terlihat jelas, seiring dan sejalan dengan apa yang terucap. Berbeda dengan kebanyakan gadis zaman sekarang yang penuh kamuflase. Sedikit kekanakan, namun bisa dewasa saat diperlukan. Mungkin karena dia terlalu banyak menerjemahkan komik Jepang, jadi tak bisa sepenuhnya bisa meninggalkan dunia anak kecil yang begitu dicintainya.
Ega juga sangat cantik meski wajahnya hanya dibalur bedak tipis. Alisnya terulir hitam alami. Sedikit berantakan, namun jauh lebih mempesona dibanding alis panjang cokelat sempurna yang dibentuk gadis lain mati-matian. Padahal, menurut Arya malah terlihat seperti alis Shinchan. Norak.
“Ega,” tegur Arya. Gadis itu gayanya sudah seperti wall climber profesional. Sayangnya, fasilitas umum jadi terancam rusak oleh aksi gilanya itu. “Hentikan kebercicakanmu itu”.
Ega menoleh ke Arya yang menunggunya di bawah. Apa tadi katanya? Kebercicakan? Lagi-lagi kosakata aneh yang tak sepenuhnya dia mengerti. Tapi begitulah Arya. Dia tak terlalu banyak bicara, tapi senang melontarkan diksi yang tak lazim. Ah, mungkin memang begitu kalau terlalu banyak mengedit buku-buku sastra.
Sebagai editor buku fiksi, baik yang lokal maupun terjemahan, Arya tentunya memiliki sejuta cara untuk mengatakan rasa cintanya. Dia punya gudang kosakata di otaknya yang nyaris selengkap kamus. Tapi mengapa sampai sekarang kalimat bernada cinta tak pernah satu kalipun diterima Ega. Ega hanya penasaran. Gadis itu hanya ingin diyakinkan kalau lelaki yang disampingnya ini benar-benar mencintainya.
“Arya,” panggil Ega. “Gendong”.
Arya mengangkat alisnya. Menaksir keseriusan permintaan gadis itu. Tapi melihat tangan Ega terulur dan bersiap untuk turun dari pagar yang dipanjatnya, Arya pun mengatur posisinya. Tak lama, Ega sudah menggelayut di punggung Arya. Dan mereka sudah kembali menyusuri jalan. Biar kurus, Arya ternyata kuat juga.
“Kau mau kugendong sampai rumah?” tanya Arya. Hari sudah semakin sore. Mereka sudah berjalan kaki menyusuri jalanan kota sepanjang hampir 3 km sebelum Ega minta digendong barusan.
Ega menggeleng. Namun begitu sadar Arya tak bisa melihat wajahnya, dia melanjutkan. “Nggak. Sampai sana saja,” katanya menunjuk zebra cross yang tak jauh lagi.
“Ar, kau nggak pernah bilang cinta,” kata Ega lagi. “Kau nggak benar-benar cinta aku?”
Arya menghela napas. Bosan. Tapi dia tahu, Ega tak akan pernah berhenti bertanya. Dia menurunkan Ega dari gendongannya.
“Aryaaa,” Ega gemas. “Kau nggak cinta aku kan? Bilang saja. Aku janji nggak akan marah”.
“Bukan begitu,” kata Arya. Dia meraih tangan Ega, menggandengnya menyeberang jalan. Dia melanjutkan, “Cuma menurutku nggak semuanya perlu diomongkan,”
Ega terdiam. Dia merasakan Arya mengeratkan genggamannya ketika mereka melangkah garis hitam putih yang mirip tuts piano besar itu. Tangannya hangat. Wajahnya juga menghangat. Andai dia bisa melihatnya, pasti warnanya semerah pantat kera gunung sekarang.
Ah, tentu saja tidak perlu diomongkan. Karena apa yang di hati Arya telah dia buktikan dengan perbuatan.
Ega tersenyum. Dia balas menggenggam tangan Arya kuat-kuat. Tangan lelaki yang tidak pernah bilang cinta kepadanya.
****************************************************
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H