“Ega,” tegur Arya. Gadis itu gayanya sudah seperti wall climber profesional. Sayangnya, fasilitas umum jadi terancam rusak oleh aksi gilanya itu. “Hentikan kebercicakanmu itu”.
Ega menoleh ke Arya yang menunggunya di bawah. Apa tadi katanya? Kebercicakan? Lagi-lagi kosakata aneh yang tak sepenuhnya dia mengerti. Tapi begitulah Arya. Dia tak terlalu banyak bicara, tapi senang melontarkan diksi yang tak lazim. Ah, mungkin memang begitu kalau terlalu banyak mengedit buku-buku sastra.
Sebagai editor buku fiksi, baik yang lokal maupun terjemahan, Arya tentunya memiliki sejuta cara untuk mengatakan rasa cintanya. Dia punya gudang kosakata di otaknya yang nyaris selengkap kamus. Tapi mengapa sampai sekarang kalimat bernada cinta tak pernah satu kalipun diterima Ega. Ega hanya penasaran. Gadis itu hanya ingin diyakinkan kalau lelaki yang disampingnya ini benar-benar mencintainya.
“Arya,” panggil Ega. “Gendong”.
Arya mengangkat alisnya. Menaksir keseriusan permintaan gadis itu. Tapi melihat tangan Ega terulur dan bersiap untuk turun dari pagar yang dipanjatnya, Arya pun mengatur posisinya. Tak lama, Ega sudah menggelayut di punggung Arya. Dan mereka sudah kembali menyusuri jalan. Biar kurus, Arya ternyata kuat juga.
“Kau mau kugendong sampai rumah?” tanya Arya. Hari sudah semakin sore. Mereka sudah berjalan kaki menyusuri jalanan kota sepanjang hampir 3 km sebelum Ega minta digendong barusan.
Ega menggeleng. Namun begitu sadar Arya tak bisa melihat wajahnya, dia melanjutkan. “Nggak. Sampai sana saja,” katanya menunjuk zebra cross yang tak jauh lagi.
“Ar, kau nggak pernah bilang cinta,” kata Ega lagi. “Kau nggak benar-benar cinta aku?”
Arya menghela napas. Bosan. Tapi dia tahu, Ega tak akan pernah berhenti bertanya. Dia menurunkan Ega dari gendongannya.
“Aryaaa,” Ega gemas. “Kau nggak cinta aku kan? Bilang saja. Aku janji nggak akan marah”.
“Bukan begitu,” kata Arya. Dia meraih tangan Ega, menggandengnya menyeberang jalan. Dia melanjutkan, “Cuma menurutku nggak semuanya perlu diomongkan,”