Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... Freelancer - heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hiruk Pikuk Si Alkisah dari Zamrud Khatulistiwa

6 Februari 2024   21:11 Diperbarui: 6 Februari 2024   21:29 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akar napas pohon bakau di Bahoi | Dokpri

Pernahkah kalian berpikir, apa yang bisa kalian lakukan dalam satu menit?

Bangkit dari tempat tidur lalu ke kamar mandi? Melakukan peregangan otot?  Atau scrolling timeline media sosial?

Tentu satu menit memang terdengar begitu cepat.

Namun tahukah kalian kalau dalam satu menit itu, ada hutan seluas 11 lapangan sepakbola yang hilang?

Ya, kalian tidak salah baca, 11 lapangan sepakbola.

Setiap satu menit waktu ini berjalan, dalam 60 detik yang sangat singkat itu, hutan seluas 11 lapangan sepakbola lenyap di Bumi. Jika dijumlahkan dalam setahun, maka itu adalah 4,1 juta hektare hutan primer tropis yang hilang di tahun 2022 menurut data Universitas Maryland di platform Global Forest Watch WRI.

Apa dampak lenyapnya hutan yang luar biasa luas itu? Terlepasnya emisi karbondioksida sebanyak 2,7 gigaton (Gt).

Lantas sebesar apa 2,7 Gt karbondioksida itu? Senilai emisi bahan bakar fosil tahunan di India.

Terdengar mengerikan?

Ya, itu semua adalah sesuatu yang ternyata bisa benar-benar terjadi dalam satu menit yang begitu singkat.

Satu menit yang tanpa kita sadari, Bumi telah melangkah semakin dekat ke jurang bencana ekologis. Satu menit yang tak pernah dipikirkan, Bumi semakin kehilangan kemampuannya menjadi planet untuk ditinggali.

We are, minutes to the midnight.

Menjadi Sustainable Traveler Demi Bumi

Kegiatan EBS tanam bakau di Jakarta | Dokpri
Kegiatan EBS tanam bakau di Jakarta | Dokpri

"Nggak banyak yang sadar kalau satu hektar mangrove itu bisa menyerap emisi karbondioksida hingga 39,75 ton dalam setahun. Jumlah itu setara dengan emisi dari 59 sepeda motor!"

Aku terdiam menatap benih bakau di tangan kananku sambil mendengar penjelasan Sultan selaku perwakilan mangrovejakarta.id. Meskipun siang itu hujan sangat deras di kawasan Jakarta Utara, aku dan puluhan rekanku dari Eco Blogger Squad (EBS) tak gentar harus masuk ke rawa-rawa mangrove untuk menanam bakau.

Kami bahkan tak peduli saat harus terjun ke rawa setinggi lutut itu, sehingga celana kami basah atau jas hujan plastik yang kami kenakan sedari tadi jadi robek, dan kotor penuh lumpur. 

Meskipun hanya satu benih, aku sudah terlibat secara langsung menambah luasan hutan mangrove di Indonesia yang saat ini sudah seluas tiga juta hektar dan mengambil porsi 20% dari total mangrove di Bumi. Bahkan sekalipun 'cuma' seluas tiga juta hektar alias 2% dari total hutan di Indonesia, mangrove Indonesia mampu menyimpan hingga 10% dari emisi karbon di udara.

Luar biasa, kan?

Memang, tergabung sebagai anggota EBS sejak tahun 2021, membuatku makin paham akan pentingnya green lifestyle. Aku mungkin bukanlah orang yang bisa melakukan reforestrasi berhektar-hektar atau menjadi investor pembangkit listrik EBT (Energi Baru Terbarukan) untuk terlibat langsung dalam kelestarian lingkungan.

Aku menggunakan kemampuanku lewat tulisan untuk melakukan aksi mewujudkan lingkungan yang sustainable demi masa depan sebagai seorang sustainable traveler blogger.

Tidak sulit kok untuk menjadi seorang traveler berkelanjutan.

Kalian hanya perlu memilih destinasi wisata berkelanjutan yang memang mengembangkan konsep wisata dengan dampak jangka panjang. Baik berimbas pada segi sosial, budaya, ekonomi dan tentunya lingkungan. Terberkatilah kita yang tinggal di Indonesia karena destinasi wisata sustainable yang mengedepankan eco-tourism ini sangat banyak.

Misalnya di tempat tinggalku yakni Malang, kalian bisa datang ke CMC (Clungup Mangrove Conservation) di Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Setidaknya ada enam pantai yang bisa kalian pilih yakni Clungup, Gatra, Sapana, Mini, Batu Pecah dan Tiga Warna. Favoritku adalah pantai Tiga Warna karena kalian bisa snorkeling untuk menikmati keindahan samudera bawah laut di pantai selatan Kabupaten Malang.

Namun tak hanya keindahan laut yang bisa kalian dapat di pantai Tiga Warna.

Pantai Tiga Warna | Dokpri
Pantai Tiga Warna | Dokpri

Karena dalam setiap tiket masuk sebesar Rp10 ribu ke pantai Tiga Warna, akan didonasikan untuk penanaman satu bibit bakau di area mangrove CMC. Artinya, kalian berwisata sambil juga melestarikan lingkungan. Bahkan untuk konsep wisata berkelanjutan, setiap satu rombongan pengunjung yang wajib terdiri dari 10 orang, harus membawa tour guide lokal demi perekonomian desa.

Sejak berkunjung ke CMC, akupun jadi lebih mengutamakan destinasi eco-tourism sebagai incaranku.

Mulai dari hutan mangrove Margo Mulyo di Balikpapan, Kalimantan Timur, hingga Desa Wisata Bahoi di Kecamatan Likupang Barat, Sulawesi Utara sana. Bahkan saat aku ke Bahoi, aku juga menanam bibit bakau sembari melintasi area hutan yang dipenuhi akar-akar pasak sonneratia alba di sepanjang bibir pantai Tanah Minahasa.

Jalanku sebagai seorang sustainable traveler juga berlanjut saat aku ke Nusa Tenggara Barat (NTB) sana. Singgah di TWA (Taman Wisata Alam) Gunung Tunak di Mertak, Kabupaten Lombok Tengah, aku ikut melepaskan belasan bibit-bibit penyu di tepi Pantai Bile Sayak bersama rekan-rekanku, sebelum kemudian lagi-lagi ikut menanam bibit bakau di area Gunung Tunak.

Tapi, apakah untuk menjadi seorang sustainable traveler haruslah berkunjung dulu ke tempat wisata eco-tourism?

Tentu tidak.

Hal lain yang lebih sederhana kulakukan adalah dengan senantiasa membawa botol minum sendiri saat bepergian, demi mengurangi ketergantungan pembelian air mineral dalam botol yang meningkatkan sampah plastik.

Tak hanya itu, aku juga suka berwisata dengan memaksimalkan kemampuan fisikku lewat naik gunung dan jalan kaki.

Pendakian Gunung Arjuno | Dokpri
Pendakian Gunung Arjuno | Dokpri

Eits, jangan remehkan jalan kaki.

Dengan kalian terbiasa berjalan kaki alih-alih menggunakan kendaraan bermotor, artinya kalian terlibat langsung dalam memangkas emisi karbon di udara. Sekadar informasi, berdasarkan data International Energy Agency pada tahun 2015, 30% dari total emisi karbondioksida di Indonesia dihasilkan dari sektor transportasi, di mana 88% di antaranya adalah emisi transportasi darat.

Dalam informasi yang diungkapkan oleh Greeners, mereka yang berjalan kaki minimal 60 menit per hari untuk kesehatan dengan jarak 4,82 kilometer, setara dengan pemangkasan dua kilogram emisi karbon dari mobil.

Bayangkan kalau kalian berjalan kaki secara rutin selama minimal satu jam dengan jarak yang sama selama satu tahun, kalian sudah membantu mengurangi 730 kilogram emisi karbon.

Luar biasa kan?

Sebuah aksi sederhana yang membuat siapapun bisa menjadi seorang sustainable traveler.

Dari Indonesia, Mari Panjangkan Usia Bumi

Akar napas pohon bakau di Bahoi | Dokpri
Akar napas pohon bakau di Bahoi | Dokpri

"Karena Waerebo ini lokasinya di lembah pegunungan, listrik sulit masuk, kakak. Akhirnya pemerintah pasang panel surya di sini. Sumber listrik di Waerebo ini gantian dari generator mulai jam enam sore sampai sepuluh malam, lalu panel surya dari jam sepuluh malam sampai besok pagi,"

Aku mengangguk mendengarkan penjelasan Maria, tour guide kami yang sudah menemani sejak di Labuan Bajo. Kebetulan juga karena Maria memiliki nenek yang masih tinggal di Waerebo, dia ikut dalam perjalananku menuju salah satu desa terindah di Indonesia itu.

Namun sembari mendengarkan penjelasannya, mataku menemukannya.

Itu adalah panel-panel surya yang dipasang di bagian luar Mbaru Niang (rumah adat Waerebo). Tentu panel surya di desa adat setinggi 1.200 mdpl yang harus ditempuh dengan berjalan kaki minimal tiga jam dari Desa Denge tentu bukan hal yang sering kualami. Mau tak mau, aku pun takjub.

Bagaimana bisa sebuah desa pedalaman yang dihuni oleh masyarakat adat, berada jauh dari perkotaan, justru lebih memahami soal kelestarian lingkungan lewat penggunaan panel surya untuk sumber energi listrik mereka?

Ya, masyarakat Waerebo sudah lebih dulu terbiasa 'memanen' matahari daripada kita, manusia-manusia kota besar.

Bicara soal memanen matahari ini, aku jadi ingat dengan perjalananku ke Likupang. Tidak hanya memiliki pantai dan pemandangan bawah laut yang sangat istimewa, Likupang bisa sedikit berpongah karena mereka mempunyai ladang seluas 29 hektar atau setara 40 luas lapangan sepakbola yang dipasang puluhan ribu panel surya.

PLTS Likupang | foto: Liputan6
PLTS Likupang | foto: Liputan6

Berada di Desa Wineru, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, setidaknya ada hamparan 64.620 panel surya tersusun rapi yang beroperasi selama 12 jam mulai dari pukul 05.30 WITA. Panel-panel surya milik PLTS Likupang ini mampu menyalurkan listrik sebesar 15 MW ke sekitar 15 ribu rumah tangga dan memangkas emisi karbon hingga 20,01 kiloton.

Sebuah langkah besar yang dilakukan oleh Indonesia.

PLTS adalah upaya menghasilkan energi yang jauh lebih bersih, lantaran emisi karbon yang dihasilkan hampir nol, jauh berbeda dengan pembangkit listrik tenaga batubara.

Tanpa kalian sadari, para pemangku kepentingan negeri ini memang terus menapaki peta jalan menuju NZE (Net Zero Emission) di tahun 2060 nanti. Berbagai kegiatan green action dilakukan dari hulu ke hilir oleh seluruh lapisan termasuk berbagai perusahaan-perusahaan energi besar, dengan tujuan utamanya adalah penggunaan energi untuk lingkungan hidup demi kemajuan Indonesia.

Saat ini pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim semakin dikebut demi mencapat target Sustainable Development Goals (SDGs) sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Jika sesuai dengan skenario, paling cepat Indonesia akan mampu mencapai nol emisi di tahun 2045, tepat dengan 100 tahun negeri ini merdeka.

Dengan 90% produksi emisi nasional bersumber dari emisi energi dan pemakaian lahan, akan ada peningkatan efisiensi energi cukup besar dari 1% menjadi 6,5% di tahun 2030 mendatang. Demi memangkas emisi karbon itu, ditetapkanlah target restorasi lahan gambut sebesar 300 ribu hektar per tahun. Tentu ini adalah salah satu langkah nyata mewujudkan lingkungan hijau dan lestari, seperti dilansir website resmi BPIW (Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah) KemenPUPR.

Nantinya, prinsip ESG (Environmental, Social and Governance) untuk mencapai SDGs terutama tujuan 13 dan 14 yakni Climate Action dan Life Below Water bukanlah sekadar mimpi di siang bolong. Apalagi dengan cadangan gas bumi Indonesia yang diprediksi Kementerian ESDM bakal habis pada 20 tahun nanti dan cadangan batubara habis 63 tahun nanti, gaya hidup manusia harus berubah sebelum kita benar-benar kehilangan sumber energi.

Jadi, ayo pangkas jejak karbon bersama, cerdas gunakan energi yang ada, dan lakukan berbagai hal sustainable secara sederhana.

Dari Indonesia, kita titipkan salam sayang untuk planet Bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun