Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... Freelancer - heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sumpah Palapa, Dedolarisasi dan Lahirnya ASEAN Sebagai Pusat Dunia

20 Juni 2023   13:01 Diperbarui: 20 Juni 2023   13:12 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lamun huwus kalah Nuswantara isun amukti palapa. Lamun kalah ring gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana isun amukti palapa" (Sumpah Palapa -- Mahapatih Gajah Mada)

Aku masih ingat waktu liburan ke Bangkok, Thailand, bersama rekan-rekan kerjaku beberapa tahun lalu sebelum pandemi Covid-19 menerjang. Bisa dibilang kami saat itu sungguh kehilangan akal ketika melihat harga produk fashion yang kelewat murah. Bayangkan, kalian bisa mendapat jas, gaun, celana, blouse hingga t-shirt lucu dengan bahan yang nyaman mulai dari 50 baht (sekitar Rp21 ribuan) di Tawanna, Union Mall sampai Owl Market.

Belum lagi ketika singgah di Siam Square, menahan gejolak untuk tidak berbelanja berbagai skincare atau aneka jajanan Thailand adalah hal yang mustahil dilakukan. Hanya ada satu hal yang menghentikan kami bertransaksi saat itu, baht yang sudah habis.

Ya, kami harus kembali lagi ke money changer atau rela melakukan penarikan uang tunai langsung di ATM  terdekat menggunakan rekening rupiah, meskipun artinya akan mendapatkan biaya konversi yang tidak murah. Hingga akhirnya ketika harus pulang ke Indonesia dan sedang berada di ruang tunggu Bandara Don Mueang, kami cuma bisa melotot karena harus membayar biaya bagasi tambahan akibat barang belanja yang terlalu banyak.

Meski begitu, aku tak bisa menampik bahwa belanja memang menyenangkan. Aku tak akan menyalahkan area ventral striatum di dalam otakku yang terus mengeluarkan dopamin saat aku berbelanja. Bahkan Scott Rick selaku Asisten Profesor Marketing di Universitas Michigan mengungkapkan, seseorang yang sedang bersedih akan menemukan kebahagiaan ketika berbelanja.

Kok bisa begitu?

Karena saat kita berbelanja, dopamin yang bertanggung jawab atas rasa senang dalam otak akan mengalir. Ini adalah sebuah fakta bahwa sejak zaman primitif, otak manusia memang cenderung akan selalu mencari pengalaman baru. Dan membeli produk-produk asing yang tidak ditemukan di Indonesia, adalah salah satu pencetusnya.

Sembari melihat bagasiku yang gemuk saat menggelinding masuk ke pesawat, aku sempat berpikir: Andai saja Thailand dan Indonesia menggunakan sistem pembayaran yang sama tanpa perlu tukar-menukar mata uang, mungkin aku hampir serupa dengan para pedagang yang berbelanja barang jualan mereka di Pasar Tanah Abang.

Mengingat Majapahit, Sang Pencetus Embrio ASEAN

foto: Pussgrey/DeviantArt
foto: Pussgrey/DeviantArt

Membayangkan bagaimana Indonesia dan Thailand memiliki sistem pembayaran sama sebetulnya bukan hal yang tidak mungkin. Dua negara berkembang ini adalah bagian dari wilayah ASEAN alias Asia Tenggara yang sebetulnya sudah menyimpan kisah persahabatan sejak masa lampau.

Kala itu Indonesia masih berbentuk Majapahit.  

Tentu dari banyaknya kisah kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia, mustahil kita tidak menyebut Majapahit. Ratusan tahun lalu, monarki terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut juga menjalin hubungan yang sangat baik dengan para Mitreka Satata (negara sahabat) seperti Kerajaan Champa (Vietnam), Siam (Thailand) atau Burma (Myanmar).

Berpusat di Jawa Timur, Wilwatikta mencapai puncak kejayaannya di masa kekuasaan Hayam Wuruk pada tahun 1350 -- 1389 dengan sang Mahapatih, Gajahmada. Ketika diangkat menjadi Patih Amangkubumi Majapahit, Gajahmada mengucap Amukti Palapa sebagai janjinya untuk menyatukan seluruh kepulauan Nusantara di bawah panji kebesaran Majapahit.

Amukti Palapa adalah embrio dari ASEAN.

Kitab Pararaton dan Encyclopaedia Britannica (2015) meyakini kalau Gajahmada berhasil menyatukan kepulauan kala itu. Di mana menurut Negarakertagama, kekuasaan Hayam Wuruk terbentang dari Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya (Malaysia), Kalimantan, Filipina (Kepulauan Sulu), Manila (Saludung), Sulawesi, Papua, Tumasik (Singapura), Maluku sampai area Nusa Tenggara melalui program kerja politik Gajahmada.

Jika dilihat dari kacamata masa kini, tentu itu adalah hampir sebagian besar wilayah negara-negara ASEAN.

Berabad-abad sejak Sumpah Palapa digaungkan, kini ASEAN adalah kawasan yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja dan Timor Leste. Tak ada sang Maharaja yang memimpin, atau Mahapatih di batas samudera dengan pasukan Bhayangkara, tetapi ke-11 anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara itu memiliki mimpi yang sama.

Menjadi sebuah Epicentrum of Growth.

Berperan penting bagi kawasan dan dunia, ASEAN tak hanya sekadar motor perdamaian, tapi juga pusat pertumbuhan ekonomi masa depan.

Pertanyaannya, apakah itu bisa?

QRIS, Katalisator Tembus Batas Geografi ASEAN

asean-64913f014addee0dde011344.png
asean-64913f014addee0dde011344.png
Setelah pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak tahun 2020 hingga akhirnya dicabut statusnya pada 2023 ini, perekonomian di Bumi memang kembali bergejolak. Meskipun begitu banyak pihak yang menatap pesimis tahun ini karena ancaman resesi ekonomi global. Bahkan untuk 2023 saja, pertumbuhan ekonomi di dunia hanya akan mencapai level 2,6%.

Di sisi lain, ASEAN justru memperlihatkan geliat optimisme.

Dalam Capacity Building on ASEAN Issues pada pertengahan Mei 2023 kemarin, Destry Damayanti selaku Deputi Gubernur Senior BI (Bank Indonesia) cukup percaya diri menyebutkan kalau pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara bisa mencapai lebih dari lima persen, dengan Indonesia di kisaran 4,8% - 5,3%.

Sebagai perbandingan, ADB (Asian Development Bank) memprediksi kalau perekonomian ASEAN bisa tumbuh mencapai 4,7% di tahun 2023, sementara Asia Timur yang diperkuat negara-negara ekonomi raksasa seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan diperkirakan ada di level 4,6%. Bahkan untuk wilayah Pasifik, pertumbuhan diprediksi sekitar 3,3%, sedangkan Timur Tengah mencapai 2,9% dan untuk kawasan Eropa cuma mampu 0,8%

Ekonomi dan keuangan digital disebut sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi ASEAN. Bahkan pengguna QRIS (Kode QR Standar Indonesia) di Tanah Air saja sudah mencapai 32 juta orang dengan merchant mencapai 25,4 juta. BI mencatat adanya pergerakan transaksi BI Fast di triwulan I-2023 sebesar Rp1.133 triliun.

Sebuah jumlah luar biasa yang menggambarkan cerahnya perekonomian Nusantara di tengah ancaman resesi.

foto: Databoks
foto: Databoks

Lantas bisakah QRIS jadi salah satu katalisator konektivitas sistem pembayaran ASEAN? Menyatukan mata-mata uang berbeda di negara Asia Tenggara dalam satu metode?

Dalam KTT ASEAN ke-42, asa itu tampak siap terwujud.

Presiden Jokowi meyakinkan komitmen para pemimpin ASEAN untuk memperkuat transaksi mata uang lokal demi mendorong sentralitas ekonomi Asia Tenggara. Untuk menjaga stabilitas mata uang lokal, upaya dedolarisasi pun dilakukan.

Kini bank sentral di lima negara ASEAN yakni BI, Bank Negara Malaysia (BNM), Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP), Monetary Authority of Singapore (MAS) dan Bank of Thailand (BAT) sepakat mewujudkan sistem pembayaran bersama yang lebih cepat, murah, transparan dan inklusif.

Salah satu caranya adalah menggunakan RPC (Regional Payment Connectivity) melalui QRIS antarnegara, yang akan menjadi cross-border payment (sistem pembayaran lintas negara) berbasis kode QR. Lewat RPC, tak perlu lagi kita repot-repot mengonversi atau menukarkan mata uang saat berbelanja di kawasan Asia Tenggara karena transaksi bisa dilakukan dengan memindai kode QR saja dan kemudian otomatis terkonversi ke mata uang negara bersangkutan.

Di Thailand sendiri, sudah banyak turis Indonesia yang melakukan transaksi QRIS antarnegara lewat Thai QR Codes. Sejak diresmikan pada Agustus 2022, Katadata melaporkan sudah ada transaksi senilai Rp8,54 miliar yang dilakukan wisatawan Indonesia di Thailand lewat kode QR. Sedangkan untuk turis Thailand yang berkunjung ke Indonesia, nilai transaksi baru menyentuh Rp114 juta karena keterbatasan PJP (Penyedia Jasa Pembayaran) di Tanah Air.

Untuk wilayah Asia Tenggara yang lain, QRIS di Malaysia kini sedang tahap uji coba dengan target perilisan di tahun 2023, sedangkan QRIS di Singapura masih proses pengembangan.

Tak hanya terbatas di ASEAN, akan ada juga sistem pembayaran QRIS di Jepang setelah BI menjalin kerjasama dengan METI (Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri) Jepang. Di mana nantinya kita bisa membeli onigiri dan nongkrong di 7-Eleven Shinjuku, sambil cuma memindai lewat QRIS atau JPQR (Japan Unified QR Code).

Aah, aku jadi ingat saat liburan ke Flores pada November 2022 silam.

Para pedagang cenderamata di Pulau Komodo maupun pengrajin kain tenun ikat di Bena, Kabupaten Ngada sudah menawarkan QRIS untuk kemudahan pembayaran barang jualan mereka kepada turis lokal maupun mancanegara.

Maria Sawi sang pengrajin tenun di Bena foto: Arai Amelya
Maria Sawi sang pengrajin tenun di Bena foto: Arai Amelya

"Tidak perlu lagi cari-cari uang kembalian kalau bayar pakai QRIS. Uang juga langsung masuk ke rekening, tidak rumit,"

Kalimat Maria Sawi, seorang pengrajin kain tenun ikat di Bena kala itu masih menjadi salah satu pernyataan favoritku, jika itu bicara soal manfaat QRIS bagi para pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di Indonesia.

Andai saja jumlah PJP kode QR di Tanah Air ini semakin banyak, tentu wisatawan Asia Tenggara yang berkunjung ke Indonesia akan semakin mudah dalam proses transaksi. Imbasnya, para pelaku UMKM yang menjadi salah satu penopang perekonomian wisata akan memperoleh dampak positif yang lebih besar.

Hanya saja, penerapan QRIS antarnegara ini memang tak lepas dari banyaknya tantangan. Filianingsih Hendarta selaku Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI kepada CNN Indonesia angkat bicara perihal hal tersebut. Menurut Filianingsih, beberapa tantangan itu seperti keterbatasan akses, transparansi, regulasi tiap negara, hingga biaya investasi.

Tentu butuh proses untuk menjadikan mimpi besar ini terwujud.

Namun meskipun begitu, aku bisa membayangkan betapa serunya pengalaman warga Indonesia saat menonton konser Coldplay di Stadion Nasional Rajamangala, Thailand, pada 3 Februari 2024 nanti. Berlokasi di Ramkhamhaeng yang memang menjadi salah satu wisata belanja di Bangkok, kalian tak perlu lagi mengantongi baht dalam jumlah besar karena transaksi bisa lewat scan QR.

Sebuah pengalaman menyenangkan ketika pembayaran di negara-negara ASEAN terkoneksi dalam satu sistem bersama. Jelas ini adalah langkah besar mewujudkan mimpi Asia Tenggara sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia.

Sawasdee kha, khap khun kha!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun