Di Thailand sendiri, sudah banyak turis Indonesia yang melakukan transaksi QRIS antarnegara lewat Thai QR Codes. Sejak diresmikan pada Agustus 2022, Katadata melaporkan sudah ada transaksi senilai Rp8,54 miliar yang dilakukan wisatawan Indonesia di Thailand lewat kode QR. Sedangkan untuk turis Thailand yang berkunjung ke Indonesia, nilai transaksi baru menyentuh Rp114 juta karena keterbatasan PJP (Penyedia Jasa Pembayaran) di Tanah Air.
Untuk wilayah Asia Tenggara yang lain, QRIS di Malaysia kini sedang tahap uji coba dengan target perilisan di tahun 2023, sedangkan QRIS di Singapura masih proses pengembangan.
Tak hanya terbatas di ASEAN, akan ada juga sistem pembayaran QRIS di Jepang setelah BI menjalin kerjasama dengan METI (Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri) Jepang. Di mana nantinya kita bisa membeli onigiri dan nongkrong di 7-Eleven Shinjuku, sambil cuma memindai lewat QRIS atau JPQR (Japan Unified QR Code).
Aah, aku jadi ingat saat liburan ke Flores pada November 2022 silam.
Para pedagang cenderamata di Pulau Komodo maupun pengrajin kain tenun ikat di Bena, Kabupaten Ngada sudah menawarkan QRIS untuk kemudahan pembayaran barang jualan mereka kepada turis lokal maupun mancanegara.
"Tidak perlu lagi cari-cari uang kembalian kalau bayar pakai QRIS. Uang juga langsung masuk ke rekening, tidak rumit,"
Kalimat Maria Sawi, seorang pengrajin kain tenun ikat di Bena kala itu masih menjadi salah satu pernyataan favoritku, jika itu bicara soal manfaat QRIS bagi para pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di Indonesia.
Andai saja jumlah PJP kode QR di Tanah Air ini semakin banyak, tentu wisatawan Asia Tenggara yang berkunjung ke Indonesia akan semakin mudah dalam proses transaksi. Imbasnya, para pelaku UMKM yang menjadi salah satu penopang perekonomian wisata akan memperoleh dampak positif yang lebih besar.
Hanya saja, penerapan QRIS antarnegara ini memang tak lepas dari banyaknya tantangan. Filianingsih Hendarta selaku Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI kepada CNN Indonesia angkat bicara perihal hal tersebut. Menurut Filianingsih, beberapa tantangan itu seperti keterbatasan akses, transparansi, regulasi tiap negara, hingga biaya investasi.
Tentu butuh proses untuk menjadikan mimpi besar ini terwujud.