Namun sesuka apapun aku dengan rendang, jika disuruh menyantapnya di setiap rumah, aku pasti akan kekenyangan.
Dan dalam sehari aku bisa berkunjung ke belasan rumah.
Meskipun memang terdengar seperti culture shock, kegiatan seperti ini adalah salah satu dari sekian banyak hal yang kurindukan dari kampung halaman Ibuku di tanah Minangkabau sana.
Seumur hidupku, aku mungkin hanya pernah beberapa kali ke Simaung karena memang sejak lahir hingga dewasa, aku tinggal di Malang, Jawa Timur. Bahkan aku lebih sering ke tempat Ayahku dibesarkan yakni di Dusun Juwah, Kelurahan Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri sana. Hanya saja apa yang ada di Simaung, seolah jauh sering menarik rasa rindu dan membuatku benar-benar selalu ingin kembali.
Aku terakhir kali pulang ke Agam sana saat Idul Fitri tahun 2016 silam. Sudah tujuh Lebaran berlalu, tapi rasanya masih seperti kemarin. Menghabiskan hari-hari terakhir Ramadan bersama mak uo dan sepupu dari pihak Ibu meski di dusun pedalaman yang hampir-hampir tak ada sinyal internet justru sangat nyaman.
Apalagi ketika kami berjalan-jalan ke Bukittinggi, ada magnet tersendiri yang mengajakku selalu ke sana.
Tiada bukan adalah para penjual nasi kapau yang berada di Pasar Atas, sangat dekat dengan Jam Gadang yang termahsyur itu.
Bagiku nasi kapau ada di level yang berbeda dalam hierarki masakan Padang. Tak seperti restoran Minang yang ada di Jawa, para penjual nasi kapau menawarkan aneka lauk khas Nagari Kapau seperti gulai cubadak (sayur nangka muda), gulai tunjang (urat kaki kerbau atau sapi), gulai cangcang (tulang dan daging kerbau), gulai babek (babat) dan tentunya gulai tambusu (campuran telur ayam dan tahu yang dimasukkan ke usus sapi) yang sangat populer itu.
"Apa mau di kampung aja? Nanti tiap hari bisa makan nasi kapau,"