Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... Freelancer - heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Nasi Kapau dan Suguhan Rendang Tiap Bertamu

25 April 2023   20:51 Diperbarui: 25 April 2023   20:52 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku di Istana Pagaruyung foto: Arai Amelya

"Jadi ini tiap bertamu nanti harus makan, ma?"

Ibuku mengangguk ringan, seolah itu bukan masalah.

Aku mempercepat langkahku, supaya tidak tertinggal. Heran, Ibuku sudah berusia 50 tahunan tapi saat berada di desa kelahirannya, otot-otot tubuhnya seolah kembali muda.

"Tapi tadi di rumahnya tek Lis, pak angah, mak uo Ani udah makan juga,"

"Kan udah dibilang makannya dikit-dikit aja, soalnya kan keliling kampung terus kita seharian,"

Aku menelan ludah.

Sungguh, tradisi yang kutemui saat Lebaran di kampung halaman Ibuku ini benar-benar membuat kaget.

Di Jawa Timur, tempatku hidup selama ini, saat Idulfitri kita mungkin hanya akan bertamu, bersalaman dengan keluarga si pemilik rumah, kalaupun duduk mungkin memakan satu atau dua keping kue kering dan kemudian pergi.

Tapi tidak dengan apa yang terjadi di Dusun Simaung, Nagari Nan Tujuah, Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat ini. Hampir di setiap rumah yang kukunjungi saat Lebaran, kita harus makan. Bahkan ketika baru saja duduk di ruang tamu, si pemilik rumah akan repot di dapur dan kembali dengan membawa nasi, alat makan serta lauknya, rendang.

Jangan samakan rendang di tanah kelahirannya dengan apa yang mungkin dimasak orang non-Minang atau dijual di Jawa. Karena rendang di sini benar-benar berwarna hitam tanda sudah dimasak berjam-jam lamanya, dengan daging yang teksturnya tampak kokoh tapi begitu empuk saat digigit, lengkap dengan rasa rempahnya yang membuktikan kalau dia adalah makanan terenak di dunia.

Namun sesuka apapun aku dengan rendang, jika disuruh menyantapnya di setiap rumah, aku pasti akan kekenyangan.

Dan dalam sehari aku bisa berkunjung ke belasan rumah.

Meskipun memang terdengar seperti culture shock, kegiatan seperti ini adalah salah satu dari sekian banyak hal yang kurindukan dari kampung halaman Ibuku di tanah Minangkabau sana.

Suasana jalan depan rumah mak uo di Simaung foto: Arai Amelya
Suasana jalan depan rumah mak uo di Simaung foto: Arai Amelya

Seumur hidupku, aku mungkin hanya pernah beberapa kali ke Simaung karena memang sejak lahir hingga dewasa, aku tinggal di Malang, Jawa Timur. Bahkan aku lebih sering ke tempat Ayahku dibesarkan yakni di Dusun Juwah, Kelurahan Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri sana. Hanya saja apa yang ada di Simaung, seolah jauh sering menarik rasa rindu dan membuatku benar-benar selalu ingin kembali.

Aku terakhir kali pulang ke Agam sana saat Idul Fitri tahun 2016 silam. Sudah tujuh Lebaran berlalu, tapi rasanya masih seperti kemarin. Menghabiskan hari-hari terakhir Ramadan bersama mak uo dan sepupu dari pihak Ibu meski di dusun pedalaman yang hampir-hampir tak ada sinyal internet justru sangat nyaman.

Apalagi ketika kami berjalan-jalan ke Bukittinggi, ada magnet tersendiri yang mengajakku selalu ke sana.

Tiada bukan adalah para penjual nasi kapau yang berada di Pasar Atas, sangat dekat dengan Jam Gadang yang termahsyur itu.

Bagiku nasi kapau ada di level yang berbeda dalam hierarki masakan Padang. Tak seperti restoran Minang yang ada di Jawa, para penjual nasi kapau menawarkan aneka lauk khas Nagari Kapau seperti gulai cubadak (sayur nangka muda), gulai tunjang (urat kaki kerbau atau sapi), gulai cangcang (tulang dan daging kerbau), gulai babek (babat) dan tentunya gulai tambusu (campuran telur ayam dan tahu yang dimasukkan ke usus sapi) yang sangat populer itu.

Penjual nasi kapau di Pasar Atas, Bukittinggi foto: Arai Amelya
Penjual nasi kapau di Pasar Atas, Bukittinggi foto: Arai Amelya

"Apa mau di kampung aja? Nanti tiap hari bisa makan nasi kapau,"

Mak uo yang adalah kakak perempuan Ibuku, menggodaku saat kutanya apakah kami bisa mampir untuk sarapan di Bukittinggi dalam perjalanan ke Bandara Minangkabau, ketika aku dan Ibuku harus pulang ke Jawa.

Aku tersenyum penuh arti. Dua kali aku sudah pulang kampung sebelumnya dan itu terjadi saat masih SD. Tentu jika dulu aku begitu menikmati suasana desa dengan bermain di sungai bersama rekan-rekanku, kini tanah Minang punya caranya tersendiri untuk membuatku selalu merindukannya di usia dewasaku.

Ya, dalam setiap lezat gigitan daging rendang dan suapan nasi kapau yang kulahap, Sumatera Barat menyampaikan salamnya. Salam penuh cerita yang disertai lambaian tangan padaku untuk selalu pulang kampung.

Semoga saja kerinduan ini segera terjawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun