"Ibu Sri, kan udah sepakat nanti semua wawancara Wahab di teras rumah saya. Saya udah bilang ke keluarga besar, lho!"
Wahab semakin pusing karena orang-orang tua ini memperebutkan sesuatu pada dirinya yang dia sendiri tidak paham. Wahab melirik jam dinding rumahnya, pukul setengah empat sore dan baru sadar kalau dia belum sholat Ashar.
Wahab menatap ruang tamunya yang semakin dipenuhi orang dan berdebat sendiri. Dia melirik Gembul di lantai dua yang tampak ketakutan.
"Sebentar, sebentar, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu. Tunggu biar saya bicara, tunggu, sebentar, BIARKAN SAYA BICARA!"
Suara Wahab meninggi, membuat orang-orang menatapnya kaget. Suasana langsung hening, kecuali hentakan lato-lato dari Farhan di pojok ruangan. Wahab menatapnya, membuat Farhan memegang kedua biji lato-lato itu agar diam.
Ipin berdeham. Terlihat sekali ingin memamerkan statusnya sebagai Ketua RT 03, perwakilan warga kampung meskipun seringkali absen kerja bakti dengan alasan diare.
"Saya tidak mendapat malam Lailatul Qadar,"
Mulut Ipin yang terbuka hendak bicara langsung menutup. Dia melirik Wahab kaget. Sementara puluhan warga lain saling berbisik dan mendengung.
"Lho, tapi kamu bilang ke aku habis sahur tadi kalau semalam kamu dapet Lailatul! Masih ada bukti WhatsApp-nya lho, Hab!", suara Nahrul tak kalah tinggi. Dia mengeluarkan HP dan menyodorkan pada Ipin, Mustofa, Cak Nardi, serta Sri bergantian.
Wahab tampak menggeleng sambil menahan tawa geli.
"Nahrul, Nahrul, kamu pasti sahur pake Indomie, kan? Pasti nggak fokus waktu aku cerita. Maksudnya Lailatul itu bukan Malam Seribu Bulan, tapi itu si Laila, anaknya Haji Jafar!"