Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... Freelancer - heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Tak ada Tarawih di Masjid, Ramadan Tahun ini

1 April 2023   13:06 Diperbarui: 1 April 2023   13:25 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: Ahmed Sherif/UNSPLASH

"Ya sekitar enam minggu lah, itu kaki kirinya nggak boleh napak. Nanti setelah itu baru boleh belajar jalan pelan-pelan sambil fisioterapi. Nanti kemudian tiga sampe enam bulan itu prosesnya, sampai lepas tongkat dan bisa jalan dua kaki lagi,"

Aku terdiam.

Penjelasan dokter Anindito selaku spesialis bedah ortopedi di Rumah Sakit Tebet pagi itu membuatku kehilangan kata-kata. Kemarin sore hingga malam aku memang baru saja melakukan operasi untuk patah tulang calcaneus di kaki kiriku. Aku tak tahu harus berkomentar apa karena hanya bisa menatap sepasang tongkat kreuk di samping ranjang tidurku, yang sepertinya kan menjadi teman baik beberapa bulan ke depan.

Seumur-umur, aku memang tak pernah menduga kalau operasi pertama dalam hidupku adalah operasi patah tulang. Cedera ini sendiri aku dapat saat mengikuti ekspedisi Batang Kawa bersama komunitas AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Kalimantan Barat-Kalimantan Tengah, akhir Februari 2023 lalu.

Menjelajah alam memang sudah menjadi bagian hidup dan hobiku. Tapi aku tidak mengira kalau sungai Batang Kawa adalah tempat di mana aku mengalami musibah yang mengubah hidupku di tahun ini, dan mengacaukan banyak rencana yang sudah kupersiapkan.

Sebagai orang yang sangat suka bepergian dan berjalan kaki, musibah ini jelas sangat berat. Aku masih ingat saat belajar menggunakan kreuk untuk kali pertama bersama terapist, ternyata tidak semudah yang terlihat. Memakai kreuk justru sesuatu yang menyulitkan dan aku hampir terjatuh, meskipun akhirnya kini aku sudah menggunakan dua tongkat itu selama lima pekan.

Dalam kondisi itu aku seolah disadarkan.

Ternyata, menjadi seorang difabel adalah sesuatu yang sangat berat.

Kaki Patah, Membuatku Melakukan Banyak Adaptasi

kondisi kaki kiri usai operasi foto: Arai Amelya
kondisi kaki kiri usai operasi foto: Arai Amelya

Harus kehilangan fungsi kaki kiri untuk sementara memang membuat keseharianku berubah. Beruntung aku adalah seorang blogger yang bisa melakukan pekerjaan di rumah, bahkan dari kamar. Problem terbesarku adalah ke kamar mandi dan menjalankan ibadah sholat.

Untuk pergi ke kamar mandi, aku bisa membuat orang satu rumah bingung sendiri.

Mulai dari Ayah, Ibu, kakak dan adikku, karena harus berhati-hati betul saat melompat karena tongkat tidak masuk ke kamar mandi. Kegiatan mandi yang biasanya dilakukan dengan menyenangkan berubah jadi menyebalkan karena bekas operasi memang tidak boleh terkena air untuk minimal tiga pekan. Solusiku, membungkusnya dengan plastik.

Problem kamar mandi teratasi, masalah berikutnya adalah sholat.

Sekali lagi, ini adalah kali pertama aku melakukan sholat sambil duduk. Jangankan berdiri, untuk ruku' dan sujud saja kaki kiriku menolak dilipat. Jadi kalau kalian melihat suster ngesot sedang sholat, seperti itulah kondisiku saat ini.

Apakah ini semua membuatku frustasi?

Di pekan-pekan awal, iya. Apalagi aku berulang kali terjatuh atau salah bertumpu ke kaki kiri, yang membuatnya bengkak berhari-hari.

Namun seiring berjalannya waktu, aku mencoba berdamai dengan kondisiku.

Musibah di Kalimantan memang memberikan pelajaran yang sangat besar mengenai hidup bagiku. Peristiwa itu mengajarkanku bahwa musibah bisa datang begitu saja, begitu cepat, tanpa peringatan dan kemudian berlalu meninggalkan manusia termangu.

Hingga akhirnya empat pekan semenjak aku selesai operasi, Ramadan pun tiba.

Ramadanku kali ini tentu sangat berbeda.

Di malam ketika pemerintah mengumumkan hilal sudah tampak dan semua orang di rumahku berbondong-bondong ke masjid untuk sholat tarawih, aku harus rela menjadi penunggu rumah dengan kucing-kucingku. Bahkan hingga mencapai hari ke-10 di awal April ini, mengikuti tarawih jamaah di masjid yang jaraknya tidak sampai 100 meter dari rumahku, masih jadi sebuah asa yang akan menguap.

Di titik inilah aku akhirnya benar-benar tahu kalau sabar dan ikhlas selamanya menjadi sepasang kata yang indah untuk diucap, tapi begitu sulit untuk dijalani. Dan Ramadanku kali ini, berpusat pada kedua hal tersebut.

Kaki Patah, Membuatku Memaknai Ramadan Lebih Dalam

Rasulullah SAW bersabda, "Puasa (Ramadan) merupakan perisai dan benteng yang kokoh dari siksa api neraka." (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)

Aku masih ingat guru agamaku di sekolah bertahun-tahun lalu, selalu berulang kali menjelaskan bahwa bulan Ramadan adalah momen di mana umat Islam diwajibkan menahan diri dari hawa nafsu serta lapar dan haus. Untuk bisa melakukannya, Muslim harus berperilaku sabar dan tahan terhadap segala ujian.

Setiap orang tentu memiliki ujiannya masing-masing. Tak perlu kita saling beradu siapa yang paling menderita di dunia.

Bagiku, Ramadan kali ini mempertemukanku dengan ujian lewat kaki kiri yang patah.

Tentu mengikhlaskan ibadah tarawih jamaah di saat masjid sangat dekat dari rumah hanya karena kesulitan melangkah, tak sebanding dengan berbagai ujian berat lainnya.

Namun bagiku, ini bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah kuterima. Apalagi jika mengingat kecemasan, masihkah aku memiliki usia untuk bertemu dengan Ramadan tahun depan? Karena itulah, ada saat-saat di mana usai adzan isya berkumandang, seluruh orang rumahku ke masjid, aku sering termenung saat tertatih dengan tongkat ke kamar mandi, berwudhu lalu melakukan ibadah di kamar sendirian. Sungguh dua perbedaan kondisi yang sama sekali tak pernah kusangka kualami.

Rasanya aku benar-benar ingin memutar waktu.

Rasanya aku ingin kembali ke masa lalu, melakukan berbagai pengandaian dan kondisi yang berbeda.

sungai Batang Kawa di Kalimantan foto: Arai Amelya
sungai Batang Kawa di Kalimantan foto: Arai Amelya

Andai di Batang Kawa aku lebih berhati-hati saat melangkah di atas batang kayu lapuk itu. Andai aku tidak terpeleset dan terjun ke jeram itu. Andai aku memilih menjadi tim darat alih-alih tim selusur sungai. Andai aku tak ikut ekspedisi ke Kalimantan. Andai kaki kiriku tidak patah dan berbagai andai-andai lain yang sudah pasti semuanya sia-sia.

Karena kalau kita terlalu sering berandai dan mengubah masa lalu, kita tak akan pernah tahu kalau ada berkah yang dititipkan oleh Allah SWT.

Bukankah seharusnya aku lebih banyak berucap Alhamdulillah cuma kaki kiri yang patah. Alhamdulillah cuma enam bulan pemulihannya. Alhamdulilah aku bisa pulang kembali ke Malang. Alhamdulillah masih bisa bertemu Ramadan dengan keluarga yang lengkap. Dan Alhamdulillah aku masih bisa bernyawa untuk meminta pengampunan dosa.

Rasulullah SAW pun bersabda, "Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena keimanan dan hanya mengharap pahala, dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. al-Bukhari)

Mungkin seperti inilah Tuhan memperlihatkan Ramadan-Nya padaku.

Dia ingin aku lebih bersabar dan ikhlas menghadapi ujian. Memaknai kedatangan bulan suci lewat musibah kaki patah sebelah kiri.

Karena kadang, kita baru bisa menghargai sesuatu saat ada yang hilang.

Semoga di sisa 20 hari terakhir ini, aku dan kalian semua menemukan jawaban yang diinginkan dalam memaknai bulan suci Ramadan kali ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun