Di titik inilah aku akhirnya benar-benar tahu kalau sabar dan ikhlas selamanya menjadi sepasang kata yang indah untuk diucap, tapi begitu sulit untuk dijalani. Dan Ramadanku kali ini, berpusat pada kedua hal tersebut.
Kaki Patah, Membuatku Memaknai Ramadan Lebih Dalam
Rasulullah SAW bersabda, "Puasa (Ramadan) merupakan perisai dan benteng yang kokoh dari siksa api neraka." (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)
Aku masih ingat guru agamaku di sekolah bertahun-tahun lalu, selalu berulang kali menjelaskan bahwa bulan Ramadan adalah momen di mana umat Islam diwajibkan menahan diri dari hawa nafsu serta lapar dan haus. Untuk bisa melakukannya, Muslim harus berperilaku sabar dan tahan terhadap segala ujian.
Setiap orang tentu memiliki ujiannya masing-masing. Tak perlu kita saling beradu siapa yang paling menderita di dunia.
Bagiku, Ramadan kali ini mempertemukanku dengan ujian lewat kaki kiri yang patah.
Tentu mengikhlaskan ibadah tarawih jamaah di saat masjid sangat dekat dari rumah hanya karena kesulitan melangkah, tak sebanding dengan berbagai ujian berat lainnya.
Namun bagiku, ini bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah kuterima. Apalagi jika mengingat kecemasan, masihkah aku memiliki usia untuk bertemu dengan Ramadan tahun depan? Karena itulah, ada saat-saat di mana usai adzan isya berkumandang, seluruh orang rumahku ke masjid, aku sering termenung saat tertatih dengan tongkat ke kamar mandi, berwudhu lalu melakukan ibadah di kamar sendirian. Sungguh dua perbedaan kondisi yang sama sekali tak pernah kusangka kualami.
Rasanya aku benar-benar ingin memutar waktu.
Rasanya aku ingin kembali ke masa lalu, melakukan berbagai pengandaian dan kondisi yang berbeda.
Andai di Batang Kawa aku lebih berhati-hati saat melangkah di atas batang kayu lapuk itu. Andai aku tidak terpeleset dan terjun ke jeram itu. Andai aku memilih menjadi tim darat alih-alih tim selusur sungai. Andai aku tak ikut ekspedisi ke Kalimantan. Andai kaki kiriku tidak patah dan berbagai andai-andai lain yang sudah pasti semuanya sia-sia.