Untuk pergi ke kamar mandi, aku bisa membuat orang satu rumah bingung sendiri.
Mulai dari Ayah, Ibu, kakak dan adikku, karena harus berhati-hati betul saat melompat karena tongkat tidak masuk ke kamar mandi. Kegiatan mandi yang biasanya dilakukan dengan menyenangkan berubah jadi menyebalkan karena bekas operasi memang tidak boleh terkena air untuk minimal tiga pekan. Solusiku, membungkusnya dengan plastik.
Problem kamar mandi teratasi, masalah berikutnya adalah sholat.
Sekali lagi, ini adalah kali pertama aku melakukan sholat sambil duduk. Jangankan berdiri, untuk ruku' dan sujud saja kaki kiriku menolak dilipat. Jadi kalau kalian melihat suster ngesot sedang sholat, seperti itulah kondisiku saat ini.
Apakah ini semua membuatku frustasi?
Di pekan-pekan awal, iya. Apalagi aku berulang kali terjatuh atau salah bertumpu ke kaki kiri, yang membuatnya bengkak berhari-hari.
Namun seiring berjalannya waktu, aku mencoba berdamai dengan kondisiku.
Musibah di Kalimantan memang memberikan pelajaran yang sangat besar mengenai hidup bagiku. Peristiwa itu mengajarkanku bahwa musibah bisa datang begitu saja, begitu cepat, tanpa peringatan dan kemudian berlalu meninggalkan manusia termangu.
Hingga akhirnya empat pekan semenjak aku selesai operasi, Ramadan pun tiba.
Ramadanku kali ini tentu sangat berbeda.
Di malam ketika pemerintah mengumumkan hilal sudah tampak dan semua orang di rumahku berbondong-bondong ke masjid untuk sholat tarawih, aku harus rela menjadi penunggu rumah dengan kucing-kucingku. Bahkan hingga mencapai hari ke-10 di awal April ini, mengikuti tarawih jamaah di masjid yang jaraknya tidak sampai 100 meter dari rumahku, masih jadi sebuah asa yang akan menguap.