Pandemi Covid-19 adalah sebuah kisah kelabu. Banyak orang menangis tersedu-sedu saat harus terkapar oleh hantamannya. Tak ada cerita pilih kasih soal corona. Wabah ini menghantui siapapun tanpa tebang pilih, tak peduli bergelimang harta atau mereka yang harus mengais asa setiap harinya.
Mereka yang berhasil bertahan, tentu mengalami kisah kehilangan yang tak semuanya ingin dibagikan. Ya, kita tentu sepakat, corona memang sangat melelahkan. Namun menyerah jelas bukan pilihan terakhir karena selalu ada harapan untuk mereka yang berani melawan.
Ada banyak sekali cerita kepahlawanan yang tak harus turun membawa meriam atau mengendarai tank. Bahkan mungkin diurai dari pelosok-pelosok daerah yang tanpa sadar, kontribusinya memberikan gerakan kecil pengawal riakan besar dalam samudera ekonomi nasional. Di tangan pebisnis-pebisnis kecil yang kerap disebut UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) inilah, Indonesia menggantungkan harapan.
*****
Wajah Maria Sawi berseri-seri. Tak ada lagi kebingungan untuk mencari uang kembalian, saat seorang wisatawan asal Medan membeli dua kain tenun ikat hasil karyanya. Maria hanya perlu menyodorkan label QRIS yang dia miliki dan sang wisatawan melakukan transaksi lewat ponselnya.
Kuhitung tak sampai lima menit sampai akhirnya transaksi digital itu berhasil dilakukan. Senyum Maria tampak semakin melebar saat bukti transaksi disodorkan. Dengan segera dia mengemas dua kain tenun ikat itu dan berpindah kepemilikan kepada sang pembeli. Maria pun duduk kembali untuk meneruskan pekerjaannya, tampak puas betul karena belum sampai matahari di atas kepala, sudah ada kain yang laku di rumahnya.
"Baru sebulan kami pakai QRIS ini, kakak. Jadi biasanya masih sedikit bingung dan lupa. Tapi sejak pakai ini karena diajari orang bank, mama sudah tidak cari uang kembalian lagi. Turis jadi lebih gampang juga kalau beli, cuma pakai HP saja," cerita Maria saat kami berbincang di teras rumahnya di Kampung Adat Bena, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur bulan November 2022 lalu.
Aku mengangguk, mengamatinya yang begitu terampil di balik meja tenunnya. Tangannya menarik helai demi helai benang sambil terus bercerita bagaimana satu lembar kain dia selesaikan dalam waktu dua pekan hingga satu bulan. Aku amati lekat-lekat kembali kain tenun yang dikerjakan oleh Maria. Sesuai dengan yang kuketahui, kain-kain tenun di Bena ini lebih sering bermotif jara (kuda), wa'l manu (cakar ayam) ghi'u (garis yang dinamis) hingga bhaga, ngadu dan ube.
Meskipun sudah tersentuh oleh teknologi modern termasuk dalam hal perekonomian, masyarakat Bena seperti halnya mama Maria, masih menjaga betul tradisi lokal mereka seperti kegiatan membuat kain tenun ikat. Selain itu yang juga sangat menonjol adalah arsitektur bangunan yang masih sederhana dan konon sudah ada sejak 1.200 tahun lalu. Tak heran kalau akhirnya Bena dianggap sebagai salah satu perkampungan megalitikum paling berpengaruh di Indonesia.
Dan sama halnya seperti kebanyakan para pelaku wisata. Kampung Bena dan juga Maria ikut mengalami kelamnya badai pandemi. Namun Maria jelas enggan menyerah. Sebagai masyarakat Bena, Maria yakin kalau Yeta (Dewa pelindung kampung yang diyakini bersemayam di gunung Inerie) begitu menghargai mereka yang selalu berusaha.
"Pelan-pelan mulai banyak orang datang lagi ke Bena. Turis sekarang dan sebelum pandemi berbeda. Mereka sekarang lebih suka yang praktis. Untung kami pembuat tenun diajari pakai QRIS, bisa terima mereka bayar pakai apapun. Biasanya besok atau nanti malam, anak mama yang ambil uang di rekening untuk kita pakai lagi di rumah,"Â lanjut Maria.
Aku tersenyum mendengarnya. Orang-orang seperti Maria yang tentu tidak muda lagi dan mungkin hampir seumuran orangtuaku, harus mempelajari teknologi baru jelas bukan hal yang mudah. Puluhan tahun terbiasa dengan transaksi uang tunai maupun menjual kain tenunnya di rumah, memaksa Maria mengikuti perkembangan zaman yang kini serba digital. Namun teknologi bukanlah hak para milenial dan gen Z saja. Teknologi adalah milik mereka yang mau menerima perubahan.
Perubahan itulah yang kini berdenyut dengan kencang dari Bena. Di bawah kaki gunung Inerie, puncak tertinggi di Flores, para penenun ikat yang mungkin tidak setiap hari update media sosial, justru memahami dengan betul manfaat teknologi untuk hidup mereka.Â
Kutinggalkan Maria yang masih sibuk melanjutkan kegiatannya. Mataku terhenti pada beberapa bocah Bena yang tampak seru bermain dengan gasing kayu. Gelak tawa mereka bergantian dengan suara gasing yang terhantam tanah. Di depan halaman mereka bermain, sayup-sayup terdengar suara soundtrack drama Korea yang kusukai. Kulihat dua remaja perempuan saling tertawa geli melihat ke layar smartphone mereka.Â
Aah, siapa bilang anak-anak desa itu buta teknologi?
UMKM, Sang Juru Selamat Perekonomian Nasional
Dengan sekitar 40 rumah, Kampung Adat Bena memang memiliki belasan pengrajin tenun ikat. Apa yang mereka hasilkan turut membantu denyut perekonomian rumah tangga dan pariwisata Bena itu sendiri. Ya, perekonomian dan pariwisata memang seperti halnya dua sisi mata uang yang akan saling berkaitan dan tak bisa terpisahkan.
Sebagai konsep pariwisata berkelanjutan berbasis pemberdayaan masyarakat, keberadaan Desa Wisata seperti Bena memang tak bisa dilepaskan dari perekonomian nasional. Apalagi para pelakunya yang juga pebisnis UMKM seperti halnya Maria, tak berlebihan kalau status juru selamat layak disematkan pada mereka.
Juru Selamat? Pahlawan?
Ya. Kalian harus tahu bahwa para pelaku UMKM tak berlebihan kiranya jika disebut sebagai pahlawan ekonomi saat pandemi. Mengutamakan kearifan lokal dan SDM (Sumber Daya Manusia) asli Indonesia, UMKM mampu menyerap 117 juta pekerja (97% dari total tenaga kerja), seperti dilansir Smesco. Â Di mana rinciannya adalah 107,4 juta pelaku usaha mikro, 5,8 juta pelaku usaha kecil dan 3,7 juta pelaku usaha menengah.
Bahkan berdasarkan survei Mandiri Institute pada Maret-April 2021 terhadap 505 pelaku UMKM di seluruh Indonesia, 85% di antaranya mengaku kalau kondisi usaha mereka sudah berjalan normal. Padahal pada September 2020 sebelumnya, cuma 28% yang mengaku bisnis sudah kembali bangkit. Cepat bangkitnya UMKM ini menjadikan sektor ini jelas lebih kuat daripada perusahaan raksasa.
Tak heran kalau Menparekraf Sandiaga Uno menyebutkan jika 60% dari total PDB Indonesia berasal dari sektor UMKM. Ke depannya, pemerintah tampaknya masih akan menjadikan UMKM sebagai ujung tombak kebangkitan ekonomi nasional di tahun 2023. Dalam event Seminar UMKM Hebat yang digelar beberapa hari lalu di Yogyakarta, Sandiaga pun menyebutkan kalau akan ada sekitar 4,4 juta lapangan kerja baru yang bakal ditopang UMKM, seperti dilansir Kominfo.
Tentu demi menggenjot asa itu, para pelaku UMKM haruslah mampu melakukan transformasi digital. Seperti halnya Maria, penguasaan atas teknologi adalah keharusan. Mulai dari promosi produk lewat media sosial hingga menerima sistem pembayaran cashless, proses digitalisasi ini akan membuat UMKM nasional entah dari pelosok manapun berpeluang untuk dikenal oleh publik dunia.
Kalau Maria Sawi dari kaki gunung Inerie saja bisa, kenapa yang lain tidak?
BRI, Terus Dukung UMKM Untuk Go Digital
Demi menggenjot proses digitalisasi bagi para pelaku UMKM, perbankan sebagai salah satu penopang ekonomi nasional haruslah ikut bersinergi. Hal itulah yang dilakukan terus oleh BRI (Bank Rakyat Indonesia). Berdasarkan kutipan CNBC Indonesia, BRI bahkan cukup serius untuk memfokuskan diri pada sektor UMKM lewat platform digital B2C (Business to Customer).
Melalui platform B2C ini yang berbentuk aplikasi jual-beli komoditas, para pengusaha UMKM bisa terhubung langsung dengan para pembeli. Tak hanya itu saja, BRI juga mengenalkan platform Localoka yang menyajikan perjalanan para peserta program pemberdayaan Kelompok Usaha Binaan BRI. Begitu pula dengan pasar.id yang merupakan platform online untuk kegiatan jual beli pedagang pasar.
Dengan HUT127BRI yang jatuh pada 16 Desember pekan lalu, BRI sudah berhasil melahirkan banyak BRILianpreneur di seluruh pelosok Indonesia. Tak cuma di tingkat nasional, upaya BRI untuk mendukung sektor UMKM juga terlihat dengan membawa produk-produk mereka ke berbagai festival ekonomi dan budaya luar negeri.
Semakin memperkuat posisinya sebagai BRIPahlawanFinansial, berbagai program pemberdayaan dan pendampingan ini bertujuan agar pelaku UMKM semakin naik kelas. Salah satu yang menarik adalah program 'sekolah ekspor' dari BRI yang bertujuan agar produk UMKM mampu menembus pasar internasional. Berawal dari Go Modern lewat perbaikan kualitas produk, hingga akhirnya Go Digital dan melaju sampai Go Global.
"Kalau ada acara adat seperti upacara Reba, di Bena ini pasti ramai. Banyak turis luar negeri datang ke kampung kita. Belanja banyak kain mereka. Ada yang pernah cerita ke mama kalau tahu kain tenun Bena lewat Facebook. Mama mau belajar Facebook, biar bisa pamer nggak cuma pakai QRIS," tawa Maria ketika kami hendak berpisah siang itu
Mungkin, aku akan datang lagi ke Bena. Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama, untuk terus mendengarkan cerita mereka soal perubahan yang sudah dialaminya. Kualihkan pandanganku menatap Inerie yang begitu gagah, Tuhan sepertinya sangat menyukai umat-Nya yang berani berubah untuk jadi lebih baik.
Dan Indonesia, dengan senang hati menerima perubahan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H