Fenomena nikah muda kembali diperbincangkan. Salah satu muasalnya ialah viralnya wedding organizer yang disinyalir mengkampanyekan pernikahan siri hingga nikah muda di medsos. "Promosi untuk nikah di usia muda yang dilakukan Aisha Weddings membuat geram KemenPPPA dan semua LSM yang aktif bergerak di isu perlindungan anak. Tidak hanya pemerintah, tetapi masyarakat luas juga resah karena Aisyah Weddings telah mempengaruhi pola pikir anak muda, bahwa menikah itu mudah," kata Bintang, Rabu (10/2/2021). [1]
Respon atas viralnya kasus tersebut berkembang pada banyak hal, salah satunya menyangkut persoalan resiko pernikahan dini. Berbagai spekulasi bermunculan. Yang pada kesimpulannya menuju titik temu bahwa pernikahan dini cenderung dinilai negatif. Sehingga solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan dampak ini diringkas: tidak menikah dini.Â
Namun, jika kita mau memikirkan dengan jeli, pasti ada pertanyaan: apakah benar permasalahan atau keburukan dalam rumah tangga memang akibat dari usia pernikahan yang masih muda? Apakah mereka yang usia pernikahannya memenuhi kriteria ada jaminan akan memiliki rumah tangga yang mulus, datar, minim problematika dan eksploitasi seksual ekonomi?Â
Jawabannya belum tentu bukan? Sehingga tidak ada salahnya bila masalah pernikahan tidaklah ditakar dengan pagar usia. Sebab pada dasarnya faktor yang memengaruhi baik buruknya kehidupan pernikahan bukan hanya persoalan usia. Pun setiap agama pastinya memiliki aturan khusus tentang bagaimana sakralnya sebuah pernikahan, sebuah penyatuan pasangan beda jenis yang ditujukan untuk melestarikan keturunan dengan harapan mendatangkan kebaikan. Sehingga masing-masing pasti ada mekanisme menyiapkan generasi menuju pernikahan yang baik.Â
Oleh karena itu, dalam memandang pernikahan ini, Islam menempatkannya pada level tinggi. Bukan untuk menyulitkan, melainkan untuk menjaga kemuliaan manusia. Menikah dipandang sebagai penggenap separuh agama, sehingga persiapan menuju gerbang pernikahan adalah aspek penting yang harus diberikan persiapannya.Â
Menikah tak hanya sekedar pindah status, beralih dari gelar jomblo semata. Lebih dari itu ada visi misi yang di ada dalamnya harus membawa keluarga menuju surga. Artinya pernikahan harus dijalankan sesuai aturanNya, suami istri berpasangan sebagai sahabat, saling mengingatkan dan memberi nasihat agar setiap hari yang dihabiskan dalam mahligai rumah tangga mendapatkan ridhoNya.Â
Itulah mengapa, syarat pernikahan pun tak sebatas baligh semata. Yang mana usia baligh ini berbeda satu dengan lainnya. Lebih dari itu, faktor utama yang perlu disiapkan adalah memiliki bekal yang cukup-yakni tahu bagaimana pedoman agama tentang pernikahan. Sebab misi besar ke surga ini mustahil berhasil bila nahkoda dan awak bahtera rumah tangga tidak tahu peta agama menuju surga. Itulah mengapa salah satu faktor yang diutamakan dalam mempertimbangkan calon pasangan adalah dalam hal agamanya.Â
Maknanya, kendati menikah memang syaratnya tidak terikat usia baligh, namun kesiapan menuju ke sana yang jadi perhitungan utama. Sehingga menikah pada usia berapapun, asalkan ilmu ada dan mampu, tak jadi soal. Sebab memang pemahaman utuh tentang syariat pernikahan ini akan menjadikan kesiapan menikah matang, menikah karena ibadah, bukan pelampiasan naluri semata.Â
Kondisi matang dan siap menikah atas bekal pemahaman ilmu ini tentu beda fakta dengan gambaran pernikahan dini yang sebatas terprovokasi keadaan. Menikah karena menutupi imbas salah pergaulan misalnya. Atau menikah karena terkompori status teman sepermainan yang sudah tidak jomblo lagi. Atau menikah karena paksaan akibat belenggu ekonomi, dll.Â
Faktor pembeda keduanya tidak bisa dilepaskan dari lingkungan yang melingkupi generasi muda. Bila lingkungannya religius, besar kemungkinan generasi muda menyibukkan diri mempersiapkan bekal hidup dulu sebelum berpikir pernikahan. Sebab suasana lingkungan memang mengarahkan keridhoan Allah di atas segalanya. Sehingga naluri seksual mendapatkan jatah kesekian dibanding naluri lainnya.Â
Berbeda jika lingkungan yang melingkupi bernuansa sekuler. Agama ditinggalkan hanya di rumah-rumah peribadatan. Sedangkan di urusan publik, kebebasan yang diagungkan memberikan ruang luas terhadap berbagai jenis pemicu naluri seksual. Segala lini bisa dimasuki dan menjadi celah agar naluri seksual ini bangkit. Lagi dan lagi dengan dalih menjunjung berbagai kebebasan yang dilindungi hak asasi, setiap orang bebas memenuhi naluri seksualnya tanpa mengindahkan warning agama. Dosa dan maksiat pun akhirnya marak dilakukan, tak lagi dipandang tabu.Â
Akibatnya generasi muda yang seharusnya menyibukkan diri untuk mempersiapkan kelangsungan masa depan bangsa, terpaksa direnggut waktu dan tenaganya untuk mengurusi hal-hal berbau cinta. Naluri mereka dibangkitkan sebelum ilmu cukup dalam genggaman. Walhasil pelampiasan mereka terjadi di jalan yang tak dibenarkan, hingga menikah dini karena keadaan pun tak jarang jadi pilihan.Â
Dari sinilah mengapa persoalan pernikahan dini perlu mendapat perhatian. Bukan sebatas boleh dan tidaknya, namun harus pada bagaimana persiapan generasi yang akan menjalaninya. Perhatian di level individu rasanya belum cukup. Sebab derasnya gempuran budaya kebebasan begitu kuat dan sistematis berupaya mengalihkan potensi generasi agar melulu berurusan dengan naluri seksual.Â
Perhatian dari masyarakat dan negara nyata diperlukan. Sebab pengawalan dari masyarakat terhadap pola pergaulan remaja serta pengontrolan dari negara terkait media dan tayangan yang dikonsumsi remaja merupakan bagian penting untuk mengondisikan asupan informasi bagi generasi. Dan individu-masyarakat-serta negara yang takut Allah lah yang akan mampu berkerja sama dalam hal ini. Bahu membahu mematuhi aturan Ilahi, sebagaimana yang dicontohkan Nabi dan generasi setelahnya. []
Referensi:
1. suara.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H