Berbeda jika lingkungan yang melingkupi bernuansa sekuler. Agama ditinggalkan hanya di rumah-rumah peribadatan. Sedangkan di urusan publik, kebebasan yang diagungkan memberikan ruang luas terhadap berbagai jenis pemicu naluri seksual. Segala lini bisa dimasuki dan menjadi celah agar naluri seksual ini bangkit. Lagi dan lagi dengan dalih menjunjung berbagai kebebasan yang dilindungi hak asasi, setiap orang bebas memenuhi naluri seksualnya tanpa mengindahkan warning agama. Dosa dan maksiat pun akhirnya marak dilakukan, tak lagi dipandang tabu.Â
Akibatnya generasi muda yang seharusnya menyibukkan diri untuk mempersiapkan kelangsungan masa depan bangsa, terpaksa direnggut waktu dan tenaganya untuk mengurusi hal-hal berbau cinta. Naluri mereka dibangkitkan sebelum ilmu cukup dalam genggaman. Walhasil pelampiasan mereka terjadi di jalan yang tak dibenarkan, hingga menikah dini karena keadaan pun tak jarang jadi pilihan.Â
Dari sinilah mengapa persoalan pernikahan dini perlu mendapat perhatian. Bukan sebatas boleh dan tidaknya, namun harus pada bagaimana persiapan generasi yang akan menjalaninya. Perhatian di level individu rasanya belum cukup. Sebab derasnya gempuran budaya kebebasan begitu kuat dan sistematis berupaya mengalihkan potensi generasi agar melulu berurusan dengan naluri seksual.Â
Perhatian dari masyarakat dan negara nyata diperlukan. Sebab pengawalan dari masyarakat terhadap pola pergaulan remaja serta pengontrolan dari negara terkait media dan tayangan yang dikonsumsi remaja merupakan bagian penting untuk mengondisikan asupan informasi bagi generasi. Dan individu-masyarakat-serta negara yang takut Allah lah yang akan mampu berkerja sama dalam hal ini. Bahu membahu mematuhi aturan Ilahi, sebagaimana yang dicontohkan Nabi dan generasi setelahnya. []
Referensi:
1. suara.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H