Mohon tunggu...
Arai Jember
Arai Jember Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Katakan Dengan Tulisan Jika Tak Sanggup Berlisan

Menulis itu investasi. Setiap kebenaran tulisan adalah tanaman kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Minol dan Pertaruhan Nasib Generasi

28 November 2020   07:49 Diperbarui: 28 November 2020   07:57 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: beritasatu.com

Pembahasan mengenai RUU tentang Larangan Minuman beralkohol (Minol) tengah menghangat. RUU itu memuat soal larangan produksi, penyimpanan, peredaran, dan konsumsi minuman beralkohol untuk beberapa jenis, yakni minuman beralkohol dengan kadar etanol 1-5 persen, 5-20 persen, dan 20-55 persen. Larangan juga berlaku untuk minuman beralkohol tradisional dan campuran atau racikan. [1]

Nantinya, minuman beralkohol hanya boleh untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Pihak yang melanggar ketentuan bakal dikenakan sanksi hukum pidana berupa penjara tiga bulan sampai 10 tahun dan denda mulai dari Rp 20 juta hingga Rp 1 miliar. [1]

Sebagian pihak menilai keberadaan larangan minol diperlukan, sebab fakta penyalahgunaan minol tidak dapat dipungkiri. Meski telah dilakukan pengawasan, masih ditemukan kalangan yang sengaja menyalahgunakan minol. Tak terkecuali di kalangan reremaja. 

Pada 2007 berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan jumlah remaja pengonsumsi miras di Indonesia masih diangka 4,9%, tetapi pada 2014 berdasarkan hasil riset yang dilakukan Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) jumlahnya melonjak drastis hingga menyentuh angka 23% dari total jumlah remaja Indonesia yang saat ini berjumlah 63 juta jiwa atau sekitar 14,4 juta orang. [2]

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 mengungkapkan umur mulai minum alkohol terutama pada usia 15-19 tahun pada pria sebesar 70 persen dan wanita 58 persen. Sementara pada usia 20-24 tahun, pria yang mengonsumsi alkohol sebanyak 18 persen dan wanita 8 persen. [3]

Sementara itu, kematian remaja akibat menenggak miras pun tak dapat dielakkan. Kendati belum diketahui berapa jumlah pastinya, namun pemberitaan mengenai tewasnya remaja pasca menenggak miras banyak melintas. Semuanya menandakan sinyal bahwa keberadaan miras ini berimbas pada nasib generasi. 

Tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa mau tertarik atau tidak pada batang haram itu tergantung individu, jika kuat iman ya tidak akan tergoda. Namun pendapat ini seakan kurang merespon bahwa remaja sejatinya adalah makhluk sosial yang berinteraksi. Dalam berinteraksi ini mereka berhadapan dengan lingkungan yang beraneka rupa. 

Kendati iman kuat, namun bila lingkungan tidak kondusif, bisa saja terseret. Apalagi di masa remaja rasa solidaritas dan ikatan pertemanan sangat besar. Akan sulit menolak ajakan teman menenggak miras bila tidak dibantu pengawasan. 

Namun mengandalkan pengawasan orang tua, juga tidak bisa sepenuhnya diharapkan. Sebab pelanggaran senantiasa dilakukan remaja saat di luar rumah, atau secara sembunyi-sembunyi mencuri sela waktu. Di saat yang sama orang tua juga dituntut untuk bekerja. Memastikan kebutuhan ekonomi tercukupi. Konsekuensinya waktu pengawasan langsung pada anak menjadi berkurang. 

Oleh karena diperlukan gandeng tangan antara individu, orang tua, dan elemen yang lebih tinggi lainnya untuk menyelamatkan nasib generasi. Upaya preventif yang telah dilakukan pihak berwajib dengan sosialisasi, pengawasan peredaran bahan kimia yang rawan disalahgunakan, hingga razia ke sekolah patut dihargai. Termasuk upaya represif dengan menyidak lokasi yang ditengarai jadi tempat transaksi. 

Namun, alangkah baiknya apabila langkah yang sudah ditempuh disempurnakan dengan pemutusan minol dari akarnya. Yakni dengan mamangkas produksinya, menutup pabriknya. Sebab peluang disalahgunakan akan tetap ada ketika bahannya tersedia. 

Kalaupun alasan ekonomi yang dipertimbangkan, maka sesungguhnya masih ada peluang industri lain yang bisa dibidik, tanpa harus memepertaruhkan nasib generasi. Semuanya memang tidak instan, namun dengan kreativitas dan inovasi, tidak mustahil bisa dikembangkan besar-besaran hingga menjadi sumber pemasukan yang bisa diandalkan. 

Lebih dari itu upaya penghentian produksi minol ini sejatinya berkaitan erat dengan pandangan dan gaya hidup. Kebiasaan hedonis yang meninggikan kebahagiaan sesaat, meski dengan maksiat adalah hal yang penting untuk ditiadakan. Sehingga ketergantungan pada benda pemenuh kebahagiaan bisa diarahkan pada sesuatu yang lain, yang benar. 

Dan tentunya ini tidak bisa bila konsep sekuler masih mendominasi. Sebab memang sekuler lah yang memberikan ruang bagi disediakannya barang haram untuk alat pemuas kebahagiaan. Sekuler tidak lagi mementingkan pandangan agama. Asalkan senang, asalkan bisa mendapatkan keuntungan, maka tak dipedulikan apa kata halal dan haram. 

Untuk itulah perhatian tuntas nasib generasi agar terbebas dari minol memerlukan kerjasama menyeluruh. Mengaktifkan seluruh elemen pada masing-masing level untuk memangkas sumber minol, hingga menghilangkan konsep sekuler dan hedonis dari sekitar remaja. Dan yang memungkinkan ke arah sana adalah tatanan masyarakat Islam. Yang diatur dan diterapkan aturan Allah atas mereka. []

Referensi:

1. Tribun 

2. Detik 

3. Detik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun