Namun, alangkah baiknya apabila langkah yang sudah ditempuh disempurnakan dengan pemutusan minol dari akarnya. Yakni dengan mamangkas produksinya, menutup pabriknya. Sebab peluang disalahgunakan akan tetap ada ketika bahannya tersedia.Â
Kalaupun alasan ekonomi yang dipertimbangkan, maka sesungguhnya masih ada peluang industri lain yang bisa dibidik, tanpa harus memepertaruhkan nasib generasi. Semuanya memang tidak instan, namun dengan kreativitas dan inovasi, tidak mustahil bisa dikembangkan besar-besaran hingga menjadi sumber pemasukan yang bisa diandalkan.Â
Lebih dari itu upaya penghentian produksi minol ini sejatinya berkaitan erat dengan pandangan dan gaya hidup. Kebiasaan hedonis yang meninggikan kebahagiaan sesaat, meski dengan maksiat adalah hal yang penting untuk ditiadakan. Sehingga ketergantungan pada benda pemenuh kebahagiaan bisa diarahkan pada sesuatu yang lain, yang benar.Â
Dan tentunya ini tidak bisa bila konsep sekuler masih mendominasi. Sebab memang sekuler lah yang memberikan ruang bagi disediakannya barang haram untuk alat pemuas kebahagiaan. Sekuler tidak lagi mementingkan pandangan agama. Asalkan senang, asalkan bisa mendapatkan keuntungan, maka tak dipedulikan apa kata halal dan haram.Â
Untuk itulah perhatian tuntas nasib generasi agar terbebas dari minol memerlukan kerjasama menyeluruh. Mengaktifkan seluruh elemen pada masing-masing level untuk memangkas sumber minol, hingga menghilangkan konsep sekuler dan hedonis dari sekitar remaja. Dan yang memungkinkan ke arah sana adalah tatanan masyarakat Islam. Yang diatur dan diterapkan aturan Allah atas mereka. []
Referensi:
1. TribunÂ
2. DetikÂ
3. Detik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H