Mohon tunggu...
Achmad Rajab Afandi
Achmad Rajab Afandi Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tumbuh dan belajar, lagi dan lagi

Penikmat Perjalanan, Penikmat Perbincangan dalam Perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mi Sagu vs Nasi Goreng Seafood, Saya Mie Sagu Aja!

1 September 2015   14:25 Diperbarui: 1 September 2015   14:40 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian Ke IV

Dua hari di Negeri Niaga Kencana Melayu; Selat Panjang

Bagian Ke III dapat disimak disini

http://www.kompasiana.com/arafandi/berbagi-pulau-dalam-sentosa-tionghoa-melayu_55e24bdd4123bda31bb9eaea

 

Sebenarnya keharmonisan berdampingan ini bukan tanpa cacat, tahun 2000 sempat terjadi pembakaran atas komplek pertokoan etnis tionghoa.

Disebut sebagai kisah Selat Panjang kelabu. Ketika saya mengobrol dengan keluarga Tionghoa mitra teman saya, saya dapati kisah dimana telah terjadi eksodus besar besaran warga Tionghoa keluar dari Kota Selat Panjang. Namun setelah beberapa provokator tertangkap, keadaan kondusif kembali. Cerita cece tadi ditutup dengan, “Kami sudah merasa kami asli Selat Panjang, kami merasa tak ada tempat lain sebaik kota ini” ujar ibu setengah baya yang anak anaknya tinggal di Batam dan Singapura ini.

Setelah urusan pekerjaan yang panjang, kami petang itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Teman saya mengajak makan panganan khas Selat Panjang, Mie Sagu. Saya menolak diajak ke kedai besar, “ada gak makan mie sagu, tapi yang pinggir jalan ato rumahan..?” pinta saya, sekalian pengen mencoba cita rasa rumahan dari makanan terkenal ini.

Saya lalu diajak makan di pojokan ruman di pinggir lapangan tennis. Sebenarnya saya tidak punya ekspektasi yang besar akan makanan ini, mungkin mirip mi goreng rebus, Kwe tiau atau bihun rebus pikir saya. Ketika ditanya menu pilihan, saya memesan Mie Sagu Basah.

Tak lama makanan Datang, tampilan makanannya biasa saja. Tapi waktu aroma makanan itu menyentuh hidung dan gigitan pertama mengenai lidah, saya tau, makanan ini Enaknya pakai banget.

Selat panjang konon penghasil Sagu terbaik, dan pada masa jayanya mengirim hasil buminya ke Malaysia, Cirebon, dan Singapura. Entah karna faktor sagu terbaik ini atau karna kaldu aroma laut yang membuatnya sangat nikmat. Yang jelas saya minta tambah lagi.

Malamnya kami makan seafood nikmat berharga tak murah, hasil tangkapan Laut nelayan di Selat Panjang dan Selat Malaka. Kepiting besarnya terasa segar, sedang udang udang merah merekah bermandikan saus tiram pedas yang melimpah.

Esok paginya sebelum memulai lagi aktifitas, kami meyempatkan menyeruput kopi dikedai melayu yang khas. Bincang bincang bisnis kawan saya nampaknya lebih lancar dan menghasilkan di kedai ini, daripada  di dalam kantor dan ruangan ruangan yang kaku. Sambil minum kopi kami ditawari lagi “mau Nasi Goreng seafood apa mi sagu..?”, Aku Mah mie sagu ajah sahut ku yakin.

Setelah bincang dan lobi selesai di antara aroma kopi dan mi sagu, kami pergi ke belakang kedai kopi yang membuntuti Selat. Terus menuju Dermaga Barang barang yang sibuk, pulau ini rupanya penyangga ekonomi untuk pulau pulau lain sekitar, Tertama Merbau dan Rangsang. Kami melihat anak buah kapal yang sibuk menindahkan berkarung beras dan garam dari kapal barang. Disisi lain beberapa orang lainnya memindahkannya ke kapal kapal yang lebih kecil.

Agak Unik Sebenarnya, bongkar muat barang niaga di lakukan tidak di tempat khusus. Mereka melakukan bongkar muat kapal justru disepanjang tepian daratan. Dermaga dermaga kecil berjejer rapi, dirapati kapal besar, kapal barang, maupun kapal pompong. Terhihat sekali kota ini terbiasa dengan kebudayaan niaga laut.

Kesibukan rutin itu tak kami lewatkan untuk sekedar selfie diujung Geladak Kapal, bak Kelana Laut penguasa Melayu Riau  Kepulauan.

Orang orang sini sangat gigap meloncat loncat, dari satu kapal kayu ke kapal lainnya. Kalau di tengah kota tadi banyak tionghoa yang menguasai, maka tepian samudra ini di kuasai oleh Melayu. Orang orang berkulit sawomatang, berbadan tegap, namun ramah kalau disapa, dan diajak berbincang.

Sebenarnya Sagu masih jadi komuditas utama pulau ini, dan kebanyakan di kirim keluar daerah. Hasil obrolan kami dengan wakil Bupati Meranti, Putra turunan trah Kerajaan Pelalawan Sungai Kampar itu menjelaskan beberapa Investor sudah mulai tertarik untuk membuat pabrik pengolahan sagu di Selat Panjang. Namun sayang mereka masih terkendala penyediaan Air Bersih.

Sekarang selain berniaga, nelayan, dan Berkebun, beberapa penduduk membuat Ruko sarang Walet untuk penghasilan Tambahan. Waktu zaman masih mahal, sarang walet terbaik dikirim ke Singapura dan Malaysia.

Tapi Nampaknya di putaran roda kemakmuran posisi Selat panjang sedang Dibawah, setelah kaya dan permai yang dimulai sejak lebih dari seratus tahun yang lalu. Namun apapun itu tetap patut disyukuri, Dibentuknya kabupaten Meranti bak nafas tambahan tersendiri, semacam kesempatan kedua untuk naik tinggi lagi.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun