Bagian Ke IV
Dua hari di Negeri Niaga Kencana Melayu; Selat Panjang
Bagian Ke III dapat disimak disini
Sebenarnya keharmonisan berdampingan ini bukan tanpa cacat, tahun 2000 sempat terjadi pembakaran atas komplek pertokoan etnis tionghoa.
Disebut sebagai kisah Selat Panjang kelabu. Ketika saya mengobrol dengan keluarga Tionghoa mitra teman saya, saya dapati kisah dimana telah terjadi eksodus besar besaran warga Tionghoa keluar dari Kota Selat Panjang. Namun setelah beberapa provokator tertangkap, keadaan kondusif kembali. Cerita cece tadi ditutup dengan, “Kami sudah merasa kami asli Selat Panjang, kami merasa tak ada tempat lain sebaik kota ini” ujar ibu setengah baya yang anak anaknya tinggal di Batam dan Singapura ini.
Setelah urusan pekerjaan yang panjang, kami petang itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Teman saya mengajak makan panganan khas Selat Panjang, Mie Sagu. Saya menolak diajak ke kedai besar, “ada gak makan mie sagu, tapi yang pinggir jalan ato rumahan..?” pinta saya, sekalian pengen mencoba cita rasa rumahan dari makanan terkenal ini.
Saya lalu diajak makan di pojokan ruman di pinggir lapangan tennis. Sebenarnya saya tidak punya ekspektasi yang besar akan makanan ini, mungkin mirip mi goreng rebus, Kwe tiau atau bihun rebus pikir saya. Ketika ditanya menu pilihan, saya memesan Mie Sagu Basah.
Tak lama makanan Datang, tampilan makanannya biasa saja. Tapi waktu aroma makanan itu menyentuh hidung dan gigitan pertama mengenai lidah, saya tau, makanan ini Enaknya pakai banget.
Selat panjang konon penghasil Sagu terbaik, dan pada masa jayanya mengirim hasil buminya ke Malaysia, Cirebon, dan Singapura. Entah karna faktor sagu terbaik ini atau karna kaldu aroma laut yang membuatnya sangat nikmat. Yang jelas saya minta tambah lagi.