Mohon tunggu...
Achmad Rajab Afandi
Achmad Rajab Afandi Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tumbuh dan belajar, lagi dan lagi

Penikmat Perjalanan, Penikmat Perbincangan dalam Perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Berbagi pulau dalam Sentosa; Tionghoa –Melayu

30 Agustus 2015   07:18 Diperbarui: 30 Agustus 2015   07:18 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menarik juga, keluar dari pelabuhan kami dijemput oleh seorang teman. Dipelataran Parkir tak banyak Mobil yang ada, justru puluhan Becak motor yang manawari kami tumpangan. Rupanya mobil bukan favorit transportasi disini, mereka punya transportasi darat yang lebih efisien untuk Pulau ini, Motor untuk di darat dan Perahu untuk di air, simple sekali.

Keluar dari kawasan pelabuhan kami disambut jalanan rapi dan mulus, Tapi tak usah terburu buru disini. Sebab jalanan yang jarang dilalui oleh mobil akan membuat kita bisa menikmati waktu, yang anehnya pengguna jalan disini tidak ada yang tergesa menggunakan moda transportasi.

Nah omong omong soal jalanan di kota selatpanjag ini memang menarik karna Mobil tidak banyak, praktis kendaraan favorit adalah motor. Untuk transportasi umum mereka menggunakan becak motor, semacam becak yang ditenagai kuda jepang.

Lalu yang paling menarik adalah moda sepeda, jangan bayangkan sepeda merek P*ligon yang keren itu. Ini benar benar sepeda seperti yang kita punya ditahun 90-an. Siang itu pemandangan ini lebih menarik lagi, karna yang mengendarai adalah aki-aki Tionghoa berbaju putih lusuh, dengan kecepatan pelan sambil tersenyum. Ingatanmu akan melayang bak dua puluh tahun yang lalu.

Jumlah penduduk Selat panjang mencapai 230 ribu jiwa, terbesar adalah Melayu, 30% diantaranya bermarga tionghoa sisanya Tamil, Jawa, dan Bugis. Tionghoa di Selatpanjang Berbahasa Hokian, mereka bukan datangan sepuluh dua puluh tahun yang lalu, usia tionghoa di sini hampir sama dengan usia Selat Panjang sendiri.

Sejak didirikan tahun 1807 oleh kesultanan Siak, generasi yang tinggal di Bandar ini, konon sudah berusia lebih dari 170 tahun.

Zaman yang panjang inilah yang sangat mempengaruhi pola hidup dan demografi Melayu – Tionghoa di Bandar tua ini.

Saya dibawa keliling dulu oleh teman penjemput, hal unik disini adalah fakta bahwa kota ini padat, ramai, namun santai. Mungkin efek motor dan sepeda tadi. Mengelilingi kota selat panjang bagaikan mengeliling musium besar.

Entah mengapa, saya merasa bangunan bangunan tua di pusat kota Selat panjang ini punya cerita yang harus diungkap. Jelas sekali pusat keramaian dari kota ini sudah berumur, mungkin puluhan tahun mungkin juga ratusan tahun, tapi saya yakin akan satu hal ; mereka pernah Kaya, pernah sangat makmur sentosa.

Pusat pertokoan terlihat lusuh ber cat pudar itu berjajar rapi, ber blok blok toko dengan bangunan kokoh, diselingi oleh Vihara mencolok yang kadang berseblahan dengan masjid, Kedai kopi, Bahkan Bioskop.

Bayangkan ini negeri pulau nan jauh ini, yang tak bisa diakses dengan transportasi darat, mereka punya bioskop. Saya yakin peranan Selat panjang di panggung sejarah belum banyak diungkap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun