Ide untuk pendirian Museum Bali sendiri sebenarnya sudah ada sejak tahun 1910. Saat itu, pemerintah kolonial Belanda sedang berusaha menghapus memori masyarakat tentang Perang Puputan di Bali, sehingga mereka me-rebranding Bali sebagai Island of Paradise untuk mempromosikan turisme.Â
Namun, karena satu dan lain hal, pengelolaan Museum Bali sempat terhenti, padahal bangunan museum sudah selesai dibangun sejak tahun 1925. Akhirnya, baru di tahun 1932 Museum Bali dibuka untuk umum sebagai museum etnografi, arkeologi, dan seni. Kuratornya saat itu adalah pelukis ternama, Walter Spies.Â
Kala itu, bangunan museum terdiri atas tiga bangunan yang berasal dari Karangasem, Tabanan dan Buleleng. Bangunan (paviliun) Buleleng sendiri awalnya dipergunakan untuk memamerkan benda-benda sehari-hari. Yakni alat-alat pertanian, alat pertukangan, alat perikanan, dan mainan tradisional.Â
Dipajang pula ukir-ukiran, tempat sirih dan anyaman-anyaman bambu/lontar. Kini, Gedung Buleleng masih eksis di Museum Bali. Kalau saya tidak salah ingat, saat ini di dalam Gedung Buleleng dipamerkan kerajinan tangan yang terbuat dari koin.Â
Seperti Museum Aceh, kini status Museum Bali pun sudah menjadi museum provinsi dan sudah ada bangunan-bangunan tambahan serta tata pamer permanen lainnya.Â
Pameran kolonial di Paris tersebut adalah salah satu pameran kolonial paling terkenal dan terbesar yang pernah diselenggarakan.Â
Pada pameran tersebut, Belanda memamerkan keindahan negeri jajahannya, Hindia Belanda, dengan sangat megah. Di sebelah Paviliun Dutch yang memamerkan arca-arca batu, ukiran-ukiran kayu, kain, perhiasan, dan lukisan, ada pula 'Indigenous Village' yang berisi  Rumah Minangkabau.Â
Biasanya, memori terkait pameran kolonial di Paris ini adalah mengenai peristiwa kebakaran yang terjadi di Paviliun Dutch saat itu. Kebakaran tersebut menyebabkan beberapa koleksi Museum van Het Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional) juga menjadi korban.Â
Bahkan, seperti diberitakan oleh Leeuwarder Courant, Museum Borneo di Banjarmasin langsung menawarkan diri dan menyatakan siap untuk membantu apabila Belanda membutuhkan bantuan untuk mengisi ulang paviliunnya yang terbakar.
Namun, ada satu hal yang jarang diketahui mengenai rumah Minangkabau yang saat itu ada di halaman paviliun. Menurut surat kabar Soerabaiasch Handelsblad, sejak awal, bangunan Rumah Minangkabau yang dipersiapkan untuk pameran kolonial di Paris tersebut sudah direncanakan untuk dibawa pulang lagi (setelah pameran selesai) untuk dijadikan museum di Bukittinggi, Sumatera Barat.Â