Paulo Freire menawarkan paradigma pendidikan yang melampaui transfer pengetahuan. Bagi Freire, pendidikan adalah proses penyadaran (conscientization) yang bertujuan untuk membantu individu memahami realitas hidup mereka secara kritis. Realitas ini tidak hanya melibatkan dimensi eksternal yang objektif, seperti kondisi sosial atau ekonomi, tetapi juga kesadaran subjektif individu dalam memaknainya. Dengan penyadaran, individu diajak melihat dirinya sebagai subjek dalam sejarah, bukan sekadar objek pasif yang dikendalikan oleh sistem.
Pemikiran Freire relevan dalam konteks pendidikan di Indonesia, di mana struktur sosial yang timpang sering kali menciptakan ketidakadilan sistemik. Banyak peserta didik diajarkan untuk menerima kondisi mereka sebagai "nasib" alih-alih melihatnya sebagai hasil dari struktur sosial yang menindas. Dengan demikian, pendidikan konvensional cenderung memperkuat pola pikir pasif dan tunduk terhadap status quo. Freire mengkritik pola ini dan menawarkan konsep pendidikan yang membebaskan melalui kodifikasi dan dekodifikasi.
Kodifikasi dan Dekodifikasi: Langkah Awal Penyadaran
Freire memandang proses kodifikasi dan dekodifikasi sebagai langkah awal dalam penyadaran. Kodifikasi adalah cara untuk memvisualisasikan realitas dalam bentuk simbol-simbol yang relevan dengan kehidupan masyarakat, seperti gambar, cerita rakyat, atau media lainnya. Simbol-simbol ini bukan sekadar representasi statis, melainkan pintu masuk untuk menggali makna dan kesadaran yang lebih dalam. Tahap ini memungkinkan peserta didik untuk mengenali situasi mereka secara konkret.
Tahapan selanjutnya adalah dekodifikasi, yaitu diskusi kritis atas simbol-simbol tersebut dalam konteks konkret dan teoritis. Diskusi ini tidak hanya bertujuan untuk menjelaskan realitas, tetapi juga untuk mendorong peserta didik memahami akar masalah dan struktur yang melanggengkan ketidakadilan. Misalnya, simbol kemiskinan pedesaan di Indonesia dapat dikodifikasi melalui cerita rakyat atau gambar yang menggambarkan kehidupan petani. Dekodifikasi dilakukan melalui dialog kelompok yang menggali bagaimana kemiskinan tersebut bukanlah takdir, melainkan konsekuensi dari kebijakan yang tidak adil, ketimpangan akses sumber daya, atau eksploitasi struktural.
Pendekatan ini memberikan ruang bagi peserta didik untuk bertransformasi dari kesadaran "naif" ke kesadaran "kritis". Mereka tidak lagi melihat kemiskinan sebagai fenomena alamiah, melainkan sebagai kondisi yang dapat diubah melalui aksi kolektif. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi alat untuk membebaskan individu dari belenggu struktur yang menindas.
Kritik atas Realitas Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia masih cenderung mengadopsi pendekatan yang hierarkis dan banking system, di mana guru dianggap sebagai pihak yang serba tahu dan siswa hanya menjadi penerima pasif. Sistem ini tidak memberi ruang untuk dialog kritis antara peserta didik dan pendidik. Bahkan, kurikulum sering kali meminggirkan pengalaman konkret siswa, terutama dari kelompok marginal seperti petani, buruh, atau masyarakat adat.
Sebagai contoh, kemiskinan di pedesaan sering kali hanya disebut dalam konteks statistik atau fenomena ekonomi, tanpa menghubungkannya dengan persoalan struktural seperti distribusi tanah, monopoli pasar, atau kebijakan agraria. Akibatnya, siswa hanya memahami kemiskinan sebagai fakta tanpa melihatnya sebagai masalah yang bisa diubah. Pendekatan Freire mengajarkan bahwa simbol-simbol seperti ini harus dijadikan bahan dialog yang menantang struktur, bukan sekadar pengetahuan belaka.
Pendidikan yang Membebaskan: Tantangan dan Harapan
Freire mengingatkan bahwa pendidikan sejati bukanlah proses pasif, melainkan upaya aktif untuk memanusiakan manusia. Penyadaran harus dimulai dari dialog yang setara antara guru dan siswa, di mana keduanya saling belajar sebagai subjek yang otonom. Kodifikasi dan dekodifikasi menjadi langkah penting untuk memahami realitas secara kritis dan menemukan solusi kolektif.
Dalam konteks Indonesia, penerapan pendidikan berbasis penyadaran menghadapi tantangan besar, mulai dari kurikulum yang tidak fleksibel hingga budaya hierarkis di ruang kelas. Namun, perubahan kecil dapat dimulai dengan mengintegrasikan diskusi kritis dalam pembelajaran dan menggunakan simbol-simbol lokal sebagai bahan refleksi. Dengan langkah ini, pendidikan di Indonesia dapat bertransformasi dari alat reproduksi penindasan menjadi sarana pembebasan yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H