Namun, di balik kebaikannya, Bu Gimah tetaplah manusia yang juga memiliki beban hidup. Kehidupannya jauh dari kata mewah. Meski rumahnya sudah dibedah oleh pemerintah, penghasilannya dari berjualan nasi jagung tidaklah seberapa. Kadang, di akhir bulan, dia harus mengencangkan ikat pinggang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Namun, ia tak pernah mengeluh.
"Makan sepiring nasi jagung dan urap sayur itu sudah cukup buat saya. Yang penting masih bisa bergerak, masih bisa berjualan, dan membantu orang lain. Itu sudah rezeki yang luar biasa," katanya dengan penuh syukur.
Nasi Jagung yang Selalu Dirindukan
Nasi jagung dan urap sayur buatan Bu Gimah memiliki tempat istimewa di hati para pelanggannya. Tidak sedikit yang datang dari jauh hanya untuk membeli makanan sederhana ini. Menurut cerita warga, nasi jagungnya memiliki cita rasa yang berbeda dari penjual lainnya. Campuran nasi dan jagung yang pas, ditambah dengan lauk pauk tradisional yang diracik dengan penuh cinta, membuatnya menjadi kuliner yang dirindukan oleh banyak orang.
"Bali Pindang Bu Gimah itu luar biasa. Ikannya gurih, bumbunya pas, dan kalau dimakan sama nasi jagung, rasanya meledak di mulut. Murah meriah tapi bikin lidah goyang," cerita Pak Budi, salah satu pelanggan setia yang selalu datang setiap pagi untuk sarapan.
Sambal terong pedas yang disajikan sebagai pelengkap pun menjadi sorotan. Bagi yang suka pedas, sambal terong ini adalah kenikmatan tersendiri. Bukan hanya rasa pedasnya yang nendang, tapi juga aroma terong bakar yang dicampur dalam sambalnya.
"Kalau saya beli, sambal terongnya pasti minta tambah. Pedasnya bikin semangat, meskipun lidah terasa terbakar," ujar Bu Sri sambil tertawa.
Kenangan Manis dan Masa Depan
Bu Gimah memang telah berumur, namun semangatnya untuk berjualan dan membantu sesama tidak pernah luntur. Dalam kehidupannya yang sederhana di gang sempit Kelurahan Sidkumpul, Bu Gimah telah menjadi simbol keteguhan, kebaikan, dan kehangatan. Di usianya yang sudah senja, ia terus menginspirasi banyak orang di sekitarnya dengan kerja keras dan keikhlasannya.
Anak-anak muda di gang itu sering kali membantu Bu Gimah membawa barang dagangannya, dan beberapa dari mereka bahkan tertarik untuk belajar memasak nasi jagung darinya. "Kalau nanti saya sudah tidak bisa jualan lagi, saya ingin anak-anak muda di sini bisa teruskan. Biar nasi jagung ini tetap ada, dan bisa terus dikenang," ujar Bu Gimah dengan mata berbinar penuh harap.
Dengan segala keterbatasannya, Bu Gimah terus menjalani hari-harinya dengan penuh semangat dan keikhlasan. Meskipun sederhana, nasi jagung dan urap sayur yang ia jual telah memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya di lidah tetapi juga di hati. Setiap suapan nasi jagung dari Bu Gimah seakan membawa cerita panjang tentang kehidupan, ketulusan, dan cinta dari seorang nenek tua yang tak pernah berhenti bersyukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H