Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Setelah dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel, Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Waspada Politik Kartel dan Terjadinya Pemerintah Daerah Autopilot dengan Cakada Tunggal

5 September 2024   08:09 Diperbarui: 5 September 2024   08:21 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Partai politik (parpol) memiliki peran strategis dalam sistem demokrasi, terutama dalam melahirkan calon pemimpin yang berkualitas. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat dihadapkan pada fenomena politik kartel dan kegagalan parpol melahirkan kader terbaik untuk ikut maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Fenomena ini menjadi sorotan serius karena berimplikasi langsung pada kualitas pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, tidak jarang kita melihat calon tunggal dalam pilkada yang memiliki track record kurang memuaskan di periode sebelumnya, namun tetap diusung oleh parpol tanpa evaluasi yang memadai.

Artikel ini akan membahas secara mendalam fenomena politik kartel, dampaknya terhadap demokrasi, kegagalan parpol dalam melahirkan kader yang kompeten, serta solusi yang dapat diambil oleh masyarakat untuk mengoreksi jalannya pemerintahan. Selain itu, artikel ini juga akan mengaitkan fenomena ini dengan pemerintahan daerah yang kerap kali berjalan secara autopilot, di mana struktur pemerintahan dan masyarakat sudah terjebak dalam pola yang stagnan dan tanpa inovasi.

Politik Kartel dalam Pilkada

Politik kartel merujuk pada praktik di mana parpol berkolusi untuk mempertahankan status quo dan mengurangi persaingan dalam proses politik. Dalam konteks pilkada, politik kartel seringkali tampak melalui fenomena calon tunggal, di mana parpol-parpol yang seharusnya bersaing justru bersatu mengusung satu kandidat, sehingga mengeliminasi pilihan bagi masyarakat.

Kondisi ini jelas bertentangan dengan semangat demokrasi yang mengedepankan kompetisi sehat dan pilihan yang luas bagi rakyat. Politik kartel tidak hanya merugikan masyarakat karena terbatasnya pilihan calon, tetapi juga berpotensi menciptakan sistem politik yang tidak akuntabel. Calon tunggal yang didukung oleh banyak parpol seringkali merasa aman dari evaluasi kritis masyarakat karena tidak ada pesaing yang bisa menjadi alternatif.

Selain itu, politik kartel juga menunjukkan kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsinya sebagai wadah kaderisasi. Seharusnya, parpol memiliki tanggung jawab untuk melahirkan kader-kader terbaik yang siap memimpin dan membawa perubahan bagi daerah. Namun, kenyataannya, banyak parpol yang justru memilih jalan pintas dengan mengusung calon yang sudah memiliki kekuasaan meskipun rekam jejaknya kurang memuaskan.

Gagalnya Partai Politik Melahirkan Kader Terbaik

Salah satu indikator dari kegagalan parpol dalam melahirkan kader terbaik dapat dilihat dari munculnya calon tunggal dalam pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa parpol tidak mampu atau tidak mau mencari alternatif pemimpin yang lebih kompeten untuk bersaing dalam kontestasi politik. Padahal, idealnya, parpol harus melakukan proses kaderisasi yang matang dan selektif, sehingga dapat menghasilkan calon pemimpin yang benar-benar memiliki kapasitas dan integritas.

Fenomena ini menjadi lebih serius ketika calon tunggal yang diusung memiliki track record kurang memuaskan di periode sebelumnya. Misalnya, terdapat daerah yang tingkat stunting-nya jauh melebihi rata-rata provinsi, angka kemiskinan dan penganggurannya tetap tinggi, serta infrastruktur jalan dan angkutan yang tidak memadai. Selain itu, isu-isu sosial seperti intensif untuk guru mengaji yang terlupakan juga menjadi masalah yang tidak terselesaikan.

Ketidakmampuan parpol untuk menghadirkan kader baru yang kompeten tidak hanya mencerminkan masalah internal di tubuh parpol itu sendiri, tetapi juga menjadi ancaman bagi demokrasi lokal. Masyarakat tidak diberikan kesempatan untuk memilih pemimpin yang lebih baik, sehingga kualitas pemerintahan cenderung stagnan dan tidak ada inovasi baru yang dihasilkan.

Kontrak Politik atau Kotak Kosong Satu Solusi

Dalam menghadapi situasi seperti ini, masyarakat memiliki peran penting untuk melakukan koreksi terhadap jalannya pemerintahan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan kontrak politik langsung dengan calon yang diusung. Kontrak politik ini bisa berbentuk janji-janji tertulis yang harus dipenuhi oleh calon kepala daerah jika terpilih. Jika janji tersebut tidak terpenuhi, masyarakat dapat menggunakan mekanisme hukum atau sosial untuk menuntut pertanggungjawaban dari pemimpin tersebut.

Selain kontrak politik, pilihan lain yang bisa diambil oleh masyarakat adalah dengan memilih kotak kosong dalam pilkada. Memilih kotak kosong bisa menjadi bentuk protes terhadap sistem politik yang tidak memberikan pilihan yang layak. Jika kotak kosong menang, maka daerah tersebut akan dipimpin oleh pejabat sementara (PJ) yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Meskipun solusi ini bukan yang ideal, namun setidaknya hal ini dapat menjadi sinyal kuat bagi parpol bahwa masyarakat tidak puas dengan calon yang diusung dan menginginkan perubahan.

Evaluasi Kinerja Pemimpin: Rekam Jejak dan Indikator Pembangunan

Dalam mengevaluasi kinerja pemimpin daerah, masyarakat perlu melihat berbagai indikator yang menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan pemerintahan. Beberapa indikator yang dapat digunakan antara lain:

Tingkat Stunting: Angka stunting di suatu daerah mencerminkan kondisi gizi dan kesehatan anak-anak. Jika tingkat stunting melebihi rata-rata provinsi, ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah gagal dalam mengatasi masalah kesehatan dan gizi.

Angka Kemiskinan dan Pengangguran: Angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup dan gagal mengangkat kesejahteraan masyarakat.

Infrastruktur: Infrastruktur yang tidak memadai, seperti jalan rusak dan transportasi umum yang buruk, menjadi salah satu tanda ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menyediakan fasilitas yang layak bagi warganya. Masyarakat hanya disuguhi oleh hiburan medsos dengan kunjungan kunjungan tanpa diikuti oleh pembangunan kongkrit.

Pelayanan Sosial: Isu-isu seperti intensif untuk guru mengaji yang terlupakan juga menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak peduli terhadap kesejahteraan sosial warganya.

Masyarakat perlu menggunakan indikator-indikator ini dalam menentukan apakah calon kepala daerah layak untuk dipilih kembali atau tidak.

Ditambah lagi, Salah satu fenomena yang sering terjadi di pemerintahan daerah adalah pemerintahan autopilot, di mana sistem pemerintahan berjalan tanpa arah yang jelas karena sudah terjebak dalam rutinitas yang stagnan. Pemerintahan autopilot biasanya terjadi ketika pemimpin daerah tidak memiliki visi yang kuat atau tidak ada dorongan untuk melakukan perubahan.

Pemerintahan seperti ini cenderung hanya menjalankan fungsi administratif tanpa ada inovasi atau terobosan baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sering kali diperparah oleh struktur pemerintahan yang sudah "pakem" dan tidak terbuka terhadap perubahan. Pada akhirnya, masyarakat juga terbiasa dengan pola pemerintahan seperti ini dan tidak lagi menuntut perbaikan.

Namun, kondisi ini sangat berbahaya karena pemerintahan yang stagnan akan sulit untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul, seperti perubahan ekonomi global, perkembangan teknologi, dan masalah sosial yang semakin kompleks.

Membangun Kembali Demokrasi Lokal Satu Kesimpulan

Politik kartel dan pemerintahan autopilot di daerah adalah dua masalah besar yang mengancam kualitas demokrasi lokal di Indonesia. Parpol gagal dalam melahirkan kader terbaik, dan masyarakat tidak diberikan pilihan yang layak dalam pilkada. Untuk itu, masyarakat harus mengambil peran aktif dalam melakukan koreksi terhadap jalannya pemerintahan.

Kontrak politik dan kotak kosong adalah dua solusi yang bisa diambil oleh masyarakat untuk mengoreksi pemimpin daerah yang tidak kompeten. Selain itu, masyarakat juga harus lebih kritis dalam mengevaluasi kinerja pemimpin daerah dengan menggunakan indikator-indikator pembangunan yang jelas.

Pada akhirnya, keberhasilan demokrasi lokal sangat bergantung pada keterlibatan aktif masyarakat dan komitmen parpol untuk melakukan reformasi internal. Hanya dengan demikian, kita bisa berharap bahwa daerah-daerah di Indonesia akan dipimpin oleh pemimpin yang benar-benar kompeten dan memiliki visi yang jelas untuk kemajuan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun