Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Setelah dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel, Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warisan Kolonial dan Identitas Bangsa Indonesia: Sebuah Refleksi

20 Agustus 2024   12:13 Diperbarui: 20 Agustus 2024   12:13 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam konteks pemerintahan, struktur birokrasi yang ada saat ini juga merupakan warisan dari sistem kolonial. Banyak praktik dan aturan yang kita gunakan saat ini masih didasarkan pada model kolonial yang dibangun untuk melayani kepentingan penjajah, bukan rakyat pribumi. Oleh karena itu, meskipun kita telah merdeka, tantangan untuk mereformasi birokrasi dan memastikan bahwa sistem pemerintahan kita benar-benar mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial masih sangat besar.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana kita harus memaknai warisan kolonial ini dalam konteks masa kini? Apakah kita harus menolak segala sesuatu yang berbau kolonial, ataukah kita bisa mengadopsinya dengan memberi makna baru yang lebih relevan dengan semangat nasionalisme?

Pernyataan Presiden Jokowi tentang "bau-bau kolonial" mencerminkan kesadaran bahwa kita masih dibayang-bayangi oleh masa lalu. Namun, alih-alih terjebak dalam bayang-bayang itu, kita bisa mengambil langkah proaktif untuk merekonstruksi warisan kolonial menjadi sesuatu yang positif. 

Seperti yang dikatakan oleh Rizal, menjaga dan menggunakan bangunan kolonial bisa menjadi simbol kemenangan nasionalisme atas kolonialisme. Demikian pula, lomba panjat pinang, meskipun berasal dari tradisi kolonial, bisa menjadi simbol kerja keras dan kebersamaan jika diinterpretasikan dalam konteks yang lebih positif.

Pada akhirnya, warisan kolonial adalah bagian dari sejarah kita yang tidak bisa dihapus begitu saja. Namun, kita memiliki pilihan untuk menentukan bagaimana warisan ini akan memengaruhi identitas kita sebagai bangsa. Apakah kita akan terus dibayangi oleh masa lalu, ataukah kita akan mengambil alih kendali atas warisan tersebut dan memberi makna baru yang lebih sejalan dengan nilai-nilai kemerdekaan dan keadilan yang kita perjuangkan?

Dengan mempertahankan warisan kolonial yang memiliki nilai sejarah dan estetika, kita dapat menunjukkan bahwa bangsa ini mampu mengubah sesuatu yang dulu digunakan untuk menindas menjadi simbol kemenangan dan kebanggaan. Di sisi lain, kita juga harus kritis terhadap warisan yang justru menghalangi kita untuk maju dan mengembangkan identitas nasional yang lebih kuat dan mandiri.

Warisan kolonial adalah cermin dari masa lalu kita, tetapi bagaimana kita melihat diri kita di dalam cermin itu tergantung pada bagaimana kita memaknainya. Dengan kebijaksanaan dan kesadaran sejarah, kita bisa mengubah bayang-bayang kolonial menjadi pijakan untuk masa depan yang lebih cerah dan berdaulat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun