Pernyataan Presiden Jokowi, "Saya hanya ingin menyampaikan bahwa itu sekali lagi, Belanda. Bekas gubernur jenderal Belanda, dan sudah kita tempati 79 tahun. Bau-baunya kolonial, selalu saya rasakan setiap hari. Dibayang-bayangi (masa kolonial)," menyiratkan sebuah kesadaran kolektif akan jejak-jejak kolonialisme yang masih tertinggal dalam struktur dan kultur Indonesia. Pernyataan ini mengundang refleksi mendalam tentang bagaimana warisan kolonial memengaruhi kehidupan kita saat ini, baik dalam konteks fisik maupun budaya.
Salah satu warisan kolonial yang paling nyata terlihat adalah bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang masih berdiri kokoh di berbagai penjuru Indonesia. Gedung-gedung pemerintahan, istana, dan infrastruktur lain yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda bukan hanya menjadi saksi bisu sejarah, tetapi juga merupakan bagian integral dari wajah perkotaan Indonesia. Bangunan-bangunan ini, seperti Istana Merdeka di Jakarta, Gedung Sate di Bandung, hingga berbagai benteng dan gedung bersejarah di kota-kota lainnya, masih digunakan dan dipelihara hingga kini.
Menurut JJ Rizal, seorang sejarawan yang dikutip kompas  14/8/2024, menyebutkan keberadaan bangunan kolonial ini memiliki makna simbolis yang kuat. Bangunan-bangunan ini bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi juga bukti bahwa nasionalisme Indonesia telah berhasil menaklukkan kolonialisme.Â
Dengan tetap menjaga dan menggunakan bangunan tersebut, Indonesia menunjukkan bahwa masa lalu kolonial telah dikalahkan oleh semangat kebangsaan. Nasionalisme, yang tumbuh dan berkembang selama masa perlawanan terhadap penjajah, berhasil merebut kembali dan memanfaatkan warisan kolonial untuk kepentingan bangsa.
Namun, di sisi lain, perasaan "bau-bau kolonial" yang dirasakan oleh Presiden Jokowi menggambarkan bahwa warisan ini juga membawa beban sejarah. Setiap sudut bangunan kolonial mungkin masih menyimpan memori penindasan dan ketidakadilan yang pernah dialami oleh nenek moyang kita. Gedung-gedung megah yang dulu menjadi simbol kekuasaan kolonial sekarang menjadi bagian dari identitas kita, tetapi juga mengingatkan kita pada babak suram dalam sejarah bangsa.
Warisan kolonial tidak hanya terbatas pada bangunan dan infrastruktur fisik, tetapi juga meresap dalam budaya dan tradisi yang kita warisi hingga saat ini. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah lomba panjat pinang, sebuah permainan yang kerap kali diadakan dalam perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Lomba ini, meskipun kini dianggap sebagai simbol kebersamaan dan kerja keras, memiliki akar sejarah yang kontroversial.
Panjat pinang, atau "ceko" dalam bahasa Betawi, konon berasal dari tradisi Dinasti Ming di Tiongkok yang kemudian diadopsi oleh penjajah Belanda pada masa kolonial di Indonesia. Pada awalnya, lomba ini dimainkan sebagai hiburan bagi para pejabat Belanda dalam berbagai acara besar, termasuk perayaan Koninginnedag, atau Hari Ratu, di mana peserta lomba umumnya adalah kaum pribumi. Bagi penjajah, panjat pinang menjadi tontonan yang menghibur, di mana para peserta pribumi harus berjuang keras untuk mencapai puncak tiang yang licin demi mendapatkan hadiah yang digantung di atasnya.
Seiring berjalannya waktu, lomba panjat pinang menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan kemerdekaan di Indonesia. Namun, tradisi ini tidak lepas dari kritik. Banyak yang berpendapat bahwa panjat pinang mencederai nilai-nilai kemanusiaan karena sejarahnya yang sarat dengan eksploitasi dan penghinaan terhadap pribumi. Di sisi lain, ada juga yang melihat lomba ini sebagai simbol kerja keras, perjuangan, dan kekompakan, yang sejalan dengan semangat perjuangan kemerdekaan.
Menurut sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, tidak semua warisan kolonialisme itu buruk. Ia mencontohkan sekolah dan rumah sakit sebagai dua contoh positif dari warisan kolonial yang masih kita manfaatkan hingga kini. Demikian pula dengan lomba panjat pinang, yang meskipun berakar dari tradisi kolonial, kini telah diadopsi dan diberi makna baru oleh masyarakat Indonesia. Lomba ini telah berubah dari sekadar hiburan bagi penjajah menjadi simbol nasionalisme yang mencerminkan semangat gotong royong dan kebersamaan.
Warisan Mentalitas: Bayang-Bayang Kolonial dalam Identitas Nasional
Warisan kolonial tidak hanya tampak dalam bentuk fisik dan tradisi budaya, tetapi juga meresap dalam mentalitas dan cara berpikir bangsa. Selama lebih dari tiga abad, penjajahan Belanda meninggalkan jejak yang mendalam dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik Indonesia. Meskipun kita telah merdeka selama hampir delapan dekade, bayang-bayang kolonialisme masih bisa dirasakan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh nyata dari bayang-bayang kolonial ini adalah stratifikasi sosial yang masih terbawa dari masa penjajahan. Pada masa kolonial, masyarakat Indonesia dibagi menjadi kelas-kelas sosial berdasarkan ras dan etnis, di mana orang-orang Belanda dan Eropa menempati posisi tertinggi, disusul oleh kaum pribumi, dan terakhir kelompok minoritas lainnya. Meskipun sistem ini secara formal telah berakhir, sisa-sisa pemikiran kolonial ini masih terlihat dalam diskriminasi sosial dan ekonomi yang dialami oleh berbagai kelompok masyarakat.
Dalam konteks pemerintahan, struktur birokrasi yang ada saat ini juga merupakan warisan dari sistem kolonial. Banyak praktik dan aturan yang kita gunakan saat ini masih didasarkan pada model kolonial yang dibangun untuk melayani kepentingan penjajah, bukan rakyat pribumi. Oleh karena itu, meskipun kita telah merdeka, tantangan untuk mereformasi birokrasi dan memastikan bahwa sistem pemerintahan kita benar-benar mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial masih sangat besar.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana kita harus memaknai warisan kolonial ini dalam konteks masa kini? Apakah kita harus menolak segala sesuatu yang berbau kolonial, ataukah kita bisa mengadopsinya dengan memberi makna baru yang lebih relevan dengan semangat nasionalisme?
Pernyataan Presiden Jokowi tentang "bau-bau kolonial" mencerminkan kesadaran bahwa kita masih dibayang-bayangi oleh masa lalu. Namun, alih-alih terjebak dalam bayang-bayang itu, kita bisa mengambil langkah proaktif untuk merekonstruksi warisan kolonial menjadi sesuatu yang positif.Â
Seperti yang dikatakan oleh Rizal, menjaga dan menggunakan bangunan kolonial bisa menjadi simbol kemenangan nasionalisme atas kolonialisme. Demikian pula, lomba panjat pinang, meskipun berasal dari tradisi kolonial, bisa menjadi simbol kerja keras dan kebersamaan jika diinterpretasikan dalam konteks yang lebih positif.
Pada akhirnya, warisan kolonial adalah bagian dari sejarah kita yang tidak bisa dihapus begitu saja. Namun, kita memiliki pilihan untuk menentukan bagaimana warisan ini akan memengaruhi identitas kita sebagai bangsa. Apakah kita akan terus dibayangi oleh masa lalu, ataukah kita akan mengambil alih kendali atas warisan tersebut dan memberi makna baru yang lebih sejalan dengan nilai-nilai kemerdekaan dan keadilan yang kita perjuangkan?
Dengan mempertahankan warisan kolonial yang memiliki nilai sejarah dan estetika, kita dapat menunjukkan bahwa bangsa ini mampu mengubah sesuatu yang dulu digunakan untuk menindas menjadi simbol kemenangan dan kebanggaan. Di sisi lain, kita juga harus kritis terhadap warisan yang justru menghalangi kita untuk maju dan mengembangkan identitas nasional yang lebih kuat dan mandiri.
Warisan kolonial adalah cermin dari masa lalu kita, tetapi bagaimana kita melihat diri kita di dalam cermin itu tergantung pada bagaimana kita memaknainya. Dengan kebijaksanaan dan kesadaran sejarah, kita bisa mengubah bayang-bayang kolonial menjadi pijakan untuk masa depan yang lebih cerah dan berdaulat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H