Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Setelah dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel, Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Mysagony dan Kesensitifan Kita Terhadap Pelecehan Gender

23 April 2020   06:40 Diperbarui: 24 April 2020   03:38 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini diawali dengan social experiment oleh cak Bokir di salah group akademik yang pasti tidak pernah disusupi oleh stafsus millineal yang lagi viral itu. Social experiment ini menggunakan dua gambar yang di posting di group tersebut. Adapun gambar tersebut adalah :

mysoagoni-5ea0d38fd541df611a52be12.jpg
mysoagoni-5ea0d38fd541df611a52be12.jpg
Muncul tanggapan pertama dari seorang anggota yang konsen dengan masalah gender dan media "Dengan segala hormat, maaf saya keberatan dengan adanya postingan gambar2/informasi menyangkut perempuan yang konteksnya, menurut saya, misogynist seperti di atas. Please keep in mind that we are in a communication group which consists both genders- no need to post something that might be offensive to one. Thank you." Sebut saja dia si Hera

" yoi mbak Hera, seingat saya hal ini sudah pernah terjadi sebelumnya dan sudah pernah 'ditegur' pula. Ayolah, share hal-hal lain yang lebih bermanfaat buat lebih banyak kalangan aja, jangan mengeluarkan gambar yang memunculkan lekuk organ tubuh" dukungan si Maya

Untuk memanaskan suasana diskusi si Cak Bokir malah memancing emosi kawan kawannya dengan menuliskan "seingat saya, postingan saya tidak ada kontent pornograpy and sexuality, meski mungkin banyak yang mikir kejahuhan, terkait kontent ada foto wanita atau pria itu sah sah saja sepanjang tidak ada code of conduct dalam forum yang melarang posting foto perempuan atau lelaki, intinya adalah kontent " "kalau umpanyanya mayoritas menyatakan bersalah, ya udah di vonis saja misal dengan di keluarkan dari group gitu aja kog repot,kita semua uda dewasa kog"

Ternyata muncul "dukungan" dari seorang member sebut saja si Agung "Hahaha....Cak....ojok metu disek....metu neng endhi? Neng jerooo opo neng jobooo?" yang malah maunya berusaha mencair suasana tapi ini juga memancing lebih lanjut komentar kawan kawan lainnya.

Betul saja sejurus kemudian muncul komentar yang menyangga" Betul sekali. Dan saya tidak bicara soal pornografi. Tolong dicermati isi konten yang diposting tadi. Menurut saya, postingan tersebut membuat anggapan yang menyudutkan perempuan (dan juga laki2 as an engineer). Ini bukan forum privat, jadi hal2 seperti itu sebaiknya tidak diposting di grup mahasiswa/akademisi- yang saya percaya sudah cukup dewasa untuk memilah mana yang sesuai untuk dibagikan atau tidak. No need to 'repot - repot'". Saut si Punky di group

"Persoalan delete mah gak repot. Yang mungkin rada repot adalah bagaimana kita menghargai dan berempati terhadap keberadaan dan preferensi manusia lain" Si Fauziah menimpali

Ditengah cak Bokir diserang oleh banyak aktivis perempuan di group WAG ini, tiba tiba munculah sesok member sebut saja si Igak " gimana dengan poster film yang banyak memunculkan gambar wanita yang mungkin lebih vulgar dari postingan cak Bokir?" " sebut saja Bulan di atas bantal, bulan tertusuk ilalang, dan daun di atas bantal" keseriusan si Igak malah di celetukin si Agung "lek aku seneng bernafas dalam lumpur" "Tak tanbahi, roda gila, istana kecantikan" kata si Igak.

"film film itu contentnya banyak exploitasi gender lho'" celetuk si Ojik "apik an nyi blorong" saut si Agung plus dengan emoticon berlari seolah menjauh sambil tertawa

Si Igak menjelaskan yang diawali dengan emoticon berkaca mata seolah olah menanamkan nada serius "Nyi blorong senafas dengan pembalasan ratu pantai selatan" namun demikian Istana kecantikan adalah film pertama dalam sejarah sinema Orde baru yang dengan eksplisit memperlihatkan homoseksuality padahal saat itu rezim Orde baru represif dengan politik tapi permisif dengan seksualitas" imbuh dia menjelaskan . Tidak hanya itu Igak juga melanjutkan penjelasannya "Angka film tema sensualitas perempuan paling tinggi masa orba"." apakah itu karena sensornya lebih represif ke politik?" celetuk seorang member yang dari tadi jadi silent reader membaca penjelasan si Igak.

Dengan memasang emoticon kacamata dan kacak pinggang si Igak melanjutkan mengetik textnya yang isinya" "Represi politik msa orba sangat keras pada masa 80-90, dibanding masa pra 80-90, sehingga produser merasa lebih aman menjajal tema sensualitas, ditambah lagi biaya produksi 100 juta, pemasukan bisa 200 juta"

"lha peran lembaga sensor (BSF-Badan Sensor Film) bagaimana masa itu?" celetuk Hera yang tadinya protes malah menyimak

"Saya tidak menyebut lembaga sensor paling berperan tapi faktanya film-film dengan tema sensualitas perempuan paling banyak muncul di pasar. Mungkin menarik meneliti ini, karena dari potongan-potongan film yang disensor di BSF waktu itu konten eksplisitnya luar biasa memang, nah yang lepas yang dianggap "aman", tapi ya kalau kena KPI jaman sekarang yang bakal diblur huhahahaha" kata si Igak dengan emoticon tertawa berguling guling

Sedikit jenak group WAG sebelum akhirnya si Igak melanjutkan Kulwag nya "sebelum masuk sensor BSF, semua dokumen pra poduksi disensor kamtibmas dulu. Jadi skenario termasuk siapa sutradara "disensor" juga " sehingga model sensor saat itu adalah selfcensor di organisasi pelem, yang memutuskan yang boleh jadi sutradara adalah mereka yang masuk daftar "aman" menurut penguasa"

Ditengah serius diskusi tentang sensor film, muncul cletukan si Budi "Dulu belum ada FPI, klo skrg bisa digrebek bioskopnya ( yang diselingi emoticon meringis) dan di obrak abrik tuh......." "Saya jadi ingat, film crash digrebek hanya karena posternya menampilkan pria betpelukan frngan perempuan. Padahal itu film soal multiculturalism"

"Mungkin saya yang terlalu dangkal mencermati. Tapi, menurut saya, ini hanya persoalan rasa dalam sebuah kultur aja. Ada teman" yang sudah terbiasa dengan hal" yang priority saja dimana bahasanya cukup dilengkapi dengan gambar yang agak menggelitik. Di sisi lain, banyak juga dari kita yang masih kangen-kangenan dengan kultur kita dimana bahasa basa basi itu perlu buanget tanpa perlu ngeliatin gambar yang nusuk". (Ngomongopoooakuiki) celetuk sih Farah

Si Adit menambahkan "Kalau menurut saya kita yang dari Indonesia/Asia sudah terbiasa hidup di kultur yang patriarkhal jadi tidak peka dengan hal-hal yang berbau mysogyny. Plus budaya harmoni yang bikin sungkan atau takut unt saling mengingatkan karena bisa ngak enakan (perasaan berperan penting buat kita). Tapi sebagai kaum berpendidikan tinggi menurut saya kita perlu mulai peka dengan isu-isu terkait mysogyny sehingga paling tidak kita tidak ikut serta dalam 'melestarikannya' dengan menganggapnya sebagai hal yg lumrah/biasa".

Cak Bokir manas manasin diskusi " padahal postingan saja diatas ada dua yang mengandung "Mysogyny" tapi yg di protest kog yg kedua? hehehehehe " sambil memunculkan emoticon usilnya yang menjulurkan lidah

Si Adit merespond "Saya percaya bhw ucapan atau perbuatan yang bersifat mysogyny tidak otomatis berarti yang melakukan bermaksud negatif. Bisa sebagai sesuatu yang sangat innocent. Sesuatu yang dianggap biasa atau lucu dari perspektif pribadi. Tapi secara tersembunyi (insidious) mengandung 'cita rasa' mysogyny. Ini sharing dari pengalaman pribadi lho bukan tentang org lain" yang ditutup dengan emoticon tersenyum kecut.

"Biasanya yg menganggap biasa adalah laki-laki. Kalo dari perspektif perempuan, saya rasa sebagian besar akan kurang berkenan. " kata si Endah menimpali dengan emoticon wajah memerah

Memasang emoticon serius, si Adit menjelaskan "Pada umumnya begitu. Tapi untuk isu-isu yang subtle bisa juga lho kaum perempuan pun secara tidak sadar ikut 'melestarikannya'. Karena itu tadi, sudah berakar kuat di budaya dan kehidupan sehari-hari kita. Atau karena sungkan untuk mengingatkan. Akhir-akhir ini saya lihat di Ausie ada kampanye terkait Respect terihat bagus. Semua dimulai dari keluarga "

"Sebenarnya bagaimana individu menunjukkan eksplorasi ketertarikannya pada isu seksualitas menunjukkan dorongan kebutuhan heterosexualitas pada dirinya. Menurut Murray (2008), mengapa eksplorasi ketertarikannya ini bisa terlihat meluas ke ranah publik adalah karena pemenuhan kebutuhan yang belum tercukupi secara subyektif pada diri individu itu sendiri. Oleh Freud bahkan dijelaskan bagaimana jelasnya bentuk mekanisme defensif ini ditunjukkan oleh seseorang sebagai strateginya untuk bertahan " si Maya yang ngejawab seperti menulis journal ilmiah

Mendadak si Igak mengumpat "Buset...sangar ini. Salut untuk @Hera dan @Cak Bokir yang dengan cerdiknya bisa membuat ini menjadi topik diskusi "

"Dosakah aku yg terlanjur tertawa pada gambar-gambar tersebut.. #habistertawaterbitlahgalau " celetuk si Doni yang dari tadi diam

"hahaha saya juga ketawa sih...but moreover menurutku itu marketing technique yg kebablasan saja #maapken sy ga mudeng kalau pake istilah misogyny dll" sautan si Dean

"Sepertinya Philip Kotler harus ngupi ngupi sama Sigmun Freud agar bisa menjelaskan ini " kata si Maya, "terus kita nyimak"

Cak Bookir dengan gayanya yang provokator berusaha menggarisbawahi " padahal menurut saya lebih "fulgar" dan "melecehkan" perempuan di gambar pertama (meski secara bahasa just say good morning), sedangkan di gambar kedua sekedar " warning" dari kemungkinan kejadi di "lapangan" dengan bahasa yang sedikit " sexist" tapi dengan gambar yang lebih "sopan"

Si Hera sedikit berbeda pendapat dengan Cak Bokir "Gambarnya sih menurut saya hampir sama dengan baju ketat. Cuma kalau yang kedua saya interpretasikan ada hal yang ofensif buat perempuan & laki2. Yang perempuan dihimbau ndak pakai rok mini karena mungkin akan berpotensi membahayakan laki2 yang berprofesi sebagai engineer. Kalau yang pertama karena teksnya gak ngerti, bisa jadi maksudnya berbeda kalau dilihat secara keseluruhan "

"wah kalau dibahas serius bisa muncul " clash of civilization" yang masing masing memiliki value dan nilai sendiri dalam mengkampanyekan sesuatu" kata Cak Bokir seolah olah mau mengalihkan topik pembicaraan

Diskusi virtual diatas seolah menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat kita yang masih banyak menggunakan symbol symbol keperempuanannya dalam panggung public. Tidak hanya dalam poster film yang memang jelas komersil, poster layanan, iklan iklan lebih memunculkan sosok "gantheng" Cantik" dengan sex appeal yang tinggi. Issue misogyny ini isu global. Di negara negara maju pun Seperti Amerika & Australia, masih banyak kejadian yang memunculkan sisi sensualitas dalam rana public. Negeri kita yang mengklaim sebagai negeri yang "berkeTuhanan Yang Maha Esa" saja seringkali lebih senang bila ada materi atau konten yang yang "menjurus". Kampanye yang terus menerus, guna membangun kesetaraan gender tanpa memunculkan sisi sensualitas guna membangun respek bersama bisa menjadi kunci. Iklan layanan masyarakat dan meme postingan selama masa pandemic ini juga banyak berubah, saya kurang tahu apakah ini karena kesadaran kira sudah membaik terkait issue mysagony ini atau karena kita memunculkan sisi "kemanusiaan".

Semoga dengan kesetaraan gender yang diawali oleh Kartini di negeri ini melalui tulisannya, kita bisa menjadi bangsa yang lebih baik dan beradab yang tidak mengumbar "kelamin" dan " sensualitas" baik dalam pikiran, ucapan dan tindakan kita. Selamat hari Kartini

Note: tulisan diatas adalah rekayasa semata, bila ada kesamaan nama dan kejadian memang itu dilandasi oleh kenangan yang indah bersama ka

Tulisan ini juga bisa diakses di https://www.facebook.com/fitrianto/posts/10157133910728365 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun