Mas bro, eh Ko, kalau hanya memindahkan orang dengan instrument kekuasaan sih gampang, sama kayak anak saya yang main tentara tentaraan, dimana tentara tentaraan mainan dia, bisa di pindah dari kolong meja menuju atas meja seolah olah biar ndak kesapu oleh mamaknya yang sedang membersihkan meja.
Menata dan memindahkan penduduk itu ya kudunya dipikirkan bagaimana agar livelihood nya tetep jalan.
Menyaksikan warga yang dipindahkan daribeberapa lokasi kumuh di jakarta ke rusun mengalami kesulitan untuk membayar uang sewa ini menjadikan miris hati. Kompas malahan menyebutkan sebanyak 6.516 penghuni atau 46 persen dari total 13.896 penghuni rumah susun pemerintah menunggak pembayaran sewa lebih dari tiga bulan. Banyak faktor Koh, dimana mereka menunggak, tapi kayaknya karena faktor penghidupan mereka terganggu, Koko coba lihat itu. Saya bukan menentang kebijakan koko untuk memindahkan mereka ke rusun atau ketempat yang dianggap layak, lha mbok yo o aspek agar akses ke pendapatan, akses ke natural resources juga diperhatikan. Lha kalau yang nunggak lebih dari 50% kayak gitu sampai kapan penerintah daerah bisa menahan ini? bagus juga sih bekerja sama dengan Badan Amil Zakat untuk mensupport itu tapi itu belum cukup
Ko, Melakukan penataan tanpa penistaan itu yang ndak semua bisa, memang sih yang paling gampang ya nguruk laut terus dikasih ke investor yang punya duit untuk membangunannya terus kalau udah jadi ditawarin ke orang orang kaya atau yang punya duit.
Tetapi kebijiakan itu apakah bisa menarik orang untuk datang kalau tanpa fasilitas? yo ora toh? kalau laut urugan tadi ndak ada fasilitas agar livelihood yang mbeli atau yang nyewa bisa berlangsung yo ndak akan laku tuh. Mangkanya disiapin sarana prasarana, kayak angkutan, dermaga, pasar, fasilitas kesehatan atau paling ndak menjadikan orang datang untuk berdagang.
Coba koko mau beli toko atau rumah apa yang jadi pertimbangan koko untuk memutuskan itu? lha pertimbangan pertimbangan itulah ko yang perlu dikaji dan di observasi sebelum "memaksa" warga pindah. Lha kalau rusun dibuatkan model kayak koko pertimbangakan dalam memilih Ruko atau toko atau rumah maka  maka pemiskinan dan penistaan komunitas karena "digusur" bisa dikurangi effeknya.
Ko, Saya jadi ingat nih cerita tentang monyet dan ikan di ngarai sungai. Kedua binatang ini saling bersahabat, pada suatu ketika terjadi musibah dimana ngarai sungai itu terjadi erosi dari hulu yang menjadikan ngarai itu meluap dan meluluh lantakkan sekitarnya.
Dari dahan pohon yang kokoh, si monyet melihat si ikan berenang menghindari dari batang batang dan bebatuan yang hanyut karena arus deras erosi. Kemudian si Monyet mengapai si ikan dan menaruhnya di tahan yang tinggi guna menyelamatkan si Ikan. Setelah beberapa lama, si ikan bukannya selamat, dia malah kejang kejang menjemput maut.
Dari cerita Monyet dan ikan ini kayaknya persis kayak cerita penataan daerah kumuh di Republik tercinta. Erosi dan banjir itu ibarat kemiskinan dan marginalan masyarakat. Sedangkan Ikan melambangkan masyarakat yang tidak berdaya. Sedangkan si Monyet melambangkan para pemegang kekuasaan.
Jadi kedepan harus memilih yang model mana untuk penataan?
Ko, aku ceritain cerita lain lagi ya, kali ini cerita dari Al Quran, tapi bukan Al Ma'idah 51 kog, gini suatu ketika ketika Rombongan Sulaiman melewati satu lembah dengan bala tentaranya, tiba tiba Sulaiman mendengar percakapan beberapa semut ke komunitasnya.
"Wahai pasukan semut segeralah dirimu bersembunyi, atau bala tentara Sulaiman akan menginjak nginjak dirimu baik sengaja maupun tidak sengaja!" kata raja semut disebuah lembah. Tertegun lah Nabiyullah Sulaiman begitu mendengar perkataan raja semut ini tadi.
"ah itu ma cuman dongen sebelum tidur" mungkin koko akan memotong cerita saya ini
tapi tunggu dulu, kalau kita bawa kerangka sosial, kira kira dialok Semut yang di dengar oleh nabi Sulaiman itu apa? iya itu cerita mewakili kelompok kecil masyarakat yang marginal dimana kelompok kecil marginal itu diwakili oleh segerombolan semut tadi.
Cerita Nabi Sulaiman dan lembah semut ini bisa banget ditamsilkan dan dibandingkan dengan proses "pengusuran" yang banyak terjadi dikota kota besar apalagi Jakarta, Pas banget Ko. Dimana posisi Nabi Sulaiman diibaratkan adalah posisi penguasa yang bisa berbuat apapun maunya dan segerombolan semut ini adalah sekelompok masyarakat Marjinal yang akan dikenakan "peruntukan" oleh para penguasa.
Memang acapkali proses penggusuran yang terjadi didemonstrasikan dengan posisi para penguasa yang cenderung tidak mendengar apa yang diinginkan oleh si "semut". Pembongkaran dilakukan tanpa pendekatan dan pemberian pengertian. Penggusuran tanpa adanya sentuhan humanistik. yang mana banyak dilakukan dengan telinga tertutup.
Terus ko, koko mau niru Sulaiman atau koko mau dengan jalannya sendiri?
Kalau mau meniru Sulaiman Ko, maka beliau itu  mendengar keluhan mencatat dan memperhatikan masukan dari orang kecil (si semut). Kemudian beliau memberi aba aba kepada bala tentaranya (aparatnya) agar berhati hati dan tidak gegabah dan beliau mengapresiasi suara dari kelompok semut. Sehingga semut tidak kocar kacir dengan bala tentara Sulaiman yang datang.
Selain memberi aba aba agar pasukannya untuk "memanusiakan" kelompok semut tadi, Nabi Sulaiman juga memanjatkan doa dan syukur atas karunia yang dimiliki karena diberi kemampuan untuk mendengarkan suara dari kelompok yang marjinal dan berterima kasih karena atas karunia yang diberikan kepadanya dan kepada orang tuanya dan memohon agar dikelompokkan menjadi orang orang yang Soleh.
Gitu Ko, semoga koko bisa meniru model nabi Sulaiman ini
Salam Dari Perth, 27 Oktober 2016
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/26/16190041/ribuan.penghuni.rusun.menunggak.sewa