Tak Ada Ruang Tersisa di Matamu
Tak ada ruang tersisa, yang terasing dan bersembunyi,
Bahkan melati tidak mekar pada bulan-bulan dimana tak tertunggui
Oleh serangga, seperti katak yang menanti bulan turun, mata yang selalu aniaya tiap kali,
Dibuka. kau bukan batu, meski
Setiap serpih pincing mataku mengkristal, dan kemilaunya susah dicerna kecuali dalam pertautan ini.
Tak ada yang tersisa urat tubuhku, bersembunyi
Di persegi delapan dari dua garis tegak lurus, yang sempurna di kagumi
Harapan itu, masadepan itu, yang kau tanam dan tumbuh kian hari,
Daun kepercayaan yang makin lebat tak terperi,
Juga ketergantunganku, saat aku melihat kau yang semakin besar bersembunyi
Dalam rimbun doa, dan aku menjadi pesakitan untuk membayar riba kasih yang terus berbunga, kini
Mataku telah terjerumus dalam segala lakmus yang membungkusmu tanpa kecuali
Tak ada rumah yang tegak berdiri, kecuali
Aku tanam mantra ini.
Rumah yang menyimpan rambu-rambu jalanan
Rumah yang menggelar peta-peta kota
Rumah yang menanam bunga-bunga pada halamannya
Adalah rumah yang tegak dengan keindahan.
Dan sungai-sungai tiada kering, karena para nelayang selalu berangkat kelaut lepas,
Sepanjang musim.
Mengabarkan pada benua lain
yang tak pernah tersentuh nelayan laju
Ini mataku yang aku congkel
adalah kesaksianku kepadamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H