Mohon tunggu...
Aradea Rofixs
Aradea Rofixs Mohon Tunggu... wiraswasta -

Aktifitas: wirasuasta : suka membaca. Suka berimajenasi. Penggiat sastra komunitas tangan bicara pekalongan. : wira usaha, suka seni. Kesenian, filsafat, puisi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pararaton vs Negarakertagama

4 Juni 2011   17:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:52 17669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kitab "Pararaton" atau kitab Pustaka Raja adalah sebuah kitab yang memuat tulisan tentang perjalanan Ken Arok dalam membangun kerajaan Singasari dan tentang silsilah Raja-raja selanjutnya termasuk Kertanegara yang diceritakan dalam kitab tersebut, dia dibunuh oleh Jayakatwang, Raja gelang-gelang -- keturunan Kertajaya Raja Kediri terakhir yang dibunuh oleh Ken Arok -- juga memuat silsilah Raja-raja Majapahit yang merupakan suksesi kepemimpinan lanjutannya dari Singasari. Tapi, Kitab ini ditulis pada tahun 1613 yang merupakan masa kerajaan Mataram islam; (perlu diketahui tahun 1613 adalah masa berahirnya kepemimpinan Raja kedua Mataram yang bernama Mas Jolang atau yang bergelar Hanyokrowati yang meninggal pada tahun itu ketika sedang berburu di hutan Krapyak. Makanya, ia disebut Pangeran Sedho ing Krapyak kemudian digantikan oleh anak ke 3 dari istr pertama yaitu Pangeran Martapura) artinya, bisa dikatakan kalau si-penulis kitab ini bukanlah si-pelaku sejarah yang sebenarnya. Meski disitu disebutkan dengan jelas jika Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit adalah masih keturunan Ken Arok dan Ken Dedes, dari Mahisa Wong Ateling yang merupakan putra kedua Kendedes --- karena putra pertama Kendedes yakni Anusapati adalah anaknya Ken Dedes dengan Tunggulametung. Sebab, Kendedes waktu dikawini Ken Arok masih hamil 3 bulan -- dan Mahisa Wong Ateling punya anak Mahisa Cempaka atau yang bergelar Narasinga. kemudian, Mahisa Cempaka mempunyai putra Dyah Lembu Tal yang merupakan ayahnya Raden Wijaya. Sedangkan Kertanegara sendiri Raja terakhir Singasari itu adalah anak dari Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana. Rangga wuni sendiri cucu Ken Dedes dan Tunggul Ametung, yang ayahnya Anusapati.
Sedangkan kemudian, tentang siapa penulis buku setebal 32 halaman dengan lebar halaman seukuran folio tersebut tidak begitu jelas.


Yang menjadi masalah adalah, Selama ini kitab tersebut sering dijadikan Referensi, rujukan mutlak bagi sebagian sejarawan ditanah air dalam mengajukan Stimulus tentang silsilah raja-raja Singasari sampai Majapahit. Lebih banyak di pakai daripada Negarakertagama. Sedangkan, kenyataannya banyak fakta yang tak ada dalam kitab Negarakertagama (yang lebih dekat dan terlibat dalam sejarahnya) tapi, dalam Pararaton justru ada. termasuk keberadaan penguasa ke 3 Singasari yaitu "Tohjaya" Raja yang diceritakan pernah mengkudeta Anusapati dan merencanakan pembunuhan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tohjaya, dalam pararaton diterangkan dia merupakan anak Ken Arok dari selir bernama Ken Umang.
Selain itu, jika ditelesik kembali bahwa isi tulisan dalam kitab tersebut -- terutama bab 1 -- pun banyak mengetengahkan unsur "fiksi" yang sedikit berbau mitologi. Agar lebih jelas akan saya kutipkan beberapa bait dalam bab 1 (dan agar lebih mudah, akan saya terjemahkan dalam bahasa indonesia):

"1.

Demikian inilah kisah Ken Arok asal mulanya ia dijadikan manusia: adalah ia (Ken Arok sebelum berrenkarnasi) anak seorang Janda dari Jiput. Bertingkah laku Jahat. Selalu menerjang nilai susila. Mengganggu kesetabilitasan Para Dewa di khayangan. Ia mengungsi dari Jiput ke daerah Bulalak, sebuah daerah yang dipimpin oleh Mpu Tapa Wangkeng yang waktu itu sedang membangun pintu Gapura (sebagai pintu pemujaan). Mpu Tapa Wangkeng bingung bukan kepalang ketika Para arwah penunggu pintu Gapura meminta sesaji Kambing merah yang Jantan.

"ini adalah hal yang sangat memusingkan. Karena kambing merah jantan tak lain adalah manusia dalam kiasan para roh. Sedangkan aku sudah tak ingin lagi berbuat dosa apalagi harus membunuh" kata Mpu dalam hati.

Kemudian datang lelaki dari Jiput yang jahat itu, ia berkata, kalau dia sanggup dijadikan korban yang dimaksud sang-Mpu tersebut agar hal tersebut menjadi sarana yang membuat ia bisa naik ke surganya Dewa Wisnu. Dan, kemudian dilahirkan kembali sebagai manusia yang mulia. Demikianlah permintaannya.

Maka Mpu Tapa Wangkeng pun merestui. Dan, dipanjatkan puja-puji supaya ia menikmati tujuh daerah sesudah kematian. Dan, selanjutnya ia pun dijadikan korban. Lalu, arwah lelaki itu terbang di surga wisnu dan menemui Bhatara Brahma. Menagih janji agar diturunkan kedunia didaerah seputar Kawi. Bhatara Brahma pun berputar mencari tempat yang tepat untuk meletakkan benih tersebut.

Sampai, Tersebutlah sepasang pengantin baru yang kesehariannya sebagai petani lelakinya bernama Gajahpara dan perempuannya Ken Endok. Mereka tinggal di desa pangkur. Bhatara Brahma pun menemui ken Endok di ladang leletan dan menitipkan benih tersebut.

"Wahai wanita bestari kutitipkan kepadamu benih dari keturunan manusia. Dan, berjanjilah padaku jangan sampai benih ini, nanti bercampur dengan benih milik suamimu. Dan jika hal itu terjadi niscaya lelakimu akan binasa. Kelak benih ini bernama Ken Arok yang akan menjadi Raja besar penguasa tanah Jawa."."


Membaca kutipan naskah diatas, tentu yang tercerna dalam pikiran kita adalah justru sebuah "Mitologi" yang notabene adalah "Fiksi" belaka -- yang tentunya mengandung unsur rekayasa. Entah itu berupa pesan apa yang akan disampaikan sang penulisnya. Apakah pesan moral seperti kebanyakan kitab-kitab Hindu-Bhuda yang menyiratkan pelajaran tentang kebatinan yang sakral selayak kitab Bagawangita atau Gatotkaca Sraya. Atau, cuma rekaan semata. Yang tak ubahnya sebuah "bumbu" agar cerita menjadi seru seperti novel. Karena, jika menskripkan Hindu-Bhuda pun masalahnya pada tahun itu 1613m-red adalah tahun kebangkitan Islam ditanah Jawa pada umumnya. Dan, Khususnya jawa tengah dan Jawa timur. Sedangkan, jauh pada tahun sebelum itu, sudah pernah muncul kitab yang isinya tak jauh beda dari kitab pararaton yakni kitab Negarakertagama yang bertahunkan 1365 yang baik bahasa ataupun teks-nya begitu halus dan hati-hati. Dimana penulisnya sangat jelas, adalah Mpu Prapanca yang merupakan pelaku sejarah langsung. Mpu Prapanca merupakan pujagga kraton yang hidup dimasa Hayamwuruk. kitab Negarakertagama ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Belanda JLA Brandes pada tahun 1894 -- ia menemukan kitap tersebut ketika membantu expedisi penyerangan di Kerajaan Lombok. Kitab tersebut terdiri dari 98 pupuh dimana dalam pupuh 40 sampai 49 juga banyak menerangkan silsilah Raja-raja kerajaan Singasari yang merupakan nenek moyang Raja-raja Majapahit juga tentang silsilah Raja-raja majapahit sendiri. Namun, tak dapat disangkal jika kitab ini lebih menjadi "berbeda" dari yang tertulis di Kitab Pararaton -- disinilah kemudian timbul dugaan praktis atau Sepikulasi para Sejarawan -- karena, jika dalam Negarakertagama lebih condong "meng-istimewa-kan" Raja-raja sebelum Raden wijaya dan Kendedes yang merupakan Wanita suci, leluhurnya. Mungkin, karena sang penulis adalah pujangga kraton jadi sedikit banyak mendapat tekanan atau interfensi, baik interfensi yang bersifat moralis ata iterfensi yang sebenarnya. Paling tidak kitab tersebut sebagai persembahan buat Hayamwuruk buat leluhurnya.

akan tetapi, jika dilihat selisih tahun yang jarak rentang waktunya sampai 248-an tahun antara Negarakertagama dan kitab Pararaton. jelas di Pararaton banyak penyimpangan sejarah yang perlu diragukan. Karena 248 tahun itu sama artinya dengan 5 generasi. Itu pun jika dihitung dari kitabnya tapi jika dihitung dari Ken Arok yang menjadi Raja yakni th 1222 artinya tenggang 391 tahun tentu akan timbul presepsi lain yang artinya cerita itu lebih remang-remang dari cerita sesungguhnya jika dibanding Negarakertagama. Atau bisa juga diduga, Pararaton selayaknya rasa ketidak puasan dari naskah Negarakertagama. Makanya disini dalam susunan Raja-raja Singasari antara Pararaton versus Negarakertagama pun banyak perbedaan. Disini Raja ketiga Panji Toh Jaya yang "ada" tertuang dalam pararaton namun di Negarakertagama tidak ada nama Tohjaya.


Setelah Menimbang akan kelemahan-kelemahan di atas. Saya berpendapat jika sesungguhnya Pararaton adalah sebuah Kakawin yang tak lurus akan tetapi lebih dibelokkan oleh kepentingan tertentu. Terutama kepentingan penulisnya sendiri yang hidup dalam keminoritasan sosialnya. Yakni pandangan keagamaan dan perlawanan "Hindu-Budha-" pada islam. Dengan kata lain kitab tersebut kurang valid jika dijadikan acuan untuk rujukan sejarah.

Karena mengingat : bahwa tahun 1613 adalah tahun kebangkitan islam di Jawa -- diwaktu itu adalah gerakan era paska perang dingi para wali songo dan kerajaan Hindu Budha -- bisa dibilang Hindu-Budha adalah menjadi kaum minoritas.

(catatan sumber: lengkap ada pada penulis, kecuali untuk alasan tertentu penulis akan bersedia dimintai sumber referensi-nya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun