Capres dan Presiden Makan Siang di Istana, Kamu Makan Apa?
ParaJAKARTA, -Para capres dan Presiden diberitakan makan siang bersama di istana, di bawah siang Jakarta yang terik. Aku menyimak di televisi. "Mereka tengah asyik makan siang", ujar presenter memberitakan, sambil bisik-bisik.Â
Dan aku pun tertawa, terkekeh kekeh. Negeri ini lucu lucu orangnya, kataku pada diri sendiri. Jika kamu berpikir waras, mana ada siang bisa dimakan?
"Mereka makan siang, berdiplomasi di meja makan, berbincang tentang menu dan santapan siang yang terhidang, bisa dibagi dalam piring masing-masing. Tidak perlu berebutan, toh semua sudah tersaji, tinggal diciduk bersama dan disantap, apa repotnya?", ujar seorang wartawan kepada awak media lainnya yang mengerumun di luar pintu istana, di siang yang terik itu.
Makanan siang sudah terhidang, para capres dan presiden membagi, menciduk porsi dalam piring sendiri sendiri. Dengan sedikit malu malu, tentu.
"Yang penting rukun, jangan gontok gontokan, makanan sudah tersaji, bukankah kita sendiri di meja ini yang kelak menikmati?", mungkin itu, pesan simbolik yang hendak presiden katakan kepada para capres di meja makan istana itu. Aku menyimak di televisi.
Sementara di luar istana, mereka wartawan telah menunggu, berita apa yang keluar dari sebuah acara makan siang? Tanya wartawan satu sama lain.
Dan tiga capres itu akhirnya tiba, keluar dari istana, berwajah sumringah dan perut kenyang. Para wartawan yang mencegat mereka di pintu istana memberondong mereka dengan pertanyaan:
"Apa menu makan siangnya pak? Apa yang dibicarakan presiden di meja makan pak?"
"Apa ada kesepakatan bersama pak? Apa bapak yakin presiden bersikap netral pak? Apakah komitmen presiden bisa dipegang soal netralitas di pemilu itu pak?"
"Bukankah bapak presiden kita, akhir akhir ini, sikap politiknya, mirip emak emak pakai motor reting kanan belok kiri pak? Bapak bapak masih yakin presiden netral dan tidak memihak pada putranya sendiri yang ikut jadi cawapres pak?"
"Tindakan netralitas presiden itu apa sudah tertulis di kertas yang bapak bertiga tandatangani sebagai komitmen bersama pak?"
"Apa bapak bapak menikmati makan siang ini pak? apa menu makan siang bersama presiden, pak? Karedok, orek tempe, oseng kangkung, sambal terasi, wader iwak kalen, dan gado gado ada tidak pak?".
"Nasi goyeng dan es jiyuk, ada tidak pak?"Â sergah seorang wartawati yang pelafalan lidahnya agak cedal.Â
Para wartawan terus memberondong ketiga capres dengan berbagai pertanyaan. Dan ketiga capres itu pun terkekeh kekeh di hadapan kerumunan wartawan itu. Lalu mereka pergi berlalu.
***
Hari mulai meninggi, panas terik mencubit kulit. Seseorang bukan wartawan, melainkan kawanku sesama profesi buruh pacul, namanya pak engkong Felix buruh tani sawah sebelah, datang kepadaku yang asyik menonton televisi:
"Mereka makan siang bersama di dalam istana, lha kamu makan apa?", tanya orang tua seniorku itu.
"Aku makan nasi, sepotong ikan dan sayur lodeh. Bukan makan siang. Emang siang bisa dimakan? Omong kosong itu. Lha, kamu makan apa?", jawabku sambil balik bertanya.
"Aku masih seperti dulu, setiap menjelang pemilu, sebagai rakyat dan buruh pacul, aku makan angin dan janji janji politik", jawabnya nyengir, sambil ngeluyur pergi.
"Mari kita pacul. Mangkat kerjo, dab", ujarnya lagi. Suaranya menjauh, di luar rumah. Dan aku pun spontan ngekek, terkekeh kekeh. Orang orang di negeriku, memang lucu lucu. Batinku.
Aku mematikan televisi. Lalu pergi macul, menyusul engkong Felix, menggarap sawah milik juragan tanah desa sebelah. Â
Jakarta, 1/11/2023
(Event KPB Pilpres 2024)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H