"Tindakan netralitas presiden itu apa sudah tertulis di kertas yang bapak bertiga tandatangani sebagai komitmen bersama pak?"
"Apa bapak bapak menikmati makan siang ini pak? apa menu makan siang bersama presiden, pak? Karedok, orek tempe, oseng kangkung, sambal terasi, wader iwak kalen, dan gado gado ada tidak pak?".
"Nasi goyeng dan es jiyuk, ada tidak pak?"Â sergah seorang wartawati yang pelafalan lidahnya agak cedal.Â
Para wartawan terus memberondong ketiga capres dengan berbagai pertanyaan. Dan ketiga capres itu pun terkekeh kekeh di hadapan kerumunan wartawan itu. Lalu mereka pergi berlalu.
***
Hari mulai meninggi, panas terik mencubit kulit. Seseorang bukan wartawan, melainkan kawanku sesama profesi buruh pacul, namanya pak engkong Felix buruh tani sawah sebelah, datang kepadaku yang asyik menonton televisi:
"Mereka makan siang bersama di dalam istana, lha kamu makan apa?", tanya orang tua seniorku itu.
"Aku makan nasi, sepotong ikan dan sayur lodeh. Bukan makan siang. Emang siang bisa dimakan? Omong kosong itu. Lha, kamu makan apa?", jawabku sambil balik bertanya.
"Aku masih seperti dulu, setiap menjelang pemilu, sebagai rakyat dan buruh pacul, aku makan angin dan janji janji politik", jawabnya nyengir, sambil ngeluyur pergi.
"Mari kita pacul. Mangkat kerjo, dab", ujarnya lagi. Suaranya menjauh, di luar rumah. Dan aku pun spontan ngekek, terkekeh kekeh. Orang orang di negeriku, memang lucu lucu. Batinku.
Aku mematikan televisi. Lalu pergi macul, menyusul engkong Felix, menggarap sawah milik juragan tanah desa sebelah. Â
Jakarta, 1/11/2023