Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salah Kaprah Anak-Anak Presiden, Anak Pejabat, Mengejar Ketertinggalan

28 Oktober 2023   00:48 Diperbarui: 28 Oktober 2023   08:25 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi salah kaprah anak anak presiden, anak pejabat, anak bupat, dan anak artis (sumber image: freepik.com) 

Salah Kaprah Anak-Anak Presiden, Anak Pejabat, Mengejar Ketertinggalan

JAKARTA, -Salah kaprah adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesalahan dalam pemahaman atau penafsiran keliru suatu hal, konsep, atau informasi.

Dalam konteks ini, "kaprah" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "umum". Dengan demikian, "salah kaprah" merujuk pada pemahaman atau tafsiran yang keliru atau tidak tepat terhadap suatu hal, dan itu dilakukan secara umum. 

Dalam bahasa Jawa dikenal dengan "Rurabasa"atau bahasa yang rusak. contohnya: "nggodog wedang" artinya merebus minuman, dan "menek klapa"artinya memanjat kelapa. 

Kedua istilah itu keliru, harusnya yang benar "nggodok banyu"(merebus air) dan "menek wit klapa"(memanjat pohon kelapa). Salah kaprah atau rurabasa juga terjadi di bahasa Indonesia. 

Dan salah kaprah bisa terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang-bidang seperti agama, budaya, ilmu pengetahuan, atau masalah sosial. 

Ini bisa muncul ketika seseorang salah mengerti ajaran agama, memiliki stereotip yang salah tentang kelompok tertentu, atau memiliki pengetahuan yang tidak benar tentang suatu topik.

Untuk menghindari kesalahan kaprah, penting untuk mencari pemahaman yang benar, berbasis logika yang tepat, dan berusaha memperoleh pengetahuan yang akurat, serta bersikap terbuka terhadap pembelajaran dan perbaikan konsep atau pandangan yang salah atau keliru itu.

Pertanyaannya: apakah salah kaprah merupakan bentuk sesat pikir? apa implikasi sosial dari penggunaan salah kaprah ini bagi kehidupan bermasyarakat? Ulasan ini membahas soal ini. Semoga ulasan ini bermanfaat. Mari kita kupas lebih dalam.

Salah Kaprah dalam Berbagai Bidang Kehidupan

Berikut adalah beberapa contoh kalimat yang mencerminkan "salah kaprah" atau pemahaman yang keliru tentang suatu konsep atau informasi:

Salah Kaprah tentang Kesehatan: "Makanan cepat saji adalah pilihan makanan sehat karena mereka cepat dan praktis." (Faktanya, makanan cepat saji seringkali rendah gizi dan dapat berdampak buruk pada kesehatan jika dikonsumsi secara berlebihan.)

Salah Kaprah dalam Mitos: "Menyentuh katak akan membuat tanganmu beracun." (Ini adalah mitos yang salah kaprah. Menyentuh katak biasanya tidak membuat tanganmu beracun.)

Salah Kaprah dalam Ilmu Pengetahuan: "Bumi itu datar dan stasioner." (Ini adalah pandangan yang telah dibuktikan salah dalam ilmu bumi. Bumi adalah planet yang bulat dan berotasi.)

Salah Kaprah dalam Sejarah: "Christopher Columbus adalah orang pertama yang menemukan Amerika." (Faktanya, banyak orang telah tinggal di Amerika sebelum kedatangan Columbus, dan bangsa Viking, seperti Leif Erikson, tiba di Amerika Utara sebelumnya.)

Salah Kaprah tentang Hukum: "Orang dapat ditangkap hanya karena mereka terlihat mencurigakan." (Ini adalah pemahaman yang keliru tentang hukum. Tangkapan harus didasarkan pada bukti yang jelas.)

Salah Kaprah dalam Keseharian: "Memotong rambut selama hamil akan merusak bayi." (Ini adalah kepercayaan yang salah kaprah, tidak logis, tanpa dasar ilmiah yang kuat.)

Salah Kaprah dalam Jabatan Publik: "anak presiden", "anak pejabat", "anak petani", "anak artis", "anak pak lurah", "anak gubernur", "anak bupati", "anak menteri". (faktanya, jabatan publik dan profesi tidak beranak pinak secara biologis. Ini adalah bentuk salah kaprah atau keliru).

Perhatikan bahwa contoh-contoh di atas adalah pemahaman yang salah kaprah yang harus dihindari. Penting untuk mencari informasi yang akurat dan terpercaya serta berusaha untuk menghindari penyebaran pemahaman yang keliru atau stereotip yang tidak benar. 

Mengapa demikian? Sebab pemakaian diksi yang salah kaprah dan berlebihan merupakan bentuk sesat pikir atau sesat logika berpikir dari orang orang yang memakai berbagai istilah salah kaprah itu.

Mengapa Disebut Sesat Pikir?

Penggunaan salah kaprah dalam berpikir dapat merupakan bentuk kesalahan berpikir atau sesat pikir, terutama jika seseorang secara sengaja atau keliru menggunakan informasi yang tidak benar atau pemahaman yang salah itu untuk merumuskan argumentasi atau pendapatnya.

Artinya, sesat pikir adalah bentuk berpikir yang mengarah pada kesimpulan yang tidak akurat atau tidak logis.

Sesat pikir seringkali dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, seperti pemikiran sirkuler, generalisasi berlebihan, pemilihan fakta, bias kognitif, atau argumentasi yang lemah.

Nah, salah kaprah adalah salah satu jenis sesat pikir yang terjadi ketika seseorang menggunakan informasi yang tidak benar atau pemahaman yang keliru untuk membenarkan atau mendukung suatu argumen atau tindakan.

Contohnya: "kita sebagai bangsa harus mampu mengejar ketertinggalan dari bangsa  bangsa lain", ujar politisi itu heroik di atas panggung. 

("mengejar ketertinggalan"adalah bentuk salah kaprah, dan sesat pikir. Ini kekeliruan logika. Sebab jika ketertinggalan yang dikejar, justru akan membuat bangsa kita terperosok, bukan malah bertambah maju).

Maka, menurut penulis, penting terutama bagi para pejabat, politisi, tokoh masyarakat, untuk mengenali kesalahan berpikir, termasuk salah kaprah, dan berusaha untuk menghindarinya dalam berpikir kritis dan pemahaman yang akurat, agar tidak sesat pikir. Tidak sesat logika. 

Caranya, dengan memeriksa sumber informasi, mengevaluasi argumen, dan berusaha untuk memiliki dasar yang kuat dalam berpikir dan berbicara dapat membantu mencegah sesat pikir dan kesalahan berpikir dalam kehidupan sehari-hari.

Implikasi Sosial bagai Masyarakat

Lebih khusus lagi, apakah pemakaian istilah "anak pejabat", "anak artis", "anak presiden", "anak Menteri", "mengejar ketertinggalan", dan sejenis itu misalnya, memberi dampak implikasi sosial bagi kehidupan, norma dan tatanan masyarakat? Jawaban saya: iya!

Penjelasan saya begini. Istilah "anak pejabat", "anak artis", "anak presiden", "anak menteri" ,"anak bupati," dan sejenisnya seringkali digunakan untuk merujuk kepada anak-anak individu yang memiliki kedudukan atau status sosial yang tinggi atau berpengaruh dalam masyarakat.

Penggunaan istilah ini dapat memiliki dampak implikasi sosial yang signifikan tergantung pada cara istilah ini digunakan dan diinterpretasikan oleh masyarakat. Beberapa dampak dan implikasi sosial itu, antara lain:

Dampak Privilese dan Hak Istimewa: Anak-anak pejabat atau tokoh terkenal seringkali dianggap memiliki hak istimewa atau keuntungan dalam kehidupan, seperti akses ke pendidikan yang lebih baik, pekerjaan, atau kesempatan sosial. Ini dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Dan memicu kecemburuan sosial.

Dampak Stereotip dan Prasangka: Penggunaan istilah seperti "anak pejabat", "anak presiden" atau "anak artis" dapat menciptakan stereotip atau prasangka terhadap individu tersebut, baik positif maupun negatif. Contoh, misalnya "Gibran itu anak presiden". "ibu Iriana itu istri presiden". 

(Ini salah kaprah dan sesat pikir, sebab presiden adalah jabatan publik hasil proses pemilu yang tidak beristri dan tidak beranak. Yang benar adalah "Gibran putra pak Jokowi" dan "Ibu Iriana adalah istri pak Jokowi").

Ini dapat memengaruhi cara masyarakat mempersepsikan mereka dan mengarah pada prasangka sosial yang tidak akurat.

Dampak Kontroversi dan Perdebatan: Terkadang, keterlibatan anak-anak pejabat atau tokoh terkenal dalam kebijakan publik atau kehidupan politik dapat menciptakan kontroversi atau perdebatan. Masyarakat bisa mempertanyakan: apakah mereka mendapatkan perlakuan khusus atau keadilan yang adil seperti warga negara umum lainnya?.

Dampak Pendidikan dan Karir: Anak-anak pejabat atau tokoh terkenal seringkali memiliki akses yang lebih besar ke pendidikan berkualitas tinggi dan pekerjaan yang baik. Hal ini dapat memengaruhi peluang pendidikan dan karir bagi mereka, anak anak rakyat jelata yang kurang beruntung.

Dampak Tanggung Jawab Sosial: Anak-anak pejabat atau tokoh terkenal seringkali memiliki tanggung jawab sosial untuk mendukung masyarakat dan menjalankan tugas-tugas tertentu. Ini dapat memengaruhi tindakan dan pilihan mereka dalam kehidupan publik. 

Contohnya, ada kalanya anak anak pejabat itu bertindak semaunya di ruang publik dan memberi contoh sikap yang kurang terpuji. Namun ada pula sebagian anak lainnya yang mudah untuk berbagi rejeki dengan orang lain, beretika dan rendah hati.

Maka penting dicatat bahwa penggunaan istilah salah kaprah seperti ini bisa memiliki dampak yang berbeda tergantung pada situasi dan bagaimana anak anak atau individu-individu tersebut menjalani kehidupan mereka di tengah masyarakat.  

Bagi beberapa individu, itu mungkin merupakan beban atau ekspektasi yang tinggi, sedangkan bagi yang lain, itu mungkin memberikan peluang, keuntungan atau "Aji Mumpung". Contohnya: "mumpung bapakku menjabat presiden, aku mencalonkan diri jadi wapres saja", itu aji mumpung.

Bagi masyarakat, penting untuk mempertimbangkan implikasi sosial dan moral dari cara pemakaian istilah berbagai salah kaprah seperti di atas. Agar semata mata digunakan dan untuk mempromosikan prinsip-prinsip kesetaraan dan tidak mencederai keadilan sosial masyarakat.

Pendeknya, penting dicatat bahwa istilah "anak pejabat", "anak presiden", "anak artis", "anak bupati" dan sejenisnya dapat memiliki dampak sosial yang signifikan dalam masyarakat, menciptakan priviledge, stereotip, kontroversi, dan dampak lainnya.

Penggunaan istilah ini, sekali lagi, perlu dipertimbangkan dengan cermat untuk mempromosikan kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan sosial dan masyarakat, yang adil, beretika dan beradab. Sesuai nilai nilai Pancasila. Iya tidak?

SELESAI -penulis adalah pemerhati budaya sosial kemasyarakatan, tinggal di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun