Seorang tetua desa kami mengawali dengan doa bersama. Lalu pidato singkat, saya maju ke depan dengan inti pesan singkat: "mari menikmati hasil bumi kita sendiri, dan merawat serta menanam segala tanaman, terutama umbi umbian, selain padi, di kebun dan pekarangan rumah sendiri". Hanya itu. Tetapi warga senang dan bertepuk tangan.
Acara disambung pentas kesenian calung oleh beberapa kelompok yang bergantian tampil, dan berlangsung meriah. Di ujung kesenian, dan ini yang ditunggu oleh warga, yaitu saat saya memberi aba-aba agar semua boleh segera mengambil apasaja yang tersaji dalam rupa gunungan tumpeng bahan pangan itu.
Berebut Tumpeng Makanan
Maka semua yang hadir maju berebutan, mengambil apa saja, seperti: pete, singkong, talas, sayuran, padi, dan apa saja, hingga gunungan "Sedekah Bumi" itu ludes tak bersisa. Semua orang senang dan gembira.
Keseruan ini belum usai. Kegiatan "Sedekah Bumi" ini akhirnya kami sudahi dengan acara makan bersama, dengan cara menghabiskan makanan hasil olahan para ibu dan emak emak di dapur yang disajikan di atas lembaran daun pisang diatur secara memanjang. Kami memakan makanan dengan cara duduk lesehan.
Nasi yang kami santap adalah nasi liwet, dengan lauk ikan nila  goreng, ayam goreng, ikan asin, sambal ijo, dan aneka lalapan khas masakan Sunda. Duh asyiknya makan bersama sama bersama petani, kawan sendiri. Setidaknya, itu yang saya rasakan pada waktu itu.
Begitulah kisah "Sedekah Bumi" ini, sebuah kegiatan lokal sederhana yang kami rayakan untuk memperingati hari pangan sedunia. Seru, asyik dan mengesankan, bukan?
SELESAI, -penulis adalah pendamping petani di sebuah desa, dan founder dari Desa Rumah Tempa Komunitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H