BALI,- Debur ombak dan kerisik angin membawa buih bercampur pasir melandai di bibir pantai. Kami baru saja mendarat ke pulau yang sangat terkenal di Bali, Nusa Penida, memakai speed boat dari Pelabuhan Sanur di Bali.
Tampak kapal feri, dan beberapa perahu lain, termasuk speed boad berlalu lalang pergi dan datang, membawa turis dan wisatawan berkunjung  ke pulau yang elok rupawan ini.Â
Waktu tempuh rerata dari Pelabuhan Sanur Bali ke pulau ini, sekitar 30-45 menit, tergantung cuaca, gelombang dan kecepatan perahu yang kita tumpangi.
Pulau Nusa Penida, yang terletak di sebelah tenggara Bali ini, memang terkenal sabagai tujuan wisata yang populer di Bali. Beberapa lokasi wisata terkenal itu, seperti misalnya:
Pantai Kelingking (Kelingking Beach): Salah satu pantai paling ikonik di Nusa Penida dengan pemandangan tebing berbentuk kepala hewan purba yang menakjubkan. Pantai Crystal Bay: Pantai ini terkenal karena airnya yang jernih dan keindahan bawah laut yang cocok untuk snorkeling dan menyelam.
Pantai Broken Beach:Â Tempat ini terkenal dengan formasi alam yang unik, yaitu sebuah batu kapal yang terjebak di dalam tebing.Â
Pantai Angel's Billabong: Terletak dekat dengan Broken Beach, pantai ini memiliki kolam alami yang terbentuk oleh arus laut, dan merupakan tempat yang populer untuk berenang. Goa Giri Putri: Goa ini adalah kompleks gua besar yang digunakan untuk upacara keagamaan dan memiliki kuil di dalamnya.
Tanjung Klingking (Klingking Point): Lokasi ini adalah puncak tebing yang menawarkan pemandangan luar biasa dan menjadi tempat yang bagus untuk berfoto.Â
Air Terjun Peguyangan:Â Terdapat beberapa air terjun di Pulau Nusa Penida, salah satunya adalah Peguyangan yang memiliki tangga curam untuk mencapai air terjun.
Pulau Seribu (Thousand Islands Viewpoint):Â Tempat ini adalah titik puncak yang menawarkan pemandangan indah dari atas dan banyak spot foto yang menarik. Pura Goa Giri Putri:Â Kuil ini terletak di dalam goa dan merupakan salah satu kuil Hindu terpenting di Pulau Nusa Penida.
Desa Tembeling: Desa ini terkenal dengan hutan alami, air terjun, dan kolam renang alami yang menawan. Desa Atuh: Terletak di tepi laut, desa ini menawarkan pemandangan indah dan pantai berpasir putih yang tenang.
Dan masih banyak tempat lain lagi yang patut dijajal untuk dikunjungi di kawasan pulau Nusa Penida ini.
Akan tetapi, sayang sekali, khusus kedatangan kami kali ini, bukan bertujuan berwisata ke tempat unik, elok dan menawan itu. Maksud kedatangan kami crew film ke pulau ini adalah satu tujuan: membuat film semi dokumenter. Benarkah? Iya. Â
Kami datang berlima sebagai crew pembuat film semi dokumenter yang khusus mengangkat tema kehidupan warga desa yang hidup sederhana (baca: desa miskin) yang lokasinya di tengah pulau Nusa Penida, jauh dari hiruk pikuk dan kehidupan mewah dunia pariwisata Bali.
Memang ada ya kehidupan warga desa seperti itu di Nusa Penida? Ada. Setidaknya itu seturut apa yang penulis jumpai ketika berkegiatan di desa di pedalaman Nusa Penida ini.
Ulasan ini tentang lika liku bagaimana kami membuat film semi dokumenter di tengah pulau ini.
Film Semi Dokumenter Bukan Film Dokumenter
Oiya, mungkin sebaiknya saya paparkan apa itu film semi dokumenter lebih dahulu. Â Soalnya, mungkin ada yang bertanya, apa sih film semi dokumenter? Apa bedanya dengan film dokumenter? Bagaimana proses produksinya?
Film semi dokumenter adalah jenis film yang menggabungkan elemen-elemen dokumenter dan fiksi dalam satu karya. Dalam film ini, sebagian besar konten didasarkan pada fakta-fakta dan kejadian nyata, mirip film dokumenter.
Namun, ada juga unsur-unsur fiksi yang ditambahkan untuk mendramatisasi atau memperkuat cerita. Misalnya, kami menambahkan efek visual tertentu, musik background dan narasi yang ringan, termasuk wawancara narasumber yang kami setting sedemikian agar sesuai skrip film yang kami buat.
Sedangkan di film dokumenter lebih fokus pada visual yang alami, dan audio yang natural, tanpa unsur tambahan lain seperti dalam film semi dokumenter.
Oiya, Film semi dokumenter yang kami garap ini adalah khusus untuk program televisi siaran di Jakarta. Jadi bukan dibuat atau ditonton untuk layar lebar. Di dunia televisi, jenis film semi dokumenter dikenal dengan sebutan program feature televisi.
Beberapa kali penulis memang terlibat pembuatan film semi dokumenter atau feature untuk program televisi swasta nasional di Jakarta. Sehingga pembuatan film semi dokumenter di Nusa Penida ini adalah dalam bayangan saya, mudah untuk dikerjakan, terutama jika melibatkan tim crew yang telah berpengalaman.
Oiya, lebih dalam lagi, contoh program semi dokumenter atau feature program televisi, sering kita temukan pada tayangan televisi bertema eksplorasi alam, wisata, travel story, kuliner, kehidupan tokoh dan masyarakat tertentu, dan sebagainya, yang dikemas dalam format untuk hiburan, pendidikan dan pengetahuan umum bagi pemirsa.
Unsur narasinya ringan, memakai host atau presenter dan ilustrasi musik serta efek visual tertentu. Dan itulah ciri khas dari program film semi dokumenter atau program feature televisi ini.
Apa Bedanya dengan Film Dokumenter?
Sedangkah program film dokomenter menggambarkan kenyataan sebenarnya, berbasis narasi atas fakta dan data, lebih menonjolkan unsur alami, baik dari sisi pengambilan gambar dan suara, tanpa menonjolkan efek visual atau musik tertentu.
Contoh program film dokumenter, sering kita temukan di banyak program televisi yang tayang di National Geographic channel, BBC channel dan Discovery Channel.
Tujuan film dokumenter umumnya adalah untuk pengetahuan mendalam bagi pemirsa, berdasar riset yang serius, tentang suatu topik atau subjek tertentu, misalnya: tentang sejarah, budaya, eksplorasi bencana alam, eksplorasi kehidupan hewan bawah laut, jelajah kehidupan di pedalaman hutan belantara, dan sebagainya.Â
Termasuk film dokumenter yang belakangan sempat viral dan tayang di Netflix, yaitu film dokumenter "kasus kopi sianida"yang terkenal itu.
Nah, sekali lagi, jadi jelas ya bahwa film semi dokumenter yang kami kerjakan di pulau Nusa Penida ini dibuat untuk program televisi, bukan untuk tayangan layar lebar.
Oiya, disclaimer dulu ya:Â penulis sengaja tidak menyebut Stasiun televisi swasta dimana penulis bekerja. Hal ini untuk menjaga privasi pihak televisi bersangkutan, dan privasi crew dan pihak lain.
Nama desa lokasi shooting dan narasumber, termasuk nama crew yang terlibat, sebaiknya juga demikian, tidak saya katakan, untuk pertimbangan privasi yang bersangkutan.
Maka ulasan ini sekadar sharing tentang bagaimana proses produksi pembuatan film semi dokumenter untuk program televisi, termasuk lika liku proses produksinya, khususnya saat shooting di pulau Nusa Penida Bali.
Melibatkan Crew ProfesionalÂ
Pembuatan film semi dokumenter ini melibatkan tim crew televisi yang profesional. Antara lain: 1 produser, 1 PD atau sutradara, 1 script writer, 1 presenter, 2 kamerawan, 1 editor. Di tim crew produksi film semi dokumenter di Nusa Penida ini, penulis bertindak sebagai PD atau sutradara. Keren kan? Yo mestilah. Hihihi.
Peralatan teknis yang kami bawa terutama perlengkapan 2 set kamera ENG, tripod, peralatan audio, dan lighting berstandar peralatan shooting televisi siaran. Presenter menyiapkan hal soal tata rias dan busana. Sebab kami tidak membawa perias khusus dan penata busana khusus, saat di lokasi shooting.
Dan produser juga tidak turut ke lokasi shooting, cukup memantau kami dari studio pusat siaran di Jakarta. Hal ini tentu untuk pertimbangan efisiensi budget dan demi kerja tim yang ramping, solid, gesit, efektif dan optimal.
Persiapan di kantor Siaran TV di Jakarta
Kami tiba di Nusa Penida untuk tujuan pembuatan film ini, adalah satu tahapan dari suatu proses produksi yang sebelumnya telah kami persiapkan secara matang di Jakarta. Â Setidaknya ada tiga tahapan yang harus kami jalani, yaitu: tahap pra produksi, tahap produksi, dan tahap pasca produksi.
Nah, posisi kami hadir di Nusa Penida ini adalah praktik dari apa yang disebut: Tahap Produksi, atau proses shooting itu sendiri.
Artinya, tahap pra produksi atau tahap persiapan produksi telah kami lakukan secara matang di Jakarta lebih dulu. Prosesnya pra produksi apa saja?
Antara lain: riset awal, pembuatan scrip film, perizinan, pengajuan budgeting, pembentukan tim crew produksi, miting produksi, perencanaan perjalanan, pembuatan rundown perjalanan dan rundown selama di lokasi, koordinasi dan izin dari pihak berwenang di lokasi shooting, dan sebagainya.
Rumit dan melelahkan bukan? Iya rumit, tetapi mengasyikkan, sebab kami biasa melakukan pekerjaan dalam ritme padat kegiatan dan penuh tekanan waktu di dunia televisi siaran.
Setelah tahap pra produksi ini selesai, kami berlima dalam tim produksi film ini diterbangkan dari Jakarta ke Bali, dengan tujuan target utama lokasi shooting ini, yakni di sebuah desa di pedalaman pulau Nusa Penida.
Tentu kami menikmati setiap jeda dalam perjalanan ini, terutama menikmati kuiliner dan makanan khas daerah Bali, melihat suasana dan pesona pulau Bali yang khas.
Saya menganggap ini adalah program kerja sambil jalan jalan ke Bali, dibiayai oleh kantor. Demikian pikiran saya, nun kala itu. jadi mari kita nikmati suasana Bali. Menyenangken bukan? Ya iyalah. Hihihi.
Daerah Miskin Hidup dari Beternak Sapi
Akhirnya kami tiba di Nusa Penida, seperti saya kisahkan di awal tulisan ini. Rencananya kami shooting selama 3 hari 2 malam di pulau ini. Peralatan shoting dan perlengkapan pribadi kami berlima lumayan banyak, sementara tidak ada angkot di Nusa Penida.Â
Sementara perjalanan masih harus kami lakukan ke lokasi tujuan shooting ini, yaitu di tempat tengah pulau ini, sebuah desa terpencil. Bagaimana menuju ke lokasi shooting itu? Â
Sebagai PD atau pimpinan tim lapangan crew ini, saya akhirnya memutuskan menyewa angkutan milik warga setempat. Maka kami pun diangkut menuju lokasi, jarak tempuhnya sekitar 30 menit perjalanan dari pantai ke arah tengah pulau ini.
Pemandangan sekitar lebih banyak kebun warga yang kering, hutan kecil dan beberapa perkampungan warga yang sederhana. Kebetulan saat itu musim kemarau. Semua tampak gersang, kering dan kuning kecokelatan. Debu debu beterbangan. Panas nian kemarau ini!Â
Menginap di Homestay
Kami tiba di desa tujuan kami (namanya tidak saya sebutkan). Kami mampir dulu ke kecamatan dan diterima sangat baik oleh pak camat dan dinas terkait, sebab demikianlah prosedurnya, sesuai perijinan bahwa kami harus permisi dulu ke pemda setempatt, atau "pihak yang punya kawasan".
Sebagai basecamp kegiatan, kami memperoleh rumah Bali yang bersih dan eksotis di tempat itu, sesuai "arahan dari pusat" untuk menetap di rumah yang ternyata homestay milik warga.
Hari Pertama: Mengecek Lokasi
Didampingi aparat desa setempat, kami dibolehkan jalan jalan, mengambil gambar awal seperlunya, memperbaiki skrip sesuai kondisi lapangan, dan menyiapkan segalanya untuk shooting pada besok sehari penuh di desa ini. Termasuk berbincang dengan beberapa warga setempat.
Oiya, film semi dokomenter ini tentang kehidupan warga desa yang memakai biogas dari kotoran sapi, untuk kegiatan memasak sehari hari.Â
Film ini dimaksudkan untuk film edukasi dan hiburan, sekaligus promosi bagi desa desa lain di Indonesia, agar warga memanfaatkan biogas dari kotoran sapi.
Secara umum akhirnya saya tahu, bahwa tempat ini termasuk desa tertinggal. Sarana dan prasarana umum sangat minim, termasuk bangunan sekolah terbatas hingga SD dan SMP, belum ada sekolah SMA, nun di kala itu.
Sebagian besar warga hidup dari berkebun dan beternak sapi Bali dan sapi Madura, yang warna tubuh sapi sapi itu seperti cokelat Van Hoten. Tubuh mereka kurus, tinggal di kandang kandang sederhana.
Di samping setiap kandang sapi, peternak membuat penampungan kotoran sapi, dan diberi saluran khusus ke arah tabung reaktor plastik, tempat penampung gas bio kotoran sapi-sapi itu.
Uniknya, sebagaian besar warga desa memasak makanan di dapur yang sederhana, memakai tungku berbahan kayu bakar. Sebagian lainnya, memakai bahan bakar biogas, dari gas yang berasal dari tabung reaktor kotoran sapi, atau dari tabung plastik yang menggelembung di samping rumah warga. Â
Untuk keperluan satu rumah tangga, diperlukan satu kompor gas, yang pasokan gasnya berasal dari sedikitnya 4 ekor sapi warga setempat. Nyala api kompor gas memang biru, tetapi hasilnya tidak sekuat nyala api biru dari tabung gas 3 kg saat ini. Nyala api birunya relatif lemah, melambai lambai seperti nyala lilin tertiup angin. Hehehe.
Di desa itu, tak tersedia tabung LPG. Jadi bisa dibayangkan, betapa lamanya warga setiap hari memasak di dapur kompor biogas ini, bahkan misalnya hanya untuk menggoreng sepotong tahu atau tempe saja. Itu menurut pengamatan saya di lokasi desa ini.
Saya tidak mengeksplorasi kehidupan warga desa ini lebih dalam, misalnya bagaimana mereka mencukupi kebutuhan sehari hari, darimana pemasukan keuangan dalam kondisi umum seperti ini.
Sebab saya tahu, bahwa saya akan menjumpai kondisi yang lebih parah yang membuat hati saya terenyuh atau sedih. Sebab saya melihat itu semua langsung di depan mata, tetapi tidak mampu berbuat apa-apa di tempat itu. Ironis bukan?
Hari kedua: full shooting seharianÂ
Keesokan hari di hari kedua, proses shooting kami mulai, sesuai rencana shooting hasil survey kami di hari pertama di desa ini. Ini adalah tahap pengambilan gambar sebenarnya, sesuai skrip dan rundown lapangan yang kami susun kemarin.
Selepas sarapan pagi, tim kami bergerak ke lokasi. Sesuai skrip, ada beberapa titik lokasi shooting yang telah kami tentukan sebelumnya. Seperti misalnya: shooting di seputar kandang sapi, kegiatan peternak di pagi hari, wawancara warga tentang biogas, shooting di beberapa rumah warga terutama di dapur saat para ibu sedang memasak di dapur.
Termasuk shooting proses tahapan produksi kotoran sapi menjadi biogas, dan wawancara dengan pemuka desa setempat, serta wawancara dengan warga, dan sebagainya.
Jarak titik lokasi shooting satu dengan titik berikutnya memang tak berjauhan. Namun setiap perpindahan tempat shooting, kami harus membongkar peralatan, dan mensetting ulang.
Termasuk beberapa adegan baru harus disiapkan. Kendala kecil terjadi, misalnya presenter jijik ketika harus praktik mengaduk kotoran sapi dari tempat reaktor, di samping kandang sapi. Tetapi itu harus dilakukan.
Beberapa kali take ulang. Tetapi semuanya akhirnya sempurna kami selesaikan di hari kedua ini. Seluruh crew lega, karena sebagian besar konten sesuai skrip telah kami selesaikan. Tak terasa hari menjelang senja. Maka kami pulang ke basecamp, untuk beristirahat. Makan makann, komandan! Hehehe.
Hari Ketiga: Shooting di Pinggir PantaiÂ
Ini adalah hari terakhir kami di tempat ini. Tiket pesawat Bali-Jakarta telah dipesan untuk keberangkatan sore hari. Maka kami mengemas barang di pagi hari, berpamitan ke aparat desa dan kecamatan, lalu naik angkutan sewa milik warga, menuju ke arah Pelabuhan Nusa Penida.
Kondisi crew agak melemah. Mungkin kami terlampau memforsir diri selama seharian kemarin di lokasi shooting. Tetapi kami masih bersemangat, sebab shooting kami hampir selesai.
Ya shooting belum selesai. Ada beberapa adegan yang kami lakukan di tepi pantai Nusa Penida, sesuai skrip film.Â
Antara lain, adegan presenter On-Cam untuk menutup dan mengawali setiap segmen atau jeda dalam film. Dan beruntung, kegiatan ini tidak lama, dan berhasil kami rekam dengan baik. Kami lega, kami bungkus itu barang! Hihihi.
Ada sisa waktu beberapa jam, sebelum speed boad yang menjemput kami tiba di Pelabuhan ini. Kami harus berangkat pulang ke Pelabuhan Sanur, dilanjut ke bandara Ngurah Rai Bali, untuk kembali ke Jakarta sore ini.
Kesempatan inilah yang kami pakai untuk berwisata di seputar pantai. Saya mencatat bahwa pesona pulau Nusa Penida dari sisi pantai ini memang menakjubkan, indah, dan menawan. Berberda dan kontras dari kehidupan di desa pedalaman yang baru kami jelajahi selama 3 hari 2 malam.
Tetapi itulah kehidupan, ada senang ada susah, ada kaya ada miskin. Ada pantai ada pedalaman, memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri, saling mewarnai. Itu kesimpulan saya. Jadi asyik asyik saja, sama saja nikmatnya.
Pasca Produksi: Review dan Revisi
Tetiba di Jakarta, beberapa crew boleh pulang, tetapi saya sebagai PD tidak. Ada proses produdksi yang musti melibatkan PD bersama editor dan produser di ruang editing. Pasca Produksi, nama kegiatan ini.
Editor mengedit semua bahan hasil shooting kami sesuai panduan skrip. Dia menyisipkan beberapa musik dan efek visual, di antara beberapa rangkaian adegan.
Editor kami seorang yang piawai di bidangnya. Sesekali saya memberi masukan pada editor, dan berdiskusi dengan produser pada saat film mulai selesai dikerjakan oleh editor.
Pada bagian akhir proses pembuatan film semi dokumenter ini, kami tutup dengan mereview dan menonton ulang, bersama produser. Ada beberapa elemen yang musti dikoreksi. Tetapi akhirnya editor berhasil merevisi gambar.
Maka selesailah tugas saya dan tim dalam membuat film semi dokumenter ini. Makplong, lega rasanya.
Saya ingin pulang. Begitu pikir saya pada waktu itu, dan saya masih ingin kembali ke Nusa Penida, tempat yang mempesonaku di Bali itu. Begitulah kenanganku di Bali. Ya, mungkin kapan kapan aku kembali ke sana, Nusa Penida dan Bali.. Sudah ya, salam Bali, Salam satu aspal!
SELESAI - penulis adalah broadcaster, praktisi televisi siaran swasta di Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H