Sepiring Janji Politik Secangkir Kopi, Sarapan untuk Pagi
Pagi baru saja bangun, setelah menyudahi mimpi tentang malam yang panjang, Pagi bersemangat melihat sepiring janji politik hangat, telah tersaji rupanya di samping secangkir kopi
Secangkir kopi hangat, asapnya perlahan mengepul di udara, Pagi memandang sajian sepiring janji politik warna warni dan secangkir kopi, merona wajahnya gembira.
Pagi sedikit heran, mengapa sepiring janji politik begitu cepat tersaji di atas meja, padahal waktu kampanye belum tiba? tanya Pagi kepada dirinya sendiri, sambil menyeruput ujung cangkir kopi hangat. Asyudahlah, ahai sungguh nikmatnya dunia, ujar Pagi sekali lagi
Mari kita nikmati suasana, bersama sepiring janji janji politik dan seseruput kopi, sekadar mengganjal perut yang mulai lapar di pagi hari, ujar Pagi itu lirih sambil menyapa waktu yang berlalu
Lalu waktu tampak berjalan merambat pelan, melambaikan tangannya ke arah matahari yang tepinya mulai menyemburat, menyaput kabut, menggores celah gunung di sisi sebelah sana. Ahai, pagi yang cerah!
Lalu Pagi mengambil sepotong janji politik dalam rupa pisang goreng, melahapnya penuh nikmat, hangat, gurih dan serasa mantab, keriyuknya bagai kerupuk, ujar Pagi terkekeh kekeh kepada dirinya sendiri
Selain dalam rupa pisang goreng, janji politik di atas piring tampak bagai kue lapis, berwarna warni seperti mimpi mimpi yang mengelindan bersama harapan, apakah sepiring janji ini fiksi, ilusi atau fakta? Tanya Pagi pada diri sendiri, sambil tertawa, mengunyah dan mengamati detail kue lapis itu.
Pagi lalu mengambil sepotong janji politik lainnya dalam rupa kue pokis yang manis, janji politik itu teksturnya lembut, empuk, rasanya gurih, tetapi terlampau manis. Pagi mengunyah sepotong kue pokis yang manis itu, sedikit demi sedikit.
Pagi membayangkan, mungkin kue pokis ini terbuat dari bahan pilihan, dari terigu khayalan, dan segenggam gula harapan, ditaburi sedikit omong kosong, sehingga rasanya begitu empuk, gurih dan nikmat. Luar biasa, ujar Pagi kepada dirinya sendiri Â
Janji janji politik tersaji rapih di atas piring, bersanding secangkir kopi hangat, menemani sarapan untuk Pagi, membentuk rangkaian tumpukan kata-kata empuk merupa kue pokis, atau bagaikan pisang goreng gurih keriyuk bagai kerupuk, atau membentuk sepotong kue lapis yang manis.
Waktu pun tumbuh lurus, membuai Pagi tak terasa telah mengunyah beberapa potong janji politik dalam rupa aneka rasa yang berbeda, diselingi beberapa seruputan kopi hangat yang pekat, nikmat.
Sementara matahari telah sempurna menyemburat di celah gunung sisi sebelah sana, menandai ritus sarapan pagi telah usai, Mari bersegera menjemput rejeki dengan berkarya, menyudahi sarapan pagi kita, sepiring janji janji politik aneka rasa telah mengenyangkan,
Jangan terlampau terbuai pada semua rasa, nikmati saja sedikit sisa pahit kopinya, itu menandai agar pikiran kita tetap waras terjaga, tak terpesona kata-kata manis, impian dan indahnya ilusi masa depan, yang sengaja disodorkan oleh mereka yang tengah mabuk kepayang tentang megahnya kursi kekuasaan
Mari tetap merawat kewarasan, salam satu aspal! Begitu kata kata terakhir Pagi kepada dirinya sendiri, menyudahi sarapan pagi, sebelum dia pergi membawa cangkul, merawat lagi sawahnya yang terhampar indah di belakang rumah.
Sawangan Magelang, Lereng Merapi, Kamis 14/9/2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H