Penting dicatat, bahwa mekanisme sensor OTT bisa saja berimplikasi pada hukum dan etika, antara lain:
Kebebasan Berbicara:Â Penerapan sensor OTT dapat menimbulkan konflik dengan hak kebebasan berbicara yang dijamin oleh undang-undang. Penekanan pada sensor yang terlalu kuat oleh Pemerintah bisa menghambat kebebasan berekspresi dan cenderung membatasi variasi pendapat di platform OTT. Penting untuk menemukan keseimbangan antara perlindungan konsumen dan hak kebebasan berbicara untuk menghindari potensi penyalahgunaan aturan sensor.
Privasi Pengguna: Risiko pelanggaran privasi dalam analisis konten pengguna. Sensor OTT yang menganalisis konten pengguna untuk tujuan deteksi konten yang melanggar, bisa memunculkan risiko pelanggaran privasi. Analisis konten pribadi pengguna dapat menciptakan potensi penyalahgunaan data pribadi atau informasi yang sensitif. Maka penanganan data harus sesuai dengan undang-undang privasi yang berlaku dan mengutamakan keamanan informasi pengguna.
Keberagaman Budaya: Platform OTT beroperasi secara global. Artinya, konten yang diterima di satu budaya mungkin tidak sesuai dengan nilai dan norma budaya di negara lain. Maka regulasi yang berlebihan atau standar sensor yang sama untuk semua wilayah, berpotensi mengabaikan keberagaman budaya dan menghambat akses ke konten yang dianggap penting dalam suatu budaya.
Dengan demikian, implikasi hukum dan etika dalam konteks sensor OTT merupakan tantangan serius yang memerlukan pendekatan yang matang. Regulasi harus didesain dengan mempertimbangkan perlindungan konsumen, kebebasan berbicara, dan privasi pengguna.
Mengambil contoh dari kerangka regulasi yang ada dalam industri media dan hiburan TV tradisional, dapat membantu mengembangkan pendekatan yang seimbang dan adil terhadap pengaturan konten di layanan OTT.
Selain itu, keterlibatan aktif dari ahli hukum, ahli teknologi, dan masyarakat sipil dalam diskusi mengenai regulasi adalah penting untuk memastikan dampak yang positif dalam ekosistem OTT.
Kegagalan dan Keberhasilan Implementasi Sensor OTT
Menurut penulis, di sepanjang sejarah layanan OTT, ada kasus keberhasilan dan kegagalan dalam implementasi mekanisme sensor OTT. Contohnya, pernah terjadi di beberapa platform berikut:
YouTube: YouTube, sebagai salah satu platform video terbesar, telah dihadapkan pada kritik karena beberapa konten yang melanggar, ternyata berhasil lolos sensor. Meskipun ada upaya untuk memblokir konten merugikan, adanya konten yang tidak pantas atau berbahaya masih menjadi perhatian. (ini mirip kisah Basic Instinct, yang seharusnya tidak layak tayang, kok ya tayang -red).
TikTok:Â TikTok telah mengalami masalah sensor terkait konten yang tidak pantas atau konten yang memicu perilaku berbahaya. Meskipun ada upaya untuk membatasi akses anak-anak dan remaja terhadap konten tertentu, tantangan dalam mengidentifikasi dan membatasi konten, harusnya tetap ada.
Netflix: Netflix telah mengambil pendekatan untuk memberikan kendali lebih besar kepada pengguna (pilihan bebas pada penonton) atas apa yang mereka tonton dengan memberikan sistem peringatan dan rating pada konten. Meskipun platform ini memberikan pilihan dan informasi kepada pengguna, ini juga dapat menimbulkan pertanyaan tentang: pengawasan pada praktiknya yang lebih ketat bagaimana? siapa yang bisa menjamin.