Gojek Kere": Ekspresi Akrab Pertemanan, Bukan Ujaran KebencianÂ
"Ada kalanya dalam konteks tertentu, ungkapan verbal yang berupa umpatan, cacian dan makian, bisa jadi itu merupakan bentuk ekspresi keakraban dan kedalaman sebuah nilai persahabatan. Apa iya bisa begitu? Bagaimana penjelasannya? Iya. Menurut penulis sih bisa begitu. Contohnya, ada dalam dialog sebagai berikut:
Setelah lama tak jumpa, mas Ogah, kawan lamaku menelepon:
"haloo ini Wibi ya?"
"iya, ini siapa ya?"
"oo cah edan, gemblung. Piye su apa kabarmu?"
"maaf su, ini siapa ya?"
"hahaha..mosok lupa Bi. Konco lawas, UGM. Ogah"
"Owalah suuu, Ogah van Jeger? Senengnya dengar suaramu, suu..hahaha"
"Raimu Bi, kok rung modyar kowe Bi? Tak telpon sulit banget. Jadi orang penting kamu, Bi? "
"Hahaha cen asu kowe mas Ogah. Njenengan sik wae sing mati. Aku belakangan"
"Aku belum mati, Bi. Piye kabarmu suu?"
"Syukurlah mas Ogah. Ikut seneng. Kabarku baik baik su..ada kabar apa iki? Ngajak makan makan?"
"Makan makan dengkulmu mlocot iku Bi..Ini mau ngabari, aku mau ngirim undangan, Iwan Toi mantu. kasih alamatmu".
"Oo pancen cah edan kamu, belum waras dari dulu. Yaudah..nanti kukirim Alamat via WA ya."
"Okey Bi. Makasih ya, dan dateng lho ya..ke acaranya Iwan Toi. Kawan kawan lama pada ngumpul, awas kalau kamu gak dateng..". Dan dialog singkat lewat telepon itu pun usai.
Ungkapan dialog di atas dipenuhi diksi "aneka ragam umpatan", seperti:Â edan, gemblung, asu, dengkulmu mlocot. Namun dalam konteks dialog itu, nuansa atau suasana percakapan yang terjadi justru menyenangkan, penuh kehangatan, bukan dalam konteks penuh kebencian, dendam atau kemarahan.
Teks dan dialog dengan diksi serupa itu sering penulis temukan, dipakai sebagai ekspresi keakraban di kalangan kaum muda (dan sebagian orang tua  hihihi), di kalangan masyarakat di daerah Magelang hingga Yogyakarta.
Kata kata "edan, asu, gemblung, dengkulmu mlocot" dan sejenisnya masih banyak lagi, memang umumnya dipahami sebagai sekumpulan kata-kata "pisuhan"- misuh (umpatan/mengumpat).
Namun dalam konteks dialog di atas, kata kata atau diksi itu diucapkan begitu saja, spontan menyenangkan. Dan kita semua mengerti bahwa penggunaan semua kata-kata "pisuhan" itu dipakai dalam konteks bukan untuk menyakiti hati lawan bicara, tetapi malahan sebaliknya:Â mengakrabkan.
Di Yogyakarta misalnya, dialog yang "nyenengke" atau menyenangkan itu, sering disebut dengan istilah "Gojek kere" (candaan kere atau guyonan orang kere miskin). Dalam "Gojek kere", semua kata kata "kebun Binatang" bisa saja dikeluarkan, seperti: celeng, kebo, monyet, munyuk, nyambik, codot, dan sebagainya.
Dan uniknya, semua yang terlibat dalam dialog "Gojek kere" itu, termasuk juga pendengar di sekitarnya, merasa senang, nyaman dan tertawa gembira, penuh keakraban. Saya sendiri ikut senyum senyum, manakala ada teman lama mempraktikkan "Gojek kere". Jindul dab! Ha ha ha.
Mungkin karena namanya "Gojek Kere", semua orang yang terlibat dalam dialog berkesempatan katarsis "los dol" atau tak perlu malu-malu mengutarakan 'kata-kata kasar', sebab tak ada pihak lain yang bakal tersakiti hatinya.
Dialog "Gojek kere" seringkali pula dipakai untuk menghibur penonton di atas panggung pertunjukan teater di kelompok seni teater di Yogyakarta-Magelang, dan sekitarnya.