" 20 tahun", jawabmu.
 "Kamu kudengar tak lagi di seminari", tanyamu
 "Sudah lama, aku memilih jalan lain", jawabku
 "Berarti kamu telah menjadi semacam malaekat putih?", tanyaku kemudian.
 " Hahaha. Ngawur. Kamu bicara apa, idealis", jawabmu renyah di balik tudung jubah. Ronamu berkelebat, masih seperti dahulu, batinku. Di bawah kerudung putih, wajahmu memawar ronamu merah muda.
 "Bukannya hidup mu dipenuhi doa, khalwat dan matiraga?", tanyaku.
 "Tidak persis begitu", sergahmu.
 "Hidup di biara, kami bertemu manusia juga. Bukan malaekat. Kadangkala di antara kami ada rasa bosan, iri hati, keculasan, asmara syahwat, congkak, tamak, jaim, korupsi, sok alim, menjilat atasan", lanjutmu.Â
Kata katamu memberondong seperti desingan mesiu di telingaku. Aku melongo. Wajahku masam, belimbing wuluh. Lalu kamu tertawa renyah, sambil melenggang memasuki gerbang rumah biara.  Meninggalkan aku sendirian. Aku termangu. Kita berpisah.
Chapter #IV
Di ujung usia yang merambat senja, tak sengaja, kita bertemu di depan pintu biara.
 " Sudahlah. Jadi gak kita makan kupat tahu?', tanyamu tiba-tiba.