Panen Tiba: Membakar Jerami, Mata Perih dan Pencemaran Udara. Sudah Biasa di Desa?Â
Panen padi dimulai. Serombongan burung pipit terbang berhamburan, menjauh, ketika beberapa buruh tani memasuki sawah milik bapak yang siap dipanen. Sepetak sawah itu lokasinya di belakang rumah kami, di desa Mangunsari, Kecamatan Sawangan, Magelang.
Beberapa lelaki membabat rumpun padi, dan menyisakan sedikit bonggolnya di tanah. Rumpun padi, berisi batang, daun, bulir dan butiran padi itu kemudian dikumpulkan di tengah sawah. Mesin perontok padi bekerja dengan cepat, memisahkan butiran padi dari bulir, daun dan batang padi.
Beberapa perempuan memasukkan butiran padi ke dalam karung. Sebagian lelaki membawa jerami dalam beberapa tumpukan yang menggunung di sawah. Panen padi di sawah bapak di belakang rumah, kali ini menghasilkan beberapa karung padi, dan beberapa gunungan jerami padi.
Beberapa karung berisi padi itu segera diusung dan disimpan di ruang belakang rumah, untuk dijemur keesokan hari. Sedangkan beberapa gunungan jerami dibiarkan teronggok begitu saja di sawah.
Tetapi tak lama kemudian, asap tebal mengepul dan api menghabisi seluruh tumpukan jerami padi yang menggunung itu. Seseorang petani utusan bapak membakar semua jerami hasil panen padi itu, hingga menjadi abu.
Semua orang menjauh dari arena pembakaran jerami itu, namun terkadang asap tebal itu tak terduga, terhembus oleh angin yang berubah arah, memasuki kawasan rumah penduduk desa, termasuk sebagian masuk ke dalam rumah kami. Beberapa orang terbatuk batuk, mata perih dan sesak napas. Tetapi semua warga seperti memaklumi, bahwa keadaan itu pasti tak berlangsung lama.
Dan menurut warga, itu sudah biasa, terjadi demikian, setiap kali masa panen tiba di desa kami. Dan sepertinya juga terjadi di desa lain di kawasan Merapi, setiap panen padi tiba. Asap tebal mengepul di mana mana. Dan itu bisa ditebak, berasal dari gunungan jerami padi yang dibakar petani.
Dan usailah sudah prosesi panen padi seharian kali ini, di sawah belakang rumah bapak di desa Mangunsari, Sawangan, Kabupaten Magelang.
Berapa produksi limbah per satu kali masa panen?
Menurut beberapa literasi, hasil jerami padi per hektar dalam satu kali masa panen antara 12-15 ton. Sedangkan padi yang dihasilkan 6-8 ton, tergantung kondisi lingkungan dan pola perawatan tanaman. Artinya  bisa diasumsikan jika kawasan sekitar 10 hektar sawah yang tengah panen di desa Mangunsari termasuk sawah bapak, sebenarnya menghasilkan antara 120-150 ton jerami.Â
Bayangkan, jika jerami itu disatukan dalam satu lokasi dan dibakar. ah terlalu mengerikan kobaran api dan asap polusinya untuk dibayangkan.Â
Petani Cenderung Membakar Limbah Panen, Terutama Jerami
Penulis menemukan fakta bahwa limbah padi, terutama jerami yang melimpah sehabis panen tiba, cenderung segera dibakar oleh pemilik sawah. Petani cenderung membakar jerami sehabis panen karena beberapa alasan, meskipun praktik ini sekarang semakin dikurangi atau dilarang, karena berdampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.Â
Beberapa alasan petani (masih) membakar jerami mereka adalah sebagai berikut:
Praktis dan cepat: Membakar jerami dianggap sebagai cara yang praktis dan cepat untuk membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman padi setelah panen. Dengan membakar jerami, petani dapat dengan mudah menghilangkan sisa-sisa tanaman dan menyiapkan lahan untuk tanaman berikutnya.
Murah:Â Membakar jerami dianggap sebagai metode yang murah untuk menghilangkan limbah panen. Alternatif pengelolaan limbah seperti pengomposan atau penggunaan jerami sebagai pakan ternak mungkin memerlukan biaya tambahan dan upaya lebih lanjut.
Keyakinan tradisional: Beberapa petani mungkin masih memegang keyakinan tradisional bahwa membakar jerami dapat membantu membersihkan lahan dan mencegah penyakit tanaman pada musim berikutnya. Hal ini bisa menjadi bagian dari praktik pertanian turun-temurun yang terus berlanjut.
Mencemari Lingkungan
Meskipun ada alasan-alasan petani tersebut, seperti kita tahu bersama, sebenarnya praktik membakar jerami memiliki dampak negatif yang serius. Beberapa dampak negatifnya antara lain:
Pencemaran udara: Membakar jerami menghasilkan gas dan partikel berbahaya seperti karbon monoksida, nitrogen dioksida, dan partikel PM2.5 yang dapat mencemari udara dan berdampak buruk pada kualitas udara dan kesehatan manusia.
Emisi gas rumah kaca: Pembakaran jerami juga menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana, yang berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim.
Kehilangan nutrisi: Membakar jerami menghilangkan bahan organik yang kaya nutrisi dari lahan, mengurangi kesuburan tanah dan dapat menyebabkan degradasi tanah.
Limbah Padi Tak Hanya Jerami
Limbah panen padi merupakan berbagai sisa atau bagian dari tanaman padi yang tidak dapat dimanfaatkan sebagai hasil panen utama. Beberapa jenis limbah panen padi yang umum meliputi:
Jerami: Jerami adalah sisa-sisa batang dan daun padi setelah padi dipanen.
Sekam:Â Sekam adalah lapisan pelindung biji padi yang terdapat di luar beras. Sekam dapat dihasilkan saat padi dijemur atau dikupas untuk menghasilkan beras.
Akar dan sisa-sisa akar: Bagian akar padi yang tidak dapat dimanfaatkan juga termasuk dalam limbah panen padi.
Daun padi:Â Selain jerami, daun padi juga dapat menjadi bagian dari limbah panen padi.
Hampa dan dedak: Hampa dan dedak merupakan sisa-sisa dari hasil penggilingan padi menjadi beras.
Kulit padi: Kulit padi adalah bagian luar biji padi yang tidak dapat dimakan dan menjadi limbah setelah proses penggilingan padi.
Beberapa Metode Pengelolaan Limbah Padi
Limbah pertanian, terutama limbah padi, adalah hasil sampingan yang dihasilkan dari kegiatan pertanian dan dapat memiliki dampak negatif terhadap lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.Â
Namun, dengan menggunakan metode pengolahan limbah pertanian yang ramah lingkungan, kita dapat mengubah limbah tersebut menjadi sumber daya yang bernilai dan mengurangi dampak negatifnya. Antara lain:
Pengomposan
Pengomposan adalah metode pengolahan limbah pertanian yang umum digunakan untuk mengubah sisa-sisa tanaman seperti jerami, kulit buah, dan sayuran menjadi kompos yang kaya nutrisi. Proses pengomposan melibatkan penguraian bahan organik oleh mikroorganisme, sehingga menghasilkan pupuk organik yang dapat meningkatkan kesuburan tanah.Â
Kompos ini dapat digunakan kembali sebagai pupuk organik, mengurangi ketergantungan petani pada pupuk kimia dan membantu menjaga keseimbangan nutrisi tanah.Â
Penggunaan Limbah sebagai Pakan Ternak
Banyak limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Jerami, sekam, dedak, dan sisa-sisa tanaman lainnya bisa digunakan untuk memberi pakan hewan ternak seperti sapi, domba, atau ayam. Dengan mengubah limbah menjadi pakan ternak, petani tidak hanya mengurangi jumlah limbah yang harus diolah, tetapi juga meningkatkan nilai ekonomisnya.
Pembuatan Bioenergi
Limbah pertanian dapat diolah menjadi bioenergi seperti biogas atau bioetanol. Biogas dihasilkan melalui proses fermentasi anaerobik dari limbah organik seperti kotoran hewan dan sisa-sisa tanaman, termasuk limbah padi. Biogas dapat digunakan sebagai sumber energi untuk memasak, penerangan, dan pemanas. Sementara itu, bioetanol dihasilkan dari fermentasi sukrosa atau pati yang ada dalam limbah tanaman seperti tebu, jagung, singkong, dan bekatul padi. Bioetanol dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan daripada bahan bakar fosil.
Penggunaan Kembali dan Daur Ulang
Praktik penggunaan kembali dan daur ulang dapat membantu mengurangi limbah pertanian. Contohnya, petani dapat mengumpulkan kembali sisa-sisa plastik atau bahan kemasan untuk digunakan kembali pada musim tanam berikutnya.Â
Selain itu, beberapa bahan limbah dapat didaur ulang menjadi produk lain seperti karung goni dari jerami atau limbah plastik yang diubah menjadi barang-barang kreatif dan bernilai ekonomis.
Pengelolaan Air Limbah
Penggunaan pupuk dan pestisida dalam pertanian dapat menyebabkan pencemaran air tanah dan permukaan. Metode pengelolaan air limbah, seperti kolam sedimentasi, filter bio, atau teknologi pengolahan air lainnya, dapat membantu mengurangi konsentrasi zat-zat berbahaya dan memperbaiki kualitas air.
Kendala dan Tantangan Praktis
Upaya untuk menerapkan metode pengolahan limbah pertanian yang ramah lingkungan memang bisa menghadapi beberapa tantangan. Beberapa hal yang dapat menyulitkan praktiknya adalah sebagai berikut:
Kesadaran dan Pendidikan: Kesadaran mengenai pentingnya pengolahan limbah pertanian yang berkelanjutan mungkin masih rendah di kalangan petani. Pendidikan dan informasi yang kurang dapat menghambat adopsi metode baru dan lebih berkelanjutan.
Biaya dan Sumber Daya: Implementasi metode pengolahan limbah pertanian memerlukan biaya dan sumber daya tertentu. Petani yang terbatas dalam hal keuangan dan teknologi mungkin kesulitan untuk mengadopsi praktik yang lebih ramah lingkungan.
Teknologi dan Infrastruktur: Beberapa metode pengolahan limbah pertanian memerlukan teknologi khusus atau infrastruktur yang belum tersedia di daerah pertanian tertentu. Keterbatasan teknologi dan infrastruktur dapat menjadi hambatan dalam menerapkan praktik berkelanjutan.
Kebiasaan dan Tradisi: Beberapa praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan mungkin sudah menjadi bagian dari tradisi atau kebiasaan petani, sehingga sulit untuk mengubahnya menjadi metode yang lebih berkelanjutan.
Kebijakan dan Regulasi: Kurangnya dukungan dari pemerintah dan lembaga terkait, serta kebijakan atau regulasi yang tidak mendukung, juga dapat menjadi hambatan dalam menerapkan praktik pengolahan limbah pertanian yang lebih ramah lingkungan.
Dampak Ekonomi: Beberapa metode pengolahan limbah pertanian berkelanjutan mungkin tidak memberikan hasil ekonomi yang segera dan langsung bagi petani. Ini dapat membuat petani enggan beralih ke praktik yang lebih berkelanjutan jika dampak ekonomi tidak terlihat secara jelas.
Meskipun ada tantangan dalam mengadopsi metode pengolahan limbah pertanian yang ramah lingkungan, perlu diingat bahwa langkah-langkah ini penting untuk menjaga lingkungan, keberlanjutan pertanian, dan kesejahteraan manusia.
Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara petani, pemerintah, lembaga penelitian, dan masyarakat secara keseluruhan untuk mengatasi tantangan ini dan mendorong perubahan menuju praktik pertanian yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Jika hal ini tidak pernah dilakukan, barangkali praktik kebiasaan lama membakar berton-ton jerami sehabis panen, tetap dilakukan, sebagai langkah praktis efektif efisien bagi petani, walau mereka sebenarnya tahu bahwa hal itu mencemari lingkungan dan menyebabkan polusi yang mengganggu kesehatan.
 "Ya mau gimana lagi, kan membakar jerami itu sudah biasa dan malah sudah mentradisi, mas". Begitu kata beberapa petani, kepada penulis, beberapa waktu lalu seusai panen di sawah belakang rumah tinggal bapak di desa Mangunsari, Sawangan, Magelang.
Selesai
ilustrasi sebagian jerami dikomoposkan di sawah di belakang rumah (foto:wibhyanto/dokumen pribadi)
![ilustrasi sebagian jerami dikomoposkan di sawah di belakang rumah (foto:wibhyanto/dokumen pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2023/07/02/jerami-padi-64a10667e1a16712f1788592.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI