Dalam proses pembangunan, arsitek romo YB Mangunwijaya (almarhum)Â memberikan sentuhan yang khas dengan menggabungkan unsur-unsur arsitektur vernakular dan budaya Jawa yang kaya.
Penggunaan bahan bangunan lokal, seperti kayu dan batu, yang ramah lingkungan juga menjadi salah satu ciri khas Sendangsono. Material-material tersebut tidak hanya mencerminkan kesadaran akan keberlanjutan lingkungan, tetapi juga menambah pesona alami kompleks bangunan tersebut.
Keunikan arsitektur Gua Maria Sendangsono terpancar melalui setiap bangunannya, seperti 13 titik jalan salib, altar, ruang doa, dan gazebo tempat istirahat peziarah. Konsep bangunan kompleks ini memadukan harmoni antara spiritualitas, keindahan alam sekitar, dan kearifan lokal.
Hingga kini, Gua Maria Sendangsono telah menjadi destinasi ziarah yang terkenal dan menginspirasi banyak orang.
Keindahan alam yang memukau, arsitektur yang memperlihatkan kekayaan budaya lokal, dan kehadiran Bunda Maria yang memancarkan ketenangan dan keberkahan, semuanya menjadi daya tarik utama bagi para peziarah umat Katolik.
Ramai di Bulan Mei dan Oktober
Tempat ziarah ini biasanya ramai dikunjungi oleh umat katolik dari berbagai kota besar, termasuk Jakarta, terutama pada bulan Mei sebagai bulan Maria dan bulan Oktober sebagai bulan Rosario.
Namun di hari hari biasa, Sendangsono tetap menawan, mempertahankan warisan keagamaan yang berharga, dan memberikan inspirasi kepada setiap orang yang mengunjunginya.
Sesayup sekelompok peziarah lainnya, menyanyikan "Nderek Dewi Mariah", terdengar seperti hendak mengiringi saya saat beranjak pergi, meninggalkan tempat ziarah Rohani ini.
"Nadyan manah getera, dipun godha setan, Nanging batos engetnya, wonten pitulungan, Wit sang Puteri Maria, mangsa tega anilar, Sang Dewi, Sang Dewi mangestonana, Sang Dewi, Sang Dewi mangestonana",
Walaupun hati bergetar, digoda oleh setan, namun batin diingatkan, ada pertolongan, sebab sang Putri Maria, tak mungkin tega meninggalkan, sang Dewi sang Dewi berkatilah (kami)-Â begitu terjemahan bebasku.
SELESAI