Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Fenomena Ticket War dan Praktik Scalping, Apaan Sih!

19 Mei 2023   09:09 Diperbarui: 19 Juni 2023   12:55 2350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ticket war atau "perang tiket" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana permintaan tiket untuk sebuah acara atau konser sangat tinggi, sementara pasokan tiket terbatas. Biasanya terjadi ketika acara tersebut sangat populer dan banyak orang ingin menghadirinya.

Dalam konteks konser Coldplay, yang merupakan salah satu band yang sangat terkenal dan populer, permintaan tiket untuk konser mereka sering kali melebihi pasokan tiket yang tersedia. 

Hal ini dapat menyebabkan persaingan yang sengit di antara para penggemar untuk mendapatkan tiket. Mereka akan berlomba-lomba untuk mengakses platform penjualan tiket, seperti situs web atau agen penjualan tiket, pada saat tiket mulai dijual.

Tiket-tiket konser Coldplay sering kali terjual habis dalam waktu singkat, bahkan dalam hitungan menit. Ini membuat para penggemar berusaha keras untuk mendapatkan tiket melalui berbagai saluran, termasuk mengandalkan koneksi internet yang stabil, mengikuti presale atau pre-order, atau menggunakan jasa pihak ketiga untuk membeli tiket dengan harga yang lebih tinggi.

Dalam situasi "ticket war" ini, persaingan yang ketat dapat terjadi antara para penggemar yang berusaha mendapatkan tiket dengan cepat dan terbatasnya pasokan tiket yang tersedia. Ini dapat menciptakan ketegangan dan kekecewaan di antara mereka yang tidak berhasil mendapatkan tiket.

Mengapa fenomena bisa terjadi demikian? 

Fenomena "ticket war" terjadi dalam konteks permintaan tinggi dan pasokan terbatas untuk acara atau konser yang sangat populer. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fenomena ini:

Popularitas: Ketika acara atau konser menjadi sangat populer dan diantisipasi oleh banyak orang, permintaan tiket akan sangat tinggi. Banyak penggemar ingin menghadiri konser tersebut karena mereka mengagumi artis atau band tersebut, ingin merasakan pengalaman langsung, atau ingin menjadi bagian dari momen spesial.

Baca juga: 7 Fakta Menarik Coldplay, Apa saja?

Kapasitas Terbatas: Tempat-tempat konser memiliki kapasitas terbatas, yang berarti hanya sejumlah tiket yang dapat dijual. Ini menciptakan situasi di mana permintaan melebihi pasokan, sehingga terjadilah persaingan sengit untuk mendapatkan tiket.

Presale dan Pre-order: Kadang-kadang, ada penjualan tiket presale atau pre-order sebelum penjualan umum. 

Ini memberikan kesempatan kepada sekelompok orang tertentu, seperti anggota fan club atau pemegang kartu kredit tertentu, untuk membeli tiket lebih awal. Ini dapat meningkatkan persaingan karena tiket sudah dibeli sebelum penjualan umum dimulai.

Scalping dan Pihak Ketiga: Dalam beberapa kasus, tiket yang terjual habis cepat muncul kembali di pasar sekunder dengan harga yang jauh lebih tinggi, yang dikenal sebagai scalping. Ini dapat menciptakan ketegangan dan frustrasi di antara penggemar yang harus membayar harga yang lebih tinggi untuk tiket.

Apakah fenomena ini hanya sebagai budaya pop atau tidak, tergantung pada situasinya. Dalam budaya pop, di mana popularitas artis atau band seringkali bersifat musiman atau tren, fenomena ini mungkin hanya terjadi dalam jangka waktu tertentu.

Namun, dalam beberapa kasus, seperti dengan artis atau band yang memiliki basis penggemar yang kuat dan terus berkembang, permintaan tiket yang tinggi dan persaingan sengit dapat terjadi secara teratur.

Penting untuk dicatat bahwa upaya telah dilakukan oleh penyelenggara acara dan platform penjualan tiket untuk mengurangi dampak negatif fenomena "ticket war", seperti memperkenalkan sistem verifikasi identitas atau pembatasan pembelian tiket per orang. Tujuannya adalah untuk memastikan kesempatan yang lebih adil bagi semua orang untuk mendapatkan tiket dan mengurangi praktik scalping.

Apa itu Praktik Scalping?

Praktik scalping (atau juga dikenal sebagai "ticket reselling") merujuk pada kegiatan membeli tiket acara atau konser dengan harga normal dan kemudian menjualnya kembali dengan harga yang jauh lebih tinggi di pasar sekunder. 

Para "scalper" (orang yang melakukan scalping) memanfaatkan situasi di mana permintaan tiket melebihi pasokan dan ada banyak orang yang berkeinginan untuk membeli tiket tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa praktik scalping terjadi:

Keuntungan Finansial: Scalper membeli tiket dengan harga normal dan berharap dapat menjualnya dengan harga yang jauh lebih tinggi untuk mendapatkan keuntungan finansial yang signifikan.

Keterbatasan Pasokan: Karena tiket terjual habis dengan cepat dalam acara yang sangat populer, banyak orang yang kehilangan kesempatan untuk membeli tiket dari penjualan resmi. Ini menciptakan pasar untuk scalper yang menawarkan tiket dengan harga yang lebih tinggi kepada mereka yang sangat menginginkannya.

Permintaan Tinggi: Ada penggemar yang sangat ingin menghadiri acara tersebut dan bersedia membayar harga lebih tinggi untuk tiket tersebut, terlepas dari scalping. Ini memberikan insentif bagi scalper untuk menaikkan harga tiket.

Namun, praktik scalping juga menimbulkan beberapa masalah, antara lain:

Harga yang Tidak Wajar: Scalping menciptakan ketidakseimbangan antara harga tiket dan nilai sebenarnya, sehingga beberapa orang harus membayar harga yang jauh lebih tinggi untuk menghadiri acara yang mereka inginkan.

Akses yang Tidak Adil: Praktik scalping dapat menguntungkan mereka yang memiliki sumber daya finansial lebih, sedangkan orang lain yang mungkin memiliki minat yang sama tidak mampu membeli tiket dengan harga yang lebih tinggi.

Ketidakamanan: Terkadang, tiket yang dibeli melalui scalper tidak dapat dijamin keasliannya atau keabsahannya. Ini meningkatkan risiko penipuan atau pembelian tiket palsu.

Beberapa negara atau yurisdiksi telah mengadopsi undang-undang atau kebijakan untuk membatasi atau melarang praktik scalping. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen dan memastikan akses yang lebih adil ke tiket acara atau konser.

Contohnya negara mana saja?

Beberapa negara yang telah mengadopsi undang-undang atau kebijakan untuk membatasi atau melarang praktik scalping antara lain:

  • Inggris: Di Inggris, undang-undang Consumer Rights Act 2015 melarang penggunaan perangkat perangkap tiket (ticket bots) dan memberikan otoritas kepada badan pengatur pasar, Competition and Markets Authority (CMA), untuk menindak pelaku scalping.
  • Amerika Serikat: Di Amerika Serikat, setiap negara bagian memiliki undang-undang yang berbeda terkait scalping tiket. Beberapa negara bagian, seperti New York dan California, memiliki undang-undang yang membatasi atau melarang scalping dalam berbagai bentuknya.
  • Australia: Di Australia, beberapa negara bagian memiliki undang-undang yang mengatur scalping tiket. Misalnya, di New South Wales, undang-undang Fair Trading Act 1987 memberikan wewenang kepada Komisi Persaingan dan Konsumen New South Wales untuk menindak pelaku scalping.
  • Kanada: Di Kanada, beberapa provinsi memiliki undang-undang yang mengatur scalping tiket. Contohnya, di Ontario, undang-undang Ticket Sales Act membatasi praktik scalping dan mewajibkan pengungkapan informasi terkait harga dan kondisi penjualan tiket.
  • Jerman: Di Jerman, undang-undang pertukaran tiket (Ticket Exchange Act) mengatur praktik scalping dan menetapkan batasan-batasan terkait harga penjualan tiket.

Harap dicatat bahwa undang-undang dan kebijakan terkait scalping tiket dapat berbeda di setiap yurisdiksi dan dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jadi, penting untuk merujuk pada peraturan yang berlaku di negara atau wilayah tempat acara atau konser berlangsung.

Bagaimana Praktiknya di Indonesia

Di Indonesia, praktik scalping tiket juga dilarang atau dibatasi oleh beberapa regulasi dan kebijakan yang ada. Berikut adalah beberapa hal terkait scalping tiket di Indonesia:

Undang-Undang Perlindungan Konsumen: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia memberikan dasar hukum yang melindungi konsumen dari praktik bisnis yang merugikan, termasuk praktik scalping tiket yang melanggar hak-hak konsumen.

Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2018: Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang Penyelenggaraan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, termasuk penjualan tiket secara online. Peraturan ini memberikan ketentuan mengenai transparansi, keamanan, dan perlindungan konsumen dalam transaksi jual-beli tiket online.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 63/M-DAG/PER/9/2015: Peraturan ini mengatur tentang Perlindungan Konsumen dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Dalam peraturan ini, terdapat ketentuan tentang pelarangan penjualan tiket dengan harga lebih tinggi daripada harga resmi yang ditentukan oleh penyelenggara acara.

Selain regulasi tersebut, pihak penyelenggara acara juga dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi praktik scalping tiket. Misalnya, mereka dapat menerapkan mekanisme verifikasi identitas pembeli tiket, membatasi jumlah pembelian tiket per orang, atau bekerja sama dengan platform penjualan tiket yang memiliki kebijakan anti-scalping.

Namun, meskipun ada regulasi dan upaya yang dilakukan, praktik scalping tiket masih terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi para konsumen untuk berhati-hati dan membeli tiket hanya melalui saluran resmi dan terpercaya guna menghindari risiko membeli tiket palsu atau dengan harga yang tidak wajar.

Selesai * Penulis adalah mantan mahasiswa ilmu komunikasi FISIPOL UGM 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun