Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Sandhyakalaning Baruklinting-Tragedi Kisah Tersembunyi (Episode#23)

6 Mei 2023   13:34 Diperbarui: 21 Mei 2023   10:43 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pulanggeni Gugur (#23)

Njaban Beteng, Kotapraja

Di tempat lain, di Njaban Beteng Kotapraja, betapa terkejut Pulanggeni dalam semadinya. Dia merasakan ada kekuatan gaib lain yang begitu berpengaruh kuat dan telah menebar di langit Kotapraja Mangir. Daya kekuatan gaib berwujud cahaya biru di langit Kotapraja yang menyilaukan mata itu, telah menyerap dan bahkan mematikan segala ajijaya kawijayan yang ada di Kotapraja. Termasuk segala kesaktian dan daya kekuatan gaib yang dimiliki oleh Pulanggeni sendiri. Bahkan seluruh kekuatan Gendam Jiwo dan Teluh Wiso yang mencengkeram sebagian besar penduduk Kotapraja Mangir, kini telah sirna sama sekali. Dua ajian andalan kelompok Nogo Kemuning itu benar-benar telah luntur tak memiliki daya keampuhan sama sekali. Keadaan ini menyebabkan tubuh Pulanggeni tiba-tiba lemas, pucat layu seperti kuntum bunga yang habis sari pati keindahannya. 

"Baruklinting...", desisnya. Matanya memerah penuh kemarahan, namun tubuhnya kini telah tak berdaya. Tubuhnya benar-benar lumpuh akibat semua daya kesaktiannya telah sirna. 

Tidak terlalu sulit bagi Pulanggeni untuk menentukan siapa yang menebar keadaan demikian. Pulanggeni tahu bahwa itu ulah Baruklinting. 

"Baruklinting dibalik ini semua", desisnya berulang-ulang. Napasnya tersengal-sengal oleh kemarahan yang besar. Dia berusaha sekuat tenaga mengatasi tubuhnya yang kian melemah. 

Maka segera saja, dengan segala daya yang tersisa dia memerintah segenap pasukannya untuk berkumpul, melawan Baruklinting dan para pendukungnya. 

Bahkan Pulanggeni lalu menetapkan hati mengambil keputusan, mengambil kekuasaan Mangir sepenuhnya dari tangan Baruklinting. Namun keinginannya yang menggelora itu tak seimbang dengan keadaan raganya yang kian layu. 

Bahkan menggeser tubuhnya sendiri pun Pulanggeni kini tak mampu. Keadaan ini benar-benar membuatnya frustasi, kecewa dan marah. Gerakannya menjadi semakin tak terkendali. Benda apa saja yang diraih seperti piring atau kendi di dekatnya, dia lemparkan sekenanya ke segala arah. Benda-benda itu pecah berantakan, berkeping-keping. Kesadaran nalar pikirannya pun turut melemah seketika. Hanya tersisa ucapan kotor segala serapah yang akhirnya keluar dari dalam mulutnya. Nalarnya telah goyah. Ucapannya meracau tak menentu. Pulanggeni sekarat. 

Seluruh anak buahnya yang sedari tadi mengelilinginya, bahkan menjadi iba melihat kondisi Pulanggeni seperti itu. Di saat yang sama pun, kekuatan gerombolan Nogo Kemuning turut lumpuh seketika. Pasukan Bayangan Hitam tak lagi sakti. Daya kekuatan cahaya biru yang menyilaukan mata dari daya pusaka Tombak Baruklinting itu benar-benar tak pandang bulu. Semua daya kesaktian mereka terlibas habis rata dengan tanah, lebur bagai debu, berkeping-keping sak walang walang! 

Maka dengan kekuatan yang masih tersisa, gerombolan Nogo Kemuning hendak berangkat menyerang Baruklinting di Ndalem Wanabayan. Tetapi terlambat. Tiba-tiba Baruklinting bersama pasukan dan pendukungnya, telah terlebih dahulu menyerang kediaman Pulanggeni itu. 

Segala ajijaya kawijayan kelompok Nogo Kemuning itu pun luluh lantak, menjadi tak berguna. Sebab tuah tombak Baruklinting yang dibawa oleh Baruklinting dalam penyerangan itu, telah mematikan dan menyerap semua daya kekuatan gaib apapun itu. 

"Tumpes kelor!", teriak Baruklinting merangsek ke depan, memberi komando serang pada para pasukan dan pengikutnya. 

Maka pecahlah pertempuran singkat tertapi ganas di Njaban Beteng. Serangan itu begitu tiba-tiba. Pulanggeni yang sekarat tak bisa menghindar. Sebuah tebasan golok dari laskar Baruklinting mengenai dadanya. Beberapa tikaman berikutnya dari bilah keris dan pisau menancap ke tubuhnya, entah siapa yang melakukannya. 

Serangan yang bertubi-tubi itu menyebabkan Pulanggeni gugur. Tubuhnya tumbang, layu bersimbah darah.

Para penduduk terutama pendukung Pulanggeni di tempat itu, turut menjadi korban. Adapun pasukan Bayangan Hitam yang masih tersisa tampak kocar-kacir melarikan diri. Laskar Mangir pengikut Baruklinting dibawah pimpinan Ki Mijil dan Ki Gringsing itu benar-benar mengamuk. Mereka tak memberi ampun pada siapa saja yang dianggap sebagai musuh. 

"Mundurr!", teriak sebuah suara. Itu adalah teriakan komando Arya Jalu kepala divisi pasukan Bayangan Hitam. Pertahanan gerombolan Nogo Kemuning telah benar-benar bagaikan pasar bubrah, berantakan. 

Sedetik kemudian, sekelompok kecil orang-orang Pulanggeni yang masih tersisa berlarian mundur menyelamatkan diri. Di antara mereka yang melarikan diri itu adalah Arya Jalu dan Margopati kepala telik sandi pasukan Bayangan Hitam. Adapun Ki Argoseto ahli peracik racun dan gendam tak tampak di antara mereka. Mungkin dia telah tewas bersama para korban lainnya dalam pertempuran singkat itu. Tak ada yang tahu.

"Biarkan mereka pergi. Biarkan mereka hidup", teriak Baruklinting sambil masih menggenggam Tombak Baruklinting di tangannya. Maka para pendukung Baruklinting tak mengejar musuh yang lari tunggang langgang itu. Segelintir dari musuh yang tersisa itu lalu terus meninggalkan Kotapraja Mangir. Mereka pulang ke Selo Merbabu. Dan tak pernah kembali ke tempat itu.

Padepokan Nogo Kemuning, Selo-Merbabu.

Serangan Baruklinting benar-benar meluluh lantakkan kekuatan gerombolan Nogo Kemuning. Dengan tertatih-tatih beberapa pasukan yang masih tersisa, berhasil meninggalkan Kotapraja Mangir. Margopati berhasil membawa sisa-sisa pasukannya kembali pulang ke markas mereka di Padepokan Nogo Kemuning, Selo-Merbabu. Dia benar-benar murka dan berduka. Hanya dirinya dan Arya Jalu bersama beberapa pasukan saja yang tersisa. 

Sejak itulah, Margopati mengambil alih kepemimpinan gerombolan Nogo Kemuning menggantikan Pulanggeni yang telah tewas di Mangir. Margopati lalu terang-terangan menyatakan permusuhan kepada semua orang Mangir dan seluruh anak keturunannya. Kemarahannya yang luar biasa, memunculkan tekad untuk menghapus segala cerita tentang sejarah Baruklinting, dengan cara membunuh siapa saja yang menceritakan atau menyebut-sebut Baruklinting. Nama Baruklinting harus dilenyapkan selamanya di muka bumi, dan tidak ada yang berani lagi yang membicarakannya. 

Bahkan tentang Mangir pun juga demikian. Kelak pada suatu masa, orang takut untuk menceritakan tentang Mangir, menyebut nama Mangir, atau berhubungan dengan orang-orang Mangir. Di masa itu, maka nama Mangir dan Baruklinting seolah telah mengandung suatu kutukan dan aib yang tak pantas untuk dibicarakan.

Ndalem Alit Wanabayan, Kotapraja

Dan demikianlah untuk beberapa saat, Baruklinting menjadi penguasa Mangir tanpa ada gangguan dari siapa pun. Untuk beberapa saat? Ya. "Siapa dapat menjamin bahwa kekuasaan adalah abadi". Baruklinting juga berpandangan demikian. Sebab dia masih teringat kepada pesan wisik dari Lintang Panjer Sore di Gua Langse, bahwa setelah terjadi prahara di Mangir, kekuasaan dan kejayaan Baruklinting akan meredup. Bahkan akan hancur berkeping-keping. 

Baruklinting menyadari keadaan ini. Dia telah siap mengikuti segala kemungkinan apapun itu yang terjadi. Jikalau keadaan itu disebut takdir, maka Baruklinting telah siap menjemput takdirnya sendiri. 

Dalam pada itu, setelah beberapa waktu berlalu, tiba-tiba seorang prajurit jaga regol depan gerbang Wanabayan berlari kecil menghadap Baruklinting yang sedang berada duduk di belakang Ndalem Alit Wanabayan. Dia memberitahu bahwa seseorang meminta ijin untuk bertemu.

"Siapa?", tanya Baruklinting kepada prajurit itu. 

"Dua orang bernama Ki Suta dan Ki Nala, sinuwun", jawab prajurit itu. Baruklinting terkejut mendengar nama itu. Dia hampir melupakan kedua orang berjuluk Sepasang Ular Kembar dari Selatan itu, sejak mereka tidak ada kabarnya lagi setelah diutusnya pergi ke Jalegong untuk memboyong Dewi Ariwulan ibunya ke Mangir. Bagaimana kabarnya dua orang itu? Bagaimana kabar ibuku? Apakah mereka berhasil memboyong ibuku? Batin Baruklinting. Dia tak sabar ingin bertemu semua orang itu. 

"Suruh mereka masuk. Kutunggu di sini", ujar Baruklinting singkat. 

Tak lama kemudian Sepasang ular kembar dari Selatan itu datang di pendopo itu. Baruklinting menyambut mereka dengan gembira. Dia menunggu kabar gembira dari dua orang kakak beradik utusannya yang baru tiba dari Jalegong itu. 

Akan tetapi bukan kabar gembira yang disampaikan oleh Ki Suta dan Ki Nala. Mereka berdua menyesal bahwa tak bisa memboyong Dewi Ariwulan ke Mangir. Bahkan keberadaan perempuan itu pun tak bisa mereka pastikan, sebab keadaan Jalegong telah porak poranda akibat serangan berulang-ulang ke tempat itu oleh orang-orang yang menamakan diri Orang Laskar Pajang! Baruklinting sedih. Dia menyimak baik-baik penuturan Ki Suta dan Ki Nala. 

"Kami lihat sendiri pasraman Jalegong menjadi karangabang, luluh lantak dimakan api. Tempat itu baru saja diserang oleh orang-orang laskar Pajang". 

"Saya dan kakang Suta sempat dikeroyok oleh delapan orang dari mereka. Tetapi beruntung kami bisa mengatasi keadaan. Kedelapan orang itu tewas di tempat itu". 

"Tak ada yang bisa kami mintai keterangan tentang keberadaan Dewi Ariwulan. Kecuali kami memperoleh sedikit informasi dari seorang pendekar yang muncul tiba-tiba di situ. Dia bernama Putri Biru". 

"Putri Biru?". Baruklinting terkejut. Dia tidak asing dengan perempuan bernama Putri Biru yang tinggal di Jalegong itu. Dia adalah pelayan setia Dewi Ariwulan ibunya. 

"Benar raden. Putri Biru, perempuan yang mengaku kenal panjenengan dan dia pelayan setia Dewi Ariwulan sendiri sedari dulu, katanya", ujar Ki Nala menjelaskan. 

"Dia menceritakan bahwa dirinya adalah salah satu orang yang selamat dari serangan itu. Tetapi dia tidak menemukan Dewi Ariwulan. Sebab banyak orang telah tewas oleh serangan itu. Sebagian tawanan telah dibawa oleh para penyerang, entah kemana. Dan para tawanan tak diketahui keberadaan dan tak pernah kembali ke Jalegong". 

"Kami melihat bahwa Jalegong telah benar-benar tak ada penghuninya. Kecuali Putri Biru di tempat itu"

"Mengapa tak kalian ajak Putri Biru untuk berkumpul di Mangir?". 

"Sedianya demikian, raden. Telah kami tawarkan untuk mengajaknya tinggal ke tempat raden. Namun dia memilih jalannya sendiri"

"Dia memilih untuk meninggalkan Jalegong dan memutuskan hidup di Tuntang Rawapening. Dia menitip suatu salam kagem panjenengan, raden". 

Baruklinting tercenung. Dia teringat pada jasa perempuan itu yang begitu baik menemani ibunya, bahkan melayani dirinya sejak masih kecil, di kala itu. Putri Biru adalah seorang pelayan yang setia. Baruklinting berterimakasih atas pelaporan yang begitu lengkap akan keadaan Jalegong, keadaan Dewi Ariwulan dan Putri Biru. 

Kepada Ki Suta dan Ki Nala dia menawarkan kepada mereka untuk tinggal di Ndalem Kaprawiran di kompleks Wanabayan itu. Akan tetapi dengan halus dua orang kakak beradik itu menolak tawaran itu. Mereka memilih untuk pulang kembali ke kediaman mereka di Kulonprogo, namun berjanji setiap waktu mereka siap untuk merapat ke Kotapraja jika mereka diminta oleh Baruklinting. 

*** 

Baruklinting tercenung sendirian, setelah kedua orang kepercayaannya itu pamit pergi untuk pulang ke Kulonprogo. Batinnya berkecamuk. Rasa sedih menggelayuti batin dan pikirannya. Baruklinting merasakan bahwa satu demi satu orang yang dikasihinya telah meninggalkan dirinya.

Jiwanya terasa hampa. Sebab kini dia menyadari bahwa kedudukan dan derajat tetinggi sebagai orang nomor satu di Mangir terasa hampa tak berguna tanpa kehadiran orang-orang yang dikasihinya di sekelilingnya. Ibunya telah tiada, sedangkan bapa dan kerabat Sentana masih mengungsi. Lalu untuk apa memiliki segalanya, jika tanpa ada kasih sayang dari orang-orang yang dikasihi. Baruklinting larut dalam duka dan rasa kecewa. 

"Semua kupersiapkan untuk kedatangan ibu. Segalanya kupersembahkan untukmu, ibu. Dan setelah semua telah kuperoleh, termasuk tahta Mangir, mengapa ibu tidak datang? ". 

"Masihkah kau ingat, ibu. Bahwa aku pernah berjanji padamu. Aku bertekad kelak ibu dan bapa aku pertemukan, dan kita bisa berkumpul sebagai keluarga, walau entah kita harus tinggal bersama di mana", ujar Baruklinting seolah berbicara kepada ibunya itu. 

 Baruklinting larut dalam duka. Jika duka itu suatu rasa, maka rasa itu berada di lubuk hatinya yang paling dalam. Hatinya juga masgul. Kerinduan yang dalam pada ibunya akhirnya turut menyergap rahsa kalbunya. 

*** 

(BERSAMBUNG ke Episode #24 ) Baca juga : Episode #24 Dalam Pengungsian, dan Episode #25 Angin Berubah Arah

Baca juga Episode Sebelumnya:  Episode #22 , Episode #21 , Episode #20  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun