"Kriwikan Dadi Grojogan" (#20)
Kotapraja Mangir
Dalam pada itu telik sandi Mataram bergerak bagaikan siluman yang menteror dan meresahkan penduduk. Dengan gerakan berkode sandi "Kriwikan Dadi Grojogan", tim telik sandi berjumlah empat orang ini telah mulai memicu kekacauan kecil-kecil di Kotapraja. Mereka, Ki Pamungkas, Linduaji, Wisesa dan Widura memulai gerakan dengan menyusup ke Kotapraja.
Mereka memencar ke empat wilayah dalam Kotapraja. Ki Pamungkas bergerak ke wilayah pertokoan, pergudangan dan Pasar Gede. Linduaji berada di perkampungan penduduk, sektor gerbang sisi Timur Kotapraja. Wisesa menyelinap di sektor sisi Barat Kotapraja. Widura berada di seputar alun-alun Kotapraja. Lalu dalam waktu yang ditentukan, untuk menghilangkan jejak mereka berotasi, saling tukar posisi. Keempat orang itu menyamar sebagai penduduk biasa dan pedagang asongan.Â
Tak lama kemudian, dikabarkan oleh warga bahwa beberapa kejadian kriminal dan mengejutkan penduduk baru saja terjadi di beberapa sudut lokasi Kotapraja.Â
Dikabarkan oleh warga bahwa beberapa kusir pedati yang melintas di jalur gerbang utama Kotapraja sisi Timur baru saja dibegal oleh orang tak dikenal. Tubuh mereka dibiarkan terikat di jalanan. Sedangkan beberapa pedati yang memuat bahan makanan itu pun dibakar begitu saja. Tak ada barang yang dijarah dalam peristiwa pembegalan itu. Warga setempat resah sebab baru kali ini hal demikian itu terjadi di kawasan jalur padat penduduk itu.Â
Di tempat lain di sekitar gerbang Kotapraja sisi Barat, sejumlah orang yang sedang berjalan tiba-tiba diserang oleh orang tak dikenal. Beberapa korban yang terluka oleh sabetan senjata tajam itu berteriak mengaduh dan bergelimpangan di tepi jalan. Pelaku penyerangan itu melarikan diri dalam kegelapan, meninggalkan para korbannya, lalu masuk ke tengah perkampungan warga. Penduduk Kotapraja belum mengetahui siapa pelaku penyerangan itu. Namun beberapa warga menyebutkan bahwa penyerangan dengan model itu disebut Klithih!
Di tempat tak jauh dari kawasan korban Klithih itu, tak berapa lama kemudian muncul kobaran api membakar perkampungan padat penduduk. Orang-orang berlarian mencoba memadamkan api yang mulai kian membesar membakar pusat rumah tinggal para buruh panggul Pasar Gede. Kebakaran itu sulit dipadamkan oleh warga karena api terlanjur membesar, menjalar tertiup oleh angin, memakan habis rumah-rumah kayu di kawasan itu. Ibu-ibu dan para orang tua yang rumah mereka hangus dilalap api, menangis histeris di samping puing-puing yang telah ludes dimakan oleh api.
Sementara di sebuah pesta hajatan pernikahan warga di kampung dekat alun-alun dikabarkan bahwa belasan tamu undangan keracunan makanan. Sebagian mereka tewas oleh racun. Warga menjadi resah sebab beberapa kejadian serupa terjadi hampir bersamaan waktunya, dan terjadi di beberapa tempat lain di dalam Kotapraja. Sejumlah warga di warung-warung makanan di sepanjang jalur menuju Pasar Gede juga mendadak tewas oleh suatu racun.Â
Hingga akhirnya kekacauan dan keresahan itu pun benar-benar meluas sampai ke beberapa tempat wilayah Kotapraja, Njaban Beteng dan daerah lain di Mangir. Aksi-aksi kriminal, penjambretan, begal, klithih, pembunuhan misterius, penculikan, pencurian, perampokan, serangan racun, penjarahan yang disertai pembakaran toko-toko dan gudang semakin sering terjadi dalam pola yang berulang. Akibatnya suasana di dalam Kotapraja mencekam. Penduduk tak berani keluar rumah. Tak ada orang yang mengira bahwa semua peristiwa itu memang telah dirancang dan direncanakan oleh Ki Pamungkas dan anak buahnya. Tujuannya adalah terciptanya rasa ketakutan dan tidak aman warga, sehingga keamanan Kotapraja rapuh dan kewibawaan pangreh praja Mangir goyah dimata rakyat.Â
Keempat telik sandi Mataram itu benar-benar menjalankan misinya dengan sempurna, setelah dari beberapa titik lokasi kejadian teror itu tampak di angkasa kelebatan panah-panah api berwarna biru. Orang-orang Mataram yang menyusup ke Kotapraja itu telah melepaskan tanda api panah biru ke angkasa. Sementara di sudut lain di kota itu, sesekali melesat pula api panah merah ke angkasa.Â
Anak panah api biru dan api merah itu terbang tinggi seperti kembang api menerangi kawasan yang sedang dilanda kekacauan dan teror itu. Tak seorang pun penduduk Kotapraja mengetahui darimana asal panah api biru dan api merah itu. Sebab mereka terlampau sibuk dengan urusan kekacauan yang sedang mereka alami.Â
Kelompok kecil telik sandi Mataram ini juga memakai tehnik adudomba. Mereka menghasut warga dan antar kelompok yang berseteru. Gerombolan Nogo Kemuning dibenturkan dengan penduduk Mangir. Sedangkan Pulanggeni dibenturkan dengan Baruklinting. Sehingga di antara mereka saling tuduh dan mencurigai.Â
Keadaan bertambah genting ketika suatu hari, entah siapa itu pelakunya. Ada sekelompok orang yang tiba-tiba muncul di Kotapraja, memakai atribut umbul-umbul berwarna kuning bergambar ular melingkar. Mereka melakukan berbagai penjarahan di pusat-pusat pertokoan pasar di Kotapraja. Tak sedikit penduduk setempat menjadi korban dan tewas dalam peristiwa penjarahan itu. Sebab para penjarah itu bergerak membabi-buta, membabat semua saja yang berusaha melawan mereka. Perlawanan warga seolah sia-sia, sebab para penjarah itu memiliki ilmu kadigdayan tinggi. Bau anyir darah meleleh di jalan-jalan Kotapraja Mangir.
Peristiwa itu menjadi rumit sebab di antara para korban penjarahan itu, selain penduduk Mangir, orang-orang gerombolan Nogo Kemuning beberapa turut tewas menjadi korban.Â
Tempat tinggal Pulanggeni, Njaban Beteng Kotapraja
Sontak Pulanggeni kaget mendapat laporan dari telik sandi tentang peristiwa penjarahan itu. Sebab dia merasa bukan kelompoknya yang melakukan penjarahan. Dia tidak pernah mengeluarkan atribut dan umbul-umbul berwarna kuning, termasuk gambar ular naga melingkar yang menjadi ciri khas kelompoknya. Dia juga tak pernah memerintahkan pasukan untuk menjarah pusat-pusat pertokoan di Kotapraja. Pulanggeni menegaskan bahwa dia tidak mengkhianati Baruklinting.Â
"Sodron! Siapa memakai atribut warna kuning untuk menjarah itu? Apa ada pasukan kita yang terlibat? Siapa para penjarah itu?!" tanya Pulanggeni dengan rasa geram dan heran.Â
"Bukan kita pelakunya, sinuwun. Anak-anak pasukan Bayangan Hitam masih tertib dalam barak di tempat baru di Njaban Beteng. Tak ada yang berkeliaran ke jalan-jalan", jawab Arya Jalu kepala divisi pasukan Bayangan Hitam.
"Jadi siapa pelakunya, Margopati? Mengapa mereka menjarah dengan memakai bendera Nogo Kemuning?"
"Saya akan cari tahu, sinuwun", jawab kepala divisi telik sandi Nogo Kemuning itu.Â
"Bukankah semua umbul-umbul kita masih tersimpan rapi di tempat tersembunyi?"
"Benar sinuwun. Pakaian seragam, umbul-umbul dan bendera Nogo Kemuning saya pastikan masih tersimpan rapat"
"Berarti ada pihak lain yang berusaha memfitnah kita dengan cara keji itu. Kita dijadikan tersangka. Ada pengkhianat yang sengaja membenturkan kita dengan penduduk dan pemerintahan Mangir", ujar Pulanggeni kemudian.Â
"Beberapa orang-orang kita yang berada di Pasar Gede dan berbaur bersama penduduk, tak sempat melawan. Mereka turut menjadi korban", kata Margopati.
"Apaa?!", teriak Pulanggeni. Dia benar-benar terkejut mendengar kabar itu.
Maka Pulanggeni benar-benar menjadi geram. Dia menduga-duga bahwa Baruklinting adalah pihak yang berada di balik fitnah itu. Dia meminta pasukan telik sandi untuk bergerak menyelidiki. "Ini pasti dia! Ini ulahnya! Baruklinting dibalik ini semua", desisnya.Â
"Bongkar kasus ini. Aku mau memastikan bahwa dialah orang itu yang berada dibalik fitnah dan adudomba ini", pungkas Pulanggeni.Â
Pulanggeni menganggap bahwa rentetan peristiwa kriminal, termasuk penjarahan itu adalah ulah keji Baruklinting sendiri yang menjadikan kelompok Nogo Kemuning sebagai tameng biang kerok dan kambing hitam atas semua kejadian itu. Pulanggeni menganggap Baruklinting telah mengingkari janji, berkhianat dan ingin menikmati kekuasaan Mangir tanpa perlu cawe-cawe gerombolan Nogo Kemuning.Â
"Telah kuduga. Dari dulu anak itu memang licik dan culas. Janji janjinya hanya lamis, manis di bibir. Janji selalu diingkari".
Pulanggeni semakin geram. Maka dia mengatur rencana untuk membuat perhitungan dengan Baruklinting.Â
"Mata harus dibalas dengan mata. Tak kubiarkan orang-orang kita mati sia-sia di Mangir", desis Pulanggeni kepada anak buahnya. Giginya bergemeretak.
Matanya merah penuh kemarahan. Kemarahan seorang kepala begal yang terluka hatinya. Dendam kemudian membara dalam hatinya. Pengkhianatan atas janji adalah penyebabnya.Â
Ndalem Wanabayan, Kotapraja
Sementara di tempat lain di Ndalem Wanabayan, sebaliknya Baruklinting terkejut. Dia menuduh bahwa Pulanggeni dan kelompoknya mulai bertindak di luar nalar, yaitu ingin melakukan pemberontakan di Mangir. Dia tahu bahwa penjarahan itu dilakukan oleh sekelompok orang berpakaian serba kuning, untuk memicu suatu kerusuhan yang lebih besar.Â
"Itu jelas-jelas kelompok Nogo Kemuning pelakunya", ujar Baruklinting. "Pulanggeni di balik ini semua", desisnya.Â
Dia menjadi geram pada Pulanggeni. "Banyak peristiwa kriminal di tengah warga justru setelah mereka masuk dan tinggal di Mangir. Sebelumnya kita hidup baik-baik saja. Jelas mereka pelaku kriminal semua itu".
"Tabiatnya sebagai garong masih dia bawa dari Merbabu ke kota ini. Dasar orang tak tahu rasa terimakasih. Watak garong ya tetap garong, tak bisa diperbaiki". Baruklinting kecewa. Dia merasa dikhianati oleh orang yang baru saja diberi tempat tinggal layak di Kotapraja itu.Â
***
(BERSAMBUNG ke Episode #21 )
*Â Baca juga:Â Episode #19.
*Baca juga: Episode #18.
*Baca juga: Daftar istilah Bahasa Jawa di Cerbung Sandhyakalaning Baruklinting
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H